Home
/
Data Center
/
Peraturan
/
38 Tahun 2023
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 2023

TENTANG

DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SAWIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka mengurangi ketimpangan fiskal dan eksternalitas yang membawa dampak negatif yang disebabkan kegiatan ekonomi yang terkait dengan sektor perkebunan sawit, Pemerintah perlu mengatur dan menetapkan jenis dana bagi hasil lainnya berupa bagi hasil perkebunan sawit;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 123 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit;

Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SAWIT. 


Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah bagian dari transfer ke daerah yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan tertentu dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan kinerja tertentu, yang dibagikan kepada daerah penghasil dengan tujuan untuk mengurangi ketimpangan fiskal antara pemerintah dan daerah, serta kepada daerah lain nonpenghasil dalam rangka menanggulangi eksternalitas yang membawa dampak negatif dan/atau meningkatkan pemerataan dalam satu wilayah.
  2. Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut DBH Sawit adalah DBH yang dialokasikan berdasarkan persentase atas pendapatan dari bea keluar dan pungutan ekspor atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya.
  3. Rancangan Kegiatan dan Penganggaran Dana Bagi Hasil Perkebunan Sawit yang selanjutnya disebut RKP DBH Sawit adalah rencana kegiatan dan penganggaran yang dapat dibiayai oleh DBH Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan diselaraskan dengan program kerja pemerintah daerah pada tahun anggaran berjalan.
  4. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat dengan TKD adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada daerah untuk dikelola oleh daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah.
  5. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah.
  7. Rekening Kas Umum Negara yang selanjutnya disingkat RKUN adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh menteri selaku bendahara umum negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.
  8. Rekening Kas Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RKUD adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/wali kota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.
  9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  10. Kementerian Keuangan yang selanjutnya disebut Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
  11. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
  12. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  13. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan rakyat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  14. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
 

Pasal 2

(1) DBH Sawit merupakan bagian dari TKD.
(2) DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari penerimaan negara atas:
  1. bea keluar yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif bea keluar; dan
  2. pungutan ekspor yang dikenakan atas kelapa sawit, minyak kelapa sawit mentah, dan/atau produk turunannya berdasarkan Peraturan Menteri mengenai penetapan besaran tarif pungutan ekspor.


Pasal 3

(1) Pagu DBH Sawit ditetapkan berdasarkan realisasi penerimaan negara 1 (satu) tahun sebelumnya.
(2) Dalam hal realisasi penerimaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia, dapat digunakan perkiraan realisasi penerimaan negara sampai dengan akhir tahun anggaran.
(3) Data realisasi penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau perkiraan realisasi penerimaan sampai dengan akhir tahun anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Kementerian dan/atau kementerian/lembaga Pemerintah terkait.
 

Pasal 4

(1) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) ditetapkan paling rendah sebesar 4% (empat persen) dari penerimaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH Sawit.
(3) Dalam hal ditetapkan alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah dapat menggunakan sumber penerimaan lain yang dilaksanakan dengan mekanisme APBN.
(4) Pagu DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.


Pasal 5

(1) DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), dibagikan kepada:
  1. provinsi yang bersangkutan sebesar 20% (dua puluh persen);
  2. kabupaten/kota penghasil sebesar 60% (enam puluh persen); dan
  3. kabupaten/kota lainnya yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sebesar 20% (dua puluh persen).
(2) Penentuan besaran rincian alokasi DBH Sawit yang dibagikan kepada provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan indikator sebagai berikut:
  1. luas lahan perkebunan sawit;
  2. produktivitas lahan perkebunan sawit; dan/atau
  3. indikator lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Data indikator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari Kementerian dan/atau kementerian/lembaga Pemerintah terkait.


Pasal 6

(1) Alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dihitung berdasarkan pembobotan sebagai berikut:
  1. 90% (sembilan puluh persen) berdasarkan persentase bagi hasil dan penetapan Daerah penghasil; dan
  2. 10% (sepuluh persen) berdasarkan kinerja Pemerintah Daerah.
(2) Kinerja Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang menjadi dasar perhitungan DBH Sawit merupakan kinerja dalam menurunkan tingkat kemiskinan, pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, dan/atau kinerja lainnya.
(3) Alokasi DBH Sawit berdasarkan kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Daerah penerima DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) yang mencapai tingkat kinerja tertentu.
(4) Menteri menetapkan indikator kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tingkat kinerja tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Dalam menetapkan indikator kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri dapat berkoordinasi dengan menteri/pimpinan lembaga Pemerintah terkait.


Pasal 7

(1) Kementerian melakukan perhitungan rincian alokasi DBH Sawit per provinsi/kabupaten/kota.
(2) Pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH Sawit untuk provinsi/kabupaten/kota.
(3) Rincian alokasi DBH Sawit per provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau alokasi minimum DBH Sawit untuk provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN.

 
Pasal 8

(1) Daerah penerima alokasi DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) menganggarkan DBH Sawit dalam APBD.
(2) Dalam rangka penganggaran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Daerah menyusun RKP DBH Sawit.
(3) RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas bersama Kementerian dan kementerian/lembaga Pemerintah terkait.
(4) Pemerintah provinsi mengoordinasikan pembahasan RKP DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan kabupaten/kota di wilayahnya.


Pasal 9

(1) DBH Sawit digunakan untuk membiayai kegiatan meliputi:
  1. pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur jalan; dan/atau
  2. kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Pemenuhan pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disinergikan dengan jenis pendanaan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 10

(1) Penyaluran DBH Sawit dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD.
(2) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan rincian alokasi DBH Sawit yang telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden mengenai rincian APBN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(3) Penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara sekaligus atau bertahap.
(4) Dalam hal Daerah tidak memenuhi persyaratan dalam penyaluran DBH Sawit yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, dapat dilakukan penundaan penyaluran dan/atau penghentian penyaluran DBH Sawit.


Pasal 11

(1) Dalam hal penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 lebih kecil dari nilai DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan akhir tahun anggaran, Menteri menetapkan kurang bayar.
(2) Dalam hal penyaluran DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 lebih besar dari nilai DBH Sawit yang dihitung berdasarkan realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) sampai dengan akhir tahun anggaran, Menteri menetapkan lebih bayar.
(3) Perhitungan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan alokasi minimum DBH Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dan/atau alokasi minimum DBH Sawit untuk provinsi/kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2).
(4) Jangka waktu penyelesaian kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan kemampuan keuangan negara.
(5) Realisasi penerimaan negara yang dibagihasilkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat memperhitungkan belanja Pemerintah yang manfaatnya diterima oleh Daerah.
(6) Penetapan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan tata cara penyaluran kurang bayar dan/atau penyelesaian lebih bayar diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.


Pasal 12

(1) Gubernur menyusun dan menyampaikan laporan penggunaan DBH Sawit kepada Menteri dan/atau menteri/pimpinan lembaga Pemerintah terkait.
(2) Bupati/wali kota menyusun dan menyampaikan laporan penggunaan DBH Sawit kepada gubernur, Menteri dan/atau menteri/pimpinan lembaga Pemerintah terkait.
(3) Laporan penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan sebagai bahan pelaksanaan pemantauan dan evaluasi.
(4) Penyusunan dan penyampaian laporan penggunaan DBH Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 13

(1) Gubernur melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alokasi, penggunaan anggaran, pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Sawit oleh pemerintah kabupaten/kota di wilayahnya.
(2) Gubernur menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta rekomendasi tindak lanjut kepada Menteri dan menteri/pimpinan lembaga Pemerintah terkait.


Pasal 14

(1) Kementerian dan kementerian/lembaga Pemerintah secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap alokasi, penggunaan anggaran, pemanfaatan dan teknis pelaksanaan kegiatan yang didanai dari DBH Sawit oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
(2) Menteri/pimpinan lembaga Pemerintah menyampaikan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta rekomendasi tindak lanjut kepada Menteri.


Pasal 15

Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi serta rekomendasi tindak lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Menteri dapat mengenakan sanksi penundaan dan/atau penghentian penyaluran DBH atas alokasi dan/atau penggunaan DBH Sawit yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


Pasal 16

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalokasian, perencanaan dan penggunaan, penyaluran, pelaporan, pemantauan dan evaluasi, dan pengenaan sanksi DBH Sawit diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 17

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2023
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 24 Juli 2023
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PRATIKNO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 101





PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 38 TAHUN 2023

TENTANG

DANA BAGI HASIL PERKEBUNAN SAWIT


I. UMUM

Berdasarkan ketentuan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah dapat menetapkan jenis DBH lainnya yang bersumber dari penerimaan negara yang dapat diidentifikasi Daerah penghasilnya. Adapun penetapan DBH lainnya dimaksud perlu diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah berkonsultasi dengan komisi yang membidangi keuangan pada Dewan Perwakilan Rakyat.

Selanjutnya, dalam rangka mengatasi eksternalitas yang membawa dampak negatif yang disebabkan kegiatan ekonomi yang terkait dengan sektor perkebunan sawit, perlu ditetapkan jenis DBH lainnya berupa bagi hasil yang terkait dengan perkebunan sawit. Hal ini telah pula sejalan dengan Penjelasan Pasal 123 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa DBH yang terkait perkebunan sawit merupakan salah satu jenis DBH lainnya yang dapat ditetapkan oleh Pemerintah.

DBH Sawit dialokasikan berdasarkan persentase tertentu dari pendapatan yang bersumber dari perkebunan sawit yang dihimpun oleh Pemerintah. Seperti jenis-jenis DBH yang lain, alokasi DBH Sawit terdiri atas alokasi formula dan alokasi kinerja.

Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengamanatkan bahwa DBH lainnya ditentukan penggunaannya. Sesuai amanat tersebut, penggunaan DBH Sawit diarahkan terutama untuk infrastruktur khususnya jalan.

Berdasarkan kebijakan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, diharapkan dukungan terhadap industri sawit dan penanggulangan eksternalitas negatif dari industri sawit dapat semakin meningkat, termasuk tercapainya konektivitas yang lebih baik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik.
   
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan “kabupaten/kota penghasil” adalah kabupaten/kota yang terdapat perkebunan sawit dan/atau menghasilkan minyak kelapa sawit mentah.

Huruf c
Kabupaten/kota yang berbatasan langsung dengan kabupaten/kota penghasil sesuai dengan yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

 

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6884

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA