Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat. |
(2) | Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah. |
(1) | Untuk kepentingan nasional, Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat menetapkan kebijakan pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri. |
(2) | Kepentingan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan pengendalian produksi dan ekspor. |
(3) | Dalam melaksanakan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah mempunyai kewenangan untuk menetapkan jumlah produksi tiap-tiap komoditas per tahun setiap provinsi. |
(4) | Pemerintah daerah wajib mematuhi ketentuan jumlah yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengutamaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengendalian produksi dan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. |
(1) | Kewenangan Pemerintah dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
|
(2) | Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Kewenangan pemerintah provinsi dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
|
(2) | Kewenangan pemerintah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Kewenangan pemerintah kabupaten/kota dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara, antara lain, adalah:
|
(2) | Kewenangan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | WP sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan. |
(2) | WP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. |
(1) | Penetapan WUP dilakukan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. |
(2) | Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemerintah daerah yang bersangkutan berdasarkan data dan informasi yang dimiliki Pemerintah dan pemerintah daerah. |
(1) | Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan WPN sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan. |
(2) | WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diusahakan sebagian luas wilayahnya dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. |
(3) | WPN yang ditetapkan untuk konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan batasan waktu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. |
(4) | Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berubah statusnya menjadi WUPK. |
(1) | WUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4) yang akan diusahakan ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah. |
(2) | Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan di WUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk IUPK. |
(1) | Usaha pertambangan dikelompokkan atas:
|
(2) | Pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digolongkan atas:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan suatu komoditas tambang ke dalam suatu golongan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. |
(1) | IUP terdiri atas dua tahap:
|
(2) | Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | IUP Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya:
|
(2) | IUP Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya:
|
(1) | IUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral atau batubara. |
(2) | Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. |
(3) | Pemegang IUP yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(4) | Pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut. |
(5) | Pemegang IUP yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. |
(6) | IUP untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(1) | IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun. |
(2) | IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun dan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. |
(3) | IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. |
(4) | IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun. |
(1) | Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP. |
(2) | Pemegang IUP Eksplorasi yang ingin menjual mineral atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. |
(1) | Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. |
(2) | IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan WIUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan. |
(1) | IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. |
(2) | IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun. |
(3) | IUP Operasi Produksi untuk pertambangan mineral bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. |
(4) | IUP Operasi Produksi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun. |
(5) | IUP Operasi Produksi untuk Pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. |
(1) | Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare. |
(2) | Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. |
(3) | Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. |
(1) | Pemegang IUP Eksplorasi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare. |
(2) | Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. |
(3) | Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. |
(1) | Pemegang IUP Eksplorasi batuan diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare. |
(2) | Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. |
(3) | Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. |
(1) | Pemegang IUP Eksplorasi Batubara diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare. |
(2) | Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batubara dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda. |
(3) | Pemberian IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama. |
(1) | Badan usaha, koperasi, dan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 54, Pasal 57, dan Pasal 60 yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
(1) | Bupati/walikota memberikan IPR terutama kepada penduduk setempat, baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi. |
(2) | Bupati/walikota dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Untuk memperoleh IPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada bupati/walikota. |
(1) | Luas wilayah untuk 1 (satu) IPR yang dapat diberikan kepada:
|
(2) | IPR diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang. |
(1) | Selain kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, pemegang IPR dalam melakukan kegiatan pertambangan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 wajib menaati ketentuan persyaratan teknis pertambangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
(1) | Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pembinaan di bidang pengusahaan, teknologi pertambangan, serta permodalan dan pemasaran dalam usaha meningkatkan kemampuan usaha pertambangan rakyat. |
(2) | Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab terhadap pengamanan teknis pada usaha pertambangan rakyat yang meliputi:
|
(3) | Untuk melaksanakan pengamanan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah kabupaten/kota wajib mengangkat pejabat fungsional inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Pemerintah kabupaten/kota wajib mencatat hasil produksi dari seluruh kegiatan usaha pertambangan rakyat yang berada dalam wilayahnya dan melaporkannya secara berkala kepada Menteri dan gubernur setempat. |
(1) | IUPK diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah. |
(2) | IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral logam atau batubara dalam 1 (satu) WIUPK. |
(3) | Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menemukan mineral lain di dalam WIUPK yang dikelola diberikan prioritas untuk mengusahakannya. |
(4) | Pemegang IUPK yang bermaksud mengusahakan mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri. |
(5) | Pemegang IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut. |
(6) | Pemegang IUPK yang tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib menjaga mineral lain tersebut agar tidak dimanfaatkan pihak lain. |
(7) | IUPK untuk mineral lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri. |
(1) | Pemberian IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28. |
(2) | IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia, baik berupa badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta. |
(3) | Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK. |
(4) | Badan usaha swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK. |
(1) | IUPK terdiri atas dua tahap:
|
(2) | Pemegang IUPK Eksplorasi dan pemegang IUPK Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
(1) | Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya. |
(2) | IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (3) dan ayat (4) yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan. |
(1) | Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUPK Eksplorasi yang mendapatkan mineral logam atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada Menteri. |
(2) | Pemegang IUPK Eksplorasi yang ingin menjual mineral logam atau batubara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengajukan izin sementara untuk melakukan pengangkutan dan penjualan. |
(3) | Izin sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh Menteri. |
(1) | Badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) yang melakukan kegiatan dalam WIUPK wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan, dan persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
(1) | Data yang diperoleh dari kegiatan usaha pertambangan merupakan data milik Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. |
(2) | Data usaha pertambangan yang dimiliki pemerintah daerah wajib disampaikan kepada Pemerintah untuk pengelolaan data pertambangan tingkat nasional. |
(3) | Pengelolaan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK tidak boleh memindahkan IUP dan IUPK-nya kepada pihak lain. |
(2) | Untuk pengalihan kepemilikan dan/atau saham di bursa saham Indonesia hanya dapat dilakukan setelah melakukan kegiatan eksplorasi tahapan tertentu. |
(3) | Pengalihan kepemilikan dan/atau saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
|
(1) | Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi. |
(2) | Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang. |
(3) | Peruntukan lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan dana jaminan pascatambang. |
(2) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan di dalam negeri. |
(2) | Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengolah dan memurnikan hasil penambangan dari pemegang IUP dan IUPK lainnya. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan nilai tambah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 serta pengolahan dan pemurnian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan pemerintah. |
(1) | Untuk pengolahan dan pemurnian, pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 dapat melakukan kerja sama dengan badan usaha, koperasi, atau perseorangan yang telah mendapatkan IUP atau IUPK. |
(2) | IUP yang didapat badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah IUP Operasi Produksi Khusus untuk pengolahan dan pemurnian yang dikeluarkan oleh Menteri, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(3) | Pemegang IUP dan IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang melakukan pengolahan dan pemurnian dari hasil penambangan yang tidak memiliki IUP, IPR, atau IUPK. |
(1) | Badan usaha yang tidak bergerak pada usaha pertambangan yang bermaksud menjual mineral dan/atau batubara yang tergali wajib terlebih dahulu memiliki IUP Operasi Produksi untuk penjualan. |
(2) | IUP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan untuk 1 (satu) kali penjualan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(3) | Mineral atau batubara yang tergali dan akan dijual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai iuran produksi. |
(4) | Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib menyampaikan laporan hasil penjualan mineral dan/atau batubara yang tergali kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. |
(2) | Penyusunan program dan rencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikonsultasikan kepada Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. |
(1) | Pemegang IUP dan IUPK wajib memberikan laporan tertulis secara berkala atas rencana kerja dan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk, jenis, waktu, dan tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
(1) | Setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang IUP dan IUPK yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah. |
(1) | Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang IUP dan IUPK apabila terjadi:
|
(2) | Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi masa berlaku IUP atau IUPK. |
(3) | Permohonan penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b disampaikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(4) | Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan oleh inspektur tambang atau dilakukan berdasarkan permohonan masyarakat kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(5) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya wajib mengeluarkan keputusan tertulis diterima atau ditolak disertai alasannya atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan tersebut. |
(1) | Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun. |
(2) | Apabila dalam kurun waktu sebelum habis masa penghentian sementara berakhir pemegang IUP dan IUPK sudah siap melakukan kegiatan operasinya, kegiatan dimaksud wajib dilaporkan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(3) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya mencabut keputusan penghentian sementara setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf a, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tidak berlaku. |
(2) | Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena keadaan yang menghalangi kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf b, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku. |
(3) | Apabila penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan diberikan karena kondisi daya dukung lingkungan wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) huruf c, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku. |
(1) | Pemegang IUP atau IUPK dapat menyerahkan kembali IUP atau IUPK-nya dengan pernyataan tertulis kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan disertai dengan alasan yang jelas. |
(2) | Pengembalian IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah setelah disetujui oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dan setelah memenuhi kewajibannya. |
(1) | Pemegang IUP atau IUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir karena alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117, Pasal 118, Pasal 119, dan Pasal 120 wajib memenuhi dan menyelesaikan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Kewajiban pemegang IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap telah dipenuhi setelah mendapat persetujuan dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(1) | IUP atau IUPK yang telah dikembalikan, dicabut, atau habis masa berlakunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 dikembalikan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. |
(2) | WIUP atau WIUPK yang IUP-nya atau IUPK-nya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditawarkan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan melalui mekanisme sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. |
(1) | Pemegang IUP atau IUPK wajib menggunakan perusahaan jasa pertambangan lokal dan/atau nasional. | ||||||||||||||||||||
(2) | Dalam hal tidak terdapat perusahaan jasa pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang IUP atau IUPK dapat menggunakan perusahaan jasa pertambangan lain yang berbadan hukum Indonesia. | ||||||||||||||||||||
(3) | Jenis usaha jasa pertambangan meliputi:
|
(1) | Dalam hal pemegang IUP atau IUPK menggunakan jasa pertambangan, tanggung jawab kegiatan usaha pertambangan tetap dibebankan kepada pemegang IUP atau IUPK. |
(2) | Pelaksana usaha jasa pertambangan dapat berupa badan usaha, koperasi, atau perseorangan sesuai dengan klasifikasi dan kualifikasi yang telah ditetapkan oleh Menteri. |
(3) | Pelaku usaha jasa pertambangan wajib mengutamakan kontraktor dan tenaga kerja lokal. |
(1) | Pemegang IUP atau IUPK dilarang melibatkan anak perusahaan dan/atau afiliasinya dalam bidang usaha jasa pertambangan di wilayah usaha pertambangan yang diusahakannya, kecuali dengan izin Menteri. |
(2) | Pemberian izin Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila:
|
(1) | Pemegang IUP atau IUPK wajib membayar pendapatan negara dan pendapatan daerah. |
(2) | Pendapatan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas penerimaan pajak dan penerimaan negara bukan pajak. |
(3) | Penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
(4) | Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
(5) | Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
(1) | Pemegang IUPK Operasi Produksi untuk pertambangan mineral logam dan batubara wajib membayar sebesar 4% (empat persen) kepada Pemerintah dan 6% (enam persen) kepada pemerintah daerah dari keuntungan bersih sejak berproduksi. |
(2) | Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sebagai berikut:
|
(1) | Pemegang IUP atau IUPK tidak dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c dan pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (5) atas tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan. |
(2) | Pemegang IUP atau IUPK dikenai iuran produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) huruf c atas pemanfaatan tanah/batuan yang ikut tergali pada saat penambangan. |
(1) | Besaran tarif iuran produksi ditetapkan berdasarkan tingkat pengusahaan, produksi, dan harga komoditas tambang. |
(2) | Besaran tarif iuran produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Penerimaan negara bukan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (4) merupakan pendapatan negara dan daerah yang pembagiannya ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Penerimaan negara bukan pajak yang merupakan bagian daerah dibayar langsung ke kas daerah setiap 3 (tiga) bulan setelah disetor ke kas negara. |
(1) | Hak atas WIUP, WPR, atau WIUPK tidak meliputi hak atas tanah permukaan bumi. |
(2) | Kegiatan usaha pertambangan tidak dapat dilaksanakan pada tempat yang dilarang untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Kegiatan usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan setelah mendapat izin dari instansi Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pemegang IUP atau IUPK sebelum melakukan kegiatan operasi produksi wajib menyelesaikan hak atas tanah dengan pemegang hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Penyelesaian hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhan atas tanah oleh pemegang IUP atau IUPK. |
(1) | Menteri melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. |
(2) | Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. |
(4) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab melakukan pembinaan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. |
(1) | Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. |
(2) | Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota. |
(3) | Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK. |
(1) | Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, antara lain, berupa:
|
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf e, huruf f, huruf g, huruf h, dan huruf l dilakukan oleh inspektur tambang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Dalam hal pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota belum mempunyai inspektur tambang, Menteri menugaskan inspektur tambang yang sudah diangkat untuk melaksanaan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Gubernur dan bupati/walikota wajib melaporkan pelaksanaan usaha pertambangan di wilayahnya masing-masing sekurang-kurangnya sekali dalam 6 (enam) bulan kepada Menteri. |
(2) | Pemerintah dapat memberi teguran kepada pemerintah daerah apabila dalam pelaksanaan kewenangannya tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. |
(1) | Bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap usaha pertambangan rakyat. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan dan pengawasan pertambangan rakyat diatur dengan peraturan daerah kabupaten/kota. |
(1) | Masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak:
|
(2) | Ketentuan mengenai perlindungan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pertambangan diberi wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
(1) | Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 dapat menangkap pelaku tindak pidana dalam kegiatan usaha pertambangan. |
(2) | Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulai penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada pejabat polisi negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menghentikan penyidikannya dalam hal tidak terdapat cukup bukti dan/atau peristiwanya bukan merupakan tindak pidana. |
(4) | Pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya berhak memberikan sanksi administratif kepada pemegang IUP, IPR atau IUPK atas pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) , Pasal 40 ayat (5), Pasal 41, Pasal 43, Pasal 70, Pasal 71 ayat (1), Pasal 74 ayat (4), Pasal 74 ayat (6), Pasal 81 ayat (1), Pasal 93 ayat (3), Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 105 ayat (3), Pasal 105 ayat (4), Pasal 107, Pasal 108 ayat (1) , Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (1), Pasal 114 ayat (2), Pasal 115 ayat (2), Pasal 125 ayat (3), Pasal 126 ayat (1), Pasal 128 ayat (1), Pasal 129 ayat (1), atau Pasal 130 ayat (2). |
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | Setiap orang yang melakukan eksplorasi tanpa memiliki IUP atau IUPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 atau Pasal 74 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). |
(2) | Setiap orang yang mempunyai IUP Eksplorasi tetapi melakukan kegiatan operasi produksi dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
(1) | Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini dilakukan oleh suatu badan hukum, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap badan hukum tersebut berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 (satu per tiga) kali dari ketentuan maksimum pidana denda yang dijatuhkan. |
(2) | Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), badan hukum dapat dijatuhi pidana tambahan berupa:
|
(1) | Pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang telah melakukan tahapan kegiatan eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, atau operasi produksi paling lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini harus menyampaikan rencana kegiatan pada seluruh wilayah kontrak/perjanjian sampai dengan jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian untuk mendapatkan persetujuan pemerintah. |
(2) | Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, luas wilayah pertambangan yang telah diberikan kepada pemegang kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara disesuaikan dengan Undang-Undang ini. |
(1) | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. |
(2) | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2831) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. |
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.