Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | DBH Sawit merupakan bagian dari TKD. |
(2) | DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara atas:
|
(1) | Pagu DBH Sawit ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan negara 1 (satu) tahun sebelumnya. |
(2) | Dalam hal realisasi penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, dapat digunakan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan akhir tahun anggaran. |
(3) | Data realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Kementerian dan/atau kementerian/lembaga Pemerintah terkait. |
(1) | Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar 4% (empat persen) dari penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). |
(2) | Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH Sawit. |
(3) | Dalam hal ditetapkan alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menggunakan sumber penerimaan lain yang dilaksanakan dengan mekanisme APBN. |
(4) | Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. |
(1) | DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dibagikan kepada:
|
(2) | Penentuan besaran rincian alokasi DBH Sawit yang dibagikan kepada provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan indikator sebagai berikut:
|
(3) | Data indikator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Kementerian dan/atau kementerian/lembaga Pemerintah terkait. |
(1) | Alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dihitung berdasarkan pembobotan sebagai berikut:
|
(2) | Kinerja Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang menjadi dasar perhitungan DBH Sawit merupakan kinerja dalam menurunkan tingkat kemiskinan, pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, dan/atau kinerja lainnya. |
(3) | Alokasi DBH Sawit berdasarkan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Daerah penerima DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang mencapai tingkat kinerja tertentu. |
(4) | Menteri menetapkan indikator kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tingkat kinerja tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Dalam menetapkan indikator kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri dapat berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga Pemerintah terkait. |
(1) | Kementerian melakukan perhitungan rincian alokasi DBH Sawit per provinsi/kabupaten/kota. |
(2) | Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH Sawit untuk provinsi/kabupaten/kota. |
(3) | Rincian alokasi DBH Sawit per provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau alokasi minimum DBH Sawit untuk provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN. |
(1) | Daerah penerima alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) menganggarkan DBH Sawit dalam APBD. |
(2) | Dalam rangka penganggaran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Daerah menyusun RKP DBH Sawit. |
(3) | RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas bersama Kementerian dan kementerian/lembaga Pemerintah terkait. |
(4) | Pemerintah provinsi mengoordinasikan pembahasan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan kabupaten/kota di wilayahnya. |
(1) | DBH Sawit digunakan untuk membiayai kegiatan meliputi:
|
(2) | Pemenuhan pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinergikan dengan jenis pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Penyaluran DBH Sawit dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD. |
(2) | Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan rincian alokasi DBH Sawit yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). |
(3) | Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara sekaligus atau bertahap. |
(4) | Dalam hal Daerah tidak memenuhi persyaratan dalam penyaluran DBH Sawit yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dapat dilakukan penundaan penyaluran dan/atau penghentian penyaluran DBH Sawit. |
(1) | Dalam hal penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 lebih kecil dari nilai DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan akhir tahun anggaran, Menteri menetapkan kurang bayar. |
(2) | Dalam hal penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 lebih besar dari nilai DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan akhir tahun anggaran, Menteri menetapkan lebih bayar. |
(3) | Perhitungan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan/atau alokasi minimum DBH Sawit untuk provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2). |
(4) | Jangka waktu penyelesaian kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. |
(5) | Realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat memperhitungkan belanja Pemerintah yang manfaatnya diterima oleh Daerah. |
(6) | Penetapan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan tata cara penyaluran kurang bayar dan/atau penyelesaian lebih bayar diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Gubernur menyusun dan menyampaikan laporan penggunaan DBH Sawit kepada Menteri dan/atau menteri/pimpinan lembaga Pemerintah terkait. |
(2) | Bupati/wali kota menyusun dan menyampaikan laporan penggunaan DBH Sawit kepada gubernur, Menteri dan/atau menteri/pimpinan lembaga Pemerintah terkait. |
(3) | Laporan penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan sebagai bahan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi. |
(4) | Penyusunan dan penyampaian laporan penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Gubernur melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alokasi, penggunaan anggaran, pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Sawit oleh pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya. |
(2) | Gubernur menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta rekomendasi tindak lanjut kepada Menteri dan menteri/pimpinan lembaga Pemerintah terkait. |
(1) | Kementerian dan kementerian/lembaga Pemerintah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alokasi, penggunaan anggaran, pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Sawit oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota. |
(2) | Menteri/pimpinan lembaga Pemerintah menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta rekomendasi tindak lanjut kepada Menteri. |
I. | UMUM Berdasarkan ketentuan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah dapat menetapkan jenis DBH lainnya yang bersumber dari penerimaan negara yang dapat diidentifikasi Daerah penghasilnya. Adapun penetapan DBH lainnya dimaksud perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya, dalam rangka mengatasi eksternalitas yang membawa dampak negatif yang disebabkan kegiatan ekonomi yang terkait dengan sektor perkebunan sawit, perlu ditetapkan jenis DBH lainnya berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Hal ini telah pula sejalan dengan Penjelasan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa DBH yang terkait perkebunan sawit merupakan salah satu jenis DBH lainnya yang dapat ditetapkan oleh Pemerintah.
DBH Sawit dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan yang bersumber dari perkebunan sawit yang dihimpun oleh Pemerintah. Seperti jenis-jenis DBH yang lain, alokasi DBH Sawit terdiri atas alokasi formula dan alokasi kinerja.
Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa DBH lainnya ditentukan penggunaannya. Sesuai amanat tersebut, penggunaan DBH Sawit diarahkan terutama untuk infrastruktur khususnya jalan.
Berdasarkan kebijakan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diharapkan dukungan terhadap industri sawit dan penanggulangan eksternalitas negatif dari industri sawit dapat semakin meningkat, termasuk tercapainya konektivitas yang lebih baik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik.
|
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kabupaten/kota penghasil” adalah kabupaten/kota yang terdapat perkebunan sawit dan/atau menghasilkan minyak kelapa sawit mentah.
Huruf c
Kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sesuai dengan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.