Peraturan Pemerintah Nomor : 1 Tahun 2024

Kategori : KUP, PPh, PPN

Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2024
 
TENTANG
 
HARMONISASI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

   
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 163, Pasal 166, Pasal 168, dan Pasal 180 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional;
   
Mengingat :
  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);

 

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HARMONISASI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL.


BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1


Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan:
  1. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan negara.
  3. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah otonom provinsi atau bupati bagi Daerah kabupaten atau wali kota bagi Daerah otonom kota.
  4. Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah otonom.
  5. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan Urusan Pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah.
  7. Daerah Otonom yang selanjutnya disebut Daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus Urusan Pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  8. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
  9. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang selanjutnya disingkat APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  10. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat APBD adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  11. Pendapatan Daerah adalah semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
  12. Belanja Daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan.
  13. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
  14. Peraturan Daerah yang selanjutnya disebut Perda atau yang disebut dengan nama lain adalah Perda Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
  15. Peraturan Kepala Daerah yang selanjutnya disebut Perkada adalah peraturan gubernur dan peraturan bupati/wali kota.
  16. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang serta segala bentuk kekayaan yang dapat dijadikan milik Daerah berhubung dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut.
  17. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran yang selanjutnya disingkat SiLPA adalah selisih lebih realisasi penerimaan dan pengeluaran anggaran selama 1 (satu) periode anggaran.
  18. Pembiayaan Utang Daerah adalah setiap penerimaan Daerah yang harus dibayar kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
  19. Pinjaman Daerah adalah Pembiayaan Utang Daerah yang diikat dalam suatu perjanjian pinjaman dan bukan dalam bentuk surat berharga, yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain, sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
  20. Bagan Akun Standar yang selanjutnya disingkat BAS adalah daftar kodefikasi dan klasifikasi terkait transaksi keuangan yang disusun secara sistematis sebagai pedoman dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
  21. Sistem Informasi Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat SIKD adalah suatu sistem yang mendokumentasikan, mengadministrasikan, serta mengolah data pengelolaan Keuangan Daerah, data kinerja Daerah, dan data terkait lainnya menjadi informasi yang disajikan kepada masyarakat dan para pemangku kepentingan, serta sebagai bahan pengambilan keputusan dan kebijakan dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban Pemerintah Daerah.
  22. Informasi Keuangan Daerah adalah segala informasi yang berkaitan dengan Keuangan Daerah yang diperlukan dalam rangka penyelenggaraan SIKD.
  23. Transfer ke Daerah yang selanjutnya disingkat TKD adalah dana yang bersumber dari APBN dan merupakan bagian dari belanja negara yang dialokasikan dan disalurkan kepada Daerah untuk dikelola oleh Daerah dalam rangka mendanai penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  24. Rencana Kerja Pemerintah yang selanjutnya disingkat RKP adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 1 (satu) tahun yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir pada tanggal 31 Desember.
  25. Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal yang selanjutnya disingkat KEM PPKF adalah dokumen negara yang memuat gambaran dan desain arah kebijakan ekonomi makro dan fiskal sebagai bahan pembicaraan pendahuluan bersama Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka penyusunan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
  26. Obligasi Daerah adalah surat berharga berupa pengakuan utang yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
  27. Sukuk Daerah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan aset Sukuk Daerah yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah.
  28. Sinergi Pendanaan adalah sinergi sumber-sumber pendanaan dari APBD dan selain APBD dalam rangka pelaksanaan program prioritas nasional dan/atau Daerah.
  29. Dana Alokasi Umum yang selanjutnya disingkat DAU adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan dan layanan publik antar-Daerah.
  30. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah bagian dari TKD yang dialokasikan dengan tujuan untuk mendanai program, kegiatan, dan/atau kebijakan tertentu yang menjadi prioritas nasional dan membantu operasionalisasi layanan publik, yang penggunaannya telah ditentukan oleh Pemerintah.
  31. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah.
  32. Lembaga Keuangan Bank yang selanjutnya disingkat LKB adalah lembaga keuangan yang memberikan jasa keuangan dan menarik dana dari masyarakat secara langsung, termasuk LKB yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
  33. Lembaga Keuangan Bukan Bank yang selanjutnya disingkat LKBB adalah lembaga atau badan Pembiayaan yang melakukan kegiatan dalam bidang keuangan yang secara langsung atau tidak langsung menghimpun dana dengan cara mengeluarkan surat berharga dan menyalurkan kepada masyarakat terutama untuk membiayai investasi Pemerintah/Pemerintah Daerah atau swasta, termasuk LKBB yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah.
  34. Akad adalah perjanjian tertulis yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  35. Hak Manfaat adalah hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut.
  36. Urusan Pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara Pemerintahan Daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.
  37. Barang Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BMD adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah.
  38. Infrastruktur adalah fasilitas teknis, fisik, sistem, perangkat keras, dan lunak yang diperlukan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan mendukung jaringan struktur agar pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat dapat berjalan dengan baik.
  39. Kapasitas Fiskal Daerah adalah kemampuan keuangan masing-masing daerah yang dihitung berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Menteri untuk berbagai kepentingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  40. Dana Abadi Daerah yang selanjutnya disingkat DAD adalah dana yang bersumber dari APBD yang bersifat abadi dan dana hasil pengelolaannya dapat digunakan untuk Belanja Daerah dengan tidak mengurangi dana pokok.
  41. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan Daerah yang diperoleh dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  42. Kebijakan Umum Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang selanjutnya disingkat KUA adalah dokumen yang memuat kebijakan bidang pendapatan, belanja, dan Pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya untuk periode 1 (satu) tahun.
  43. Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara yang selanjutnya disingkat PPAS adalah program prioritas dan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada perangkat Daerah untuk setiap program dan kegiatan sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah.
  44. Rencana Pembangunan Tahunan Daerah yang selanjutnya disebut Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan yang selanjutnya disingkat RKPD adalah dokumen perencanaan Daerah untuk periode 1 (satu) tahun.
  45. Belanja Wajib adalah Belanja Daerah untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah yang besarannya telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 2


Harmonisasi kebijakan fiskal nasional dalam rangka penyelarasan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi penyelenggaraan:
  1. sinergi kebijakan fiskal nasional;
  2. Pembiayaan Utang Daerah;
  3. Dana Abadi Daerah; dan
  4. Sinergi Pendanaan.

 

BAB II
SINERGI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL

Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 3


(1) Sinergi kebijakan fiskal nasional dilakukan melalui:
a. penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah;
b. penetapan batas maksimal fiskal APBD dan Pembiayaan Utang Daerah;
c. pengendalian dalam kondisi darurat; dan
d. sinergi BAS.
(2) Sinergi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didukung dengan:
a. konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional sesuai dengan BAS untuk Pemerintah Daerah;
b. penyajian Informasi Keuangan Daerah secara nasional; dan
c. pemantauan dan evaluasi pendanaan desentralisasi,
yang dilakukan melalui platform digital.

        
Bagian Kedua
Penyelarasan Kebijakan Fiskal Pusat dan Daerah
 
Pasal 4


Penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah dilakukan dalam tahap:
a. perencanaan dan penganggaran; dan
b. pelaksanaan.


Paragraf 1
Perencanaan dan Penganggaran
 
Pasal 5


(1) Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional bersama-sama menyampaikan rancangan KEM PPKF, ketersediaan anggaran, rancangan awal RKP, dan rancangan pagu indikatif pada bulan Maret kepada Presiden melalui menteri yang mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian bidang perekonomian.
(2) Rancangan awal RKP dan rancangan KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah disetujui oleh Presiden, disampaikan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dan Menteri kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait lainnya dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah.
(3) Berdasarkan rancangan awal RKP dan rancangan KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (2), serta pedoman umum penyusunan RKPD, Pemerintah Daerah menyusun RKPD, usulan target kinerja makro Daerah, dan target kinerja program Daerah termasuk pemenuhan target Belanja Wajib.
(4) Pemerintah Daerah menyampaikan usulan target kinerja makro Daerah dan target kinerja program Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, Menteri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(5) Berdasarkan rancangan awal RKP, rancangan KEM PPKF, usulan target kinerja makro Daerah, dan usulan target kinerja program Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dalam rangka menyinergikan program pembangunan, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melibatkan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri untuk melaksanakan rapat koordinasi bersama kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait lainnya.

 

Pasal 6


(1) Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional secara bersama-sama menyampaikan pemutakhiran KEM PPKF, ketersediaan anggaran, rancangan akhir RKP, dan rancangan pagu anggaran kementerian/lembaga pada bulan Juni kepada Presiden melalui menteri yang mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian bidang perekonomian.
(2) Rancangan akhir RKP dan pemutakhiran KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dan Menteri kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, dan instansi terkait lainnya.
(3) Pemerintah Daerah menetapkan RKPD berpedoman pada RKP sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Rancangan akhir RKP dan pemutakhiran KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar dalam perumusan pedoman penyusunan APBD.
(5) Pedoman penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
 

Pasal 7


(1) Pemerintah Daerah menyusun rancangan KUA dan rancangan PPAS berdasarkan RKPD dengan mengacu pada pedoman penyusunan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5).
(2) Penyusunan Rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan minimal sesuai target kinerja makro Daerah dan target kinerja program Daerah yang telah diselaraskan dengan pemutakhiran KEM PPKF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1).
(3) Kepala Daerah menyampaikan rancangan KUA dan rancangan PPAS kepada DPRD paling lambat minggu kedua bulan Juli.
(4) Rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) juga disampaikan oleh:
a. gubernur kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri; dan
b. bupati/wali kota kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat.
(5) Rancangan KUA dan rancangan PPAS provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dilakukan penilaian kesesuaian dengan KEM PPKF oleh Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(6) Rancangan KUA dan rancangan PPAS kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dilakukan penilaian kesesuaian dengan KEM PPKF oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berkoordinasi dengan Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(7) Hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan oleh:
a. Menteri kepada gubernur; dan
b. gubernur kepada bupati/wali kota,
paling lambat 2 (dua) minggu setelah rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diterima.
(8) Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Kepala Daerah dan DPRD melakukan penyempurnaan rancangan KUA dan rancangan PPAS yang sedang dibahas bersama antara Kepala Daerah dan DPRD untuk mendapat kesepakatan bersama paling lambat minggu kedua bulan Agustus.
(9) Dalam hal rancangan KUA dan rancangan PPAS telah mendapatkan kesepakatan bersama antara Kepala Daerah dan DPRD sebelum hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan, hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi dasar penyusunan rencana kerja dan anggaran satuan kerja perangkat daerah.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penilaian kesesuaian rancangan KUA dan rancangan PPAS dengan KEM PPKF sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
   
   

Pasal 8


(1) Pemerintah memastikan tersedianya anggaran atas program prioritas dan pemenuhan Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) yang telah ditetapkan dalam RKPD, KUA, dan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (8) atau Pasal 7 ayat (9).
(2) Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk alokasi belanja untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu yang besaran penggunaannya telah ditentukan meliputi:
a. belanja pendidikan paling rendah 20% (dua puluh persen) dari total Belanja Daerah yang dianggarkan dalam APBD dan/atau perubahan APBD tahun anggaran berkenaan;
b. belanja pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari total Belanja Daerah;
c. belanja infrastruktur pelayanan publik paling rendah 40% (empat puluh persen) dari total Belanja Daerah di luar belanja bagi hasil dan/atau transfer kepada Daerah dan/atau desa; dan
d. Belanja Wajib yang didanai dari pendapatan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam rangka memastikan tersedianya anggaran atas program prioritas dan pemenuhan Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah menyusun BAS dan/atau melakukan penandaan Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Belanja Wajib untuk mendanai Urusan Pemerintahan Daerah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyusunan BAS dan pelaksanaan penandaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(5) Penyelarasan pemenuhan Belanja Wajib pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan Belanja Wajib infrastruktur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak undang-undang mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diundangkan.
(6) Penyelarasan pemenuhan Belanja Wajib pegawai di luar tunjangan guru yang dialokasikan melalui TKD dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan mempertimbangkan minimal:
a. standar harga, analisis standar belanja, dan/atau standar teknis; dan/atau
b. kebijakan manajemen kepegawaian,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Penyelarasan pemenuhan Belanja Wajib infrastruktur dalam masa transisi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan mempertimbangkan minimal:
a. kondisi infrastruktur Daerah; dan/atau
b. Kapasitas Fiskal Daerah.
(8) Pemastian tersedianya anggaran atas program prioritas dan pemenuhan Belanja Wajib dalam APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan evaluasi Rancangan Perda tentang APBD yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan Keuangan Daerah.


Paragraf 2
Pelaksanaan
 
Pasal 9


(1) Penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah dalam tahap pelaksanaan dilakukan dalam hal terdapat arahan Presiden atau kesepakatan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Dalam hal terdapat arahan Presiden atau kesepakatan antara Pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, Menteri, dan/atau menteri/pimpinan lembaga teknis terkait melakukan koordinasi guna menyusun kebijakan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(3) Berdasarkan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Daerah menindaklanjuti paling sedikit melalui:
a. perubahan APBD;
b. pergeseran anggaran; dan/atau
c. penyesuaian strategi implementasi.
(4) Tindak lanjut kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Ketiga
Penetapan Batas Maksimal Kumulatif Defisit APBD dan
Pembiayaan Utang Daerah
 
Pasal 10


(1) Anggaran Pendapatan Daerah yang lebih kecil dari anggaran Belanja Daerah yang mengakibatkan defisit APBD, ditutup dari Pembiayaan neto.
(2) Pembiayaan neto sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan selisih antara penerimaan Pembiayaan dengan pengeluaran Pembiayaan.
(3) Penerimaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa Pembiayaan Utang Daerah.


Pasal 11


(1) Jumlah kumulatif defisit APBD dan defisit APBN tidak melebihi 3% (tiga persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan.
(2) Defisit APBD yang diperhitungkan dalam jumlah kumulatif defisit APBD dan defisit APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan defisit APBD yang dibiayai dari Pembiayaan Utang Daerah.
(3) Penetapan batas maksimal kumulatif defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan perkiraan defisit APBN.
(4) Batas maksimal kumulatif defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), mencakup batas maksimal defisit APBD setiap Daerah.
(5) Jumlah kumulatif pinjaman Pemerintah dan Pembiayaan Utang Daerah tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari perkiraan produk domestik bruto tahun anggaran berkenaan.
(6) Batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD setiap Daerah, dan jumlah kumulatif Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) untuk tahun anggaran berikutnya paling lambat bulan Agustus tahun anggaran berjalan dan ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

   

Pasal 12


(1) Dalam rangka penyusunan APBD, Pemerintah Daerah melaporkan rencana defisit APBD untuk tahun anggaran berikutnya kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, paling lambat bulan September tahun anggaran berjalan.
(2) Dalam rangka penyusunan perubahan APBD, Pemerintah Daerah melaporkan rencana defisit perubahan APBD kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, paling lambat bulan Agustus tahun anggaran berkenaan.
(3) Dalam hal rencana defisit APBD yang dibiayai dari Pembiayaan Utang Daerah melampaui batas maksimal yang telah ditetapkan Menteri, Kepala Daerah mengajukan permohonan pelampauan batas maksimal defisit APBD kepada Menteri.
(4) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri dapat memberikan persetujuan atas pelampauan batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah dengan ketentuan tidak melebihi batas maksimal kumulatif defisit APBD.
(5) Persetujuan atas pelampauan batas maksimal defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap dan benar.
(6) Surat persetujuan pelampauan batas maksimal defisit APBD merupakan bagian dari dokumen evaluasi rancangan Perda tentang APBD.

   

Pasal 13


(1) Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan pengendalian atas defisit APBD provinsi berdasarkan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat melakukan pengendalian atas defisit APBD kabupaten/kota berdasarkan batas maksimal defisit APBD masing-masing Daerah yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Pengendalian atas defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan pada saat evaluasi terhadap rancangan Perda tentang APBD.


Pasal 14


Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi realisasi defisit APBD yang dibiayai dengan Pembiayaan Utang Daerah untuk tahun anggaran berkenaan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri setiap semester.


Bagian Keempat
Pengendalian Dalam Kondisi Darurat
 
Pasal 15


(1) Dalam kondisi darurat, Pemerintah melakukan pengendalian dengan:
a. melaksanakan pengutamaan penggunaan (refocusing) dan realokasi APBN;
b. mengarahkan pengutamaan penggunaan (refocusing) dan realokasi APBD, serta melakukan perubahan penggunaan APBD;
c. menetapkan penyesuaian atas kumulatif defisit APBD dengan memperhatikan defisit APBN; dan/atau
d. menetapkan penyesuaian batas rasio Pembiayaan Utang Daerah atas produk domestik bruto.
(2) Pengutamaan penggunaan (refocusing) dan realokasi APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sepanjang diatur dalam undang-undang mengenai APBN.
(3) Dalam kondisi darurat, Pemerintah Daerah wajib menjalankan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan/atau huruf d.

     

Pasal 16


Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian dalam kondisi darurat diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.


Bagian Kelima
Sinergi BAS
 
Pasal 17


(1) Sinergi BAS pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah dilakukan minimal melalui penyelarasan program dan kegiatan serta keluaran dengan kewenangan Daerah dalam kerangka Keuangan Negara dan sinergi kebijakan fiskal nasional.
(2) Sinergi BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk:
  1. menyusun konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional;
  2. konsolidasi informasi keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan
  3. pengelolaan TKD yang efektif.
(3) Penyelarasan program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu dan selaras dengan program yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
(4) Penyelarasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu dan selaras dengan kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah.
(5) Penyelarasan keluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu dan selaras dengan rincian keluaran dan klasifikasi rincian keluaran yang diselenggarakan oleh Pemerintah.

       

Pasal 18


(1) BAS pada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan kodefikasi akun yang menggambarkan struktur APBD dan laporan keuangan secara lengkap sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan Keuangan Daerah.
(2) Kodefikasi sinergi BAS digunakan oleh Pemerintah Daerah dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah dan pelaporan penggunaan TKD secara digital ditetapkan oleh Menteri.
(3) Kodefikasi sinergi BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dimutakhirkan secara berkala untuk mendukung sinergi kebijakan fiskal nasional.
(4) Pemutakhiran kodefikasi sinergi BAS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi salah satu dasar pemutakhiran BAS pada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan secara berkala.


Pasal 19


Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi BAS diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.


Bagian Keenam
Platform Digital Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional

Paragraf 1
Umum
 
Pasal 20


Penyelenggaraan platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional memenuhi prinsip interoperabilitas, akuntabilitas, keamanan, akurat, relevan, tepat waktu, dan dapat dipertanggungjawabkan.


Pasal 21


Platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional meliputi:
a. penyelenggaraan platform digital;
b. data dan informasi digital;
c. digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah;
d. konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah; dan
e. penyajian Informasi Keuangan Daerah.


Paragraf 2
Penyelenggaraan Platform Digital
 
Pasal 22


(1) Pemerintah membangun sistem informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi lainnya melalui platform digital.
(2) Sistem informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terinterkoneksi dengan sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional.
(3) Sistem informasi konsolidasi kebijakan fiskal nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam bentuk SIKD secara nasional dan digitalisasi hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah yang diselenggarakan oleh Menteri.
   
   

Pasal 23


(1) Menteri menyelenggarakan SIKD secara nasional.
(2) Penyelenggaraan SIKD secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
  1. mendukung perumusan kebijakan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, kebijakan Keuangan Daerah, dan pengendalian fiskal nasional;
  2. menyajikan Informasi Keuangan Daerah secara nasional;
  3. mendukung konsolidasi informasi keuangan Pemerintah dan Pemerintah Daerah dan pengelolaan TKD yang efektif;
  4. mendukung percepatan dan perluasan digitalisasi Daerah selaras dengan kebijakan transformasi digital nasional;
  5. memperkuat perumusan kebijakan dengan memanfaatkan kebijakan berbasis data (data driven policy); dan
  6. melakukan pemantauan, pengendalian, dan evaluasi implementasi kebijakan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, pengelolaan kinerja, dan pengelolaan fiskal Daerah lainnya.

   

Pasal 24


(1) Pemerintah Daerah menyelenggarakan sistem informasi terintegrasi melalui platform digital untuk menghasilkan data dan informasi digital.
(2) Sistem informasi yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terinterkoneksi dengan SIKD dalam rangka mendukung sinergi kebijakan fiskal nasional.


Paragraf 3
Data dan Informasi Digital
 
Pasal 25


(1) Pemerintah Daerah wajib menyediakan data dan/atau informasi digital.
(2) Data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. Informasi Keuangan Daerah;
  2. informasi kinerja Daerah, termasuk data transaksi Pemerintah Daerah; dan
  3. informasi lainnya.

   

Pasal 26


(1) Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a minimal memuat informasi:
  1. perencanaan;
  2. penganggaran;
  3. pelaksanaan;
  4. penatausahaan;
  5. pelaporan; dan
  6. pertanggungjawaban.
(2) Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
  1. merumuskan kebijakan Keuangan Daerah;
  2. menyelenggarakan pengelolaan Keuangan Daerah;
  3. melakukan evaluasi kinerja Keuangan Daerah;
  4. menyediakan statistik keuangan Pemerintah Daerah;
  5. mendukung keterbukaan informasi kepada masyarakat;
  6. mendukung penyelenggaraan SIKD;
  7. melakukan evaluasi pengelolaan Keuangan Daerah; dan
  8. menyusun Kapasitas Fiskal Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Kapasitas Fiskal Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 27


(1) Pemerintah Daerah menyampaikan data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(2) Data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diselaraskan dengan BAS untuk Pemerintah Daerah.
(3) Data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dibagipakaikan dengan sistem informasi lain.


Paragraf 4
Digitalisasi Pengelolaan Hubungan Keuangan antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
 
Pasal 28


(1) Menteri menyelenggarakan digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional.
(2) Digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui:
  1. penyiapan rumusan tata kelola dan kebijakan teknis di bidang digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah;
  2. pembangunan, pengembangan, dan pemeliharaan digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah;
  3. penyusunan standar dan pembakuan digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah; dan
  4. penyajian informasi digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah kepada masyarakat.
  
   

Pasal 29


(1) Digitalisasi pengelolaan hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dilakukan dengan menghubungkan berbagai sistem informasi dan ekosistem digital.
(2) Dalam rangka menghubungkan berbagai sistem informasi dan ekosistem digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kementerian yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang Keuangan Negara dapat melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga dan Daerah serta pemangku kepentingan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 5
Konsolidasi Informasi Keuangan Pemerintah Daerah
 
Pasal 30


(1) Menteri menyusun konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah secara nasional, berdasarkan data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
(2) Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal digunakan dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional, penyusunan statistik keuangan pemerintah, dan penyusunan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi.


Paragraf 6
Penyajian Informasi Keuangan Daerah
 
Pasal 31


(1) Menteri menyajikan Informasi Keuangan Daerah secara nasional dan bersifat terbuka melalui situs resmi dan/atau menggunakan berbagai platform digital.
(2) Setiap Pemerintah Daerah menyajikan Informasi Keuangan Daerah dan bersifat terbuka melalui situs resmi dan/atau menggunakan berbagai platform digital.


Pasal 32


Ketentuan lebih lanjut mengenai platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional diatur dengan Peraturan Menteri.
 


Bagian Ketujuh
Sanksi dan Insentif
 
Pasal 33

(1) Menteri dapat memberikan sanksi berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. penundaan TKD; dan/atau
  3. pemotongan TKD.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal Pemerintah Daerah tidak melakukan kewajibannya terkait sinergi kebijakan fiskal nasional dan penyediaan data dan/atau informasi digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 31.

    


Pasal 34


(1) Pemerintah dapat memberikan insentif kepada Pemerintah Daerah berdasarkan capaian kinerja Pemerintah Daerah.
(2) Dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional Pemerintah Daerah provinsi dapat memberikan insentif bagi kabupaten/kota di wilayahnya berdasarkan capaian kinerja Pemerintah Daerah kabupaten/kota di wilayahnya.
(3) Dalam rangka sinergi kebijakan fiskal nasional Pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat memberikan insentif bagi desa/kelurahan di wilayahnya berdasarkan capaian kinerja desa/kelurahan di wilayahnya.


Pasal 35


Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian sanksi dan insentif diatur dengan Peraturan Menteri.

   

BAB III
PEMBIAYAAN UTANG DAERAH

Bagian Kesatu
Prinsip Umum
 
Pasal 36


(1) Pembiayaan Utang Daerah digunakan untuk membiayai Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
(2) Pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi prinsip:
  1. taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. transparan;
  3. akuntabel;
  4. efisien dan efektif;
  5. kehati-hatian; dan
  6. profesional.

Pasal 37


Pembiayaan Utang Daerah terdiri atas:
a. Pinjaman Daerah;
b. Obligasi Daerah; dan
c. Sukuk Daerah.


Pasal 38


(1) Pemerintah tidak memberikan Jaminan atas Pembiayaan Utang Daerah.
(2) Pemerintah Daerah dilarang melakukan Pembiayaan langsung dari pihak luar negeri.

  

Pasal 39


(1) Pemerintah Daerah menetapkan nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah setiap tahunnya.
(2) Nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam 1 (satu) tahun anggaran terlebih dahulu mendapat persetujuan DPRD.
(3) Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan pada saat pembahasan APBD.
(4) Dalam hal tertentu, Kepala Daerah dapat melakukan Pembiayaan Utang Daerah melebihi nilai bersih maksimal yang telah disetujui DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan dilaporkan sebagai perubahan APBD tahun yang bersangkutan.

    

Pasal 40


(1) Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 harus memenuhi persyaratan teknis minimal:
a. administrasi;
b. keuangan; dan
c. kelayakan kegiatan.
(2) Persyaratan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. batas maksimal Pembiayaan Utang Daerah;
b. rasio kemampuan Keuangan Daerah untuk mengembalikan Pembiayaan Utang Daerah; dan
c. batas maksimal defisit APBD yang bersumber dari Pembiayaan Utang Daerah,
yang dihitung pada saat pengajuan Pembiayaan Utang Daerah.
(3) Batas maksimal Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan jumlah sisa Pembiayaan Utang Daerah ditambah jumlah Pembiayaan Utang Daerah yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah pendapatan APBD tahun sebelumnya yang tidak ditentukan penggunaannya.
(4) Rasio kemampuan Keuangan Daerah mengembalikan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan paling sedikit 2,5 (dua koma lima).
(5) Batas maksimal defisit APBD yang bersumber dari Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sesuai ketentuan dalam Peraturan Menteri mengenai batas maksimal kumulatif defisit APBD, batas maksimal defisit APBD dan jumlah kumulatif Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (6).
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai:
a. batas maksimal Pembiayaan Utang Daerah;
b. nilai rasio kemampuan Keuangan Daerah; dan/atau
c. perubahan atas besaran batas maksimal Pembiayaan Utang Daerah dan/atau nilai rasio kemampuan Keuangan Daerah,
diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 41


(1) Dalam hal Pembiayaan Utang Daerah yang telah memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah, harus mendapat pertimbangan dari Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
(2) Kepala Daerah menyampaikan rencana Pembiayaan Utang Daerah yang melebihi sisa masa jabatan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-sama untuk mendapatkan pertimbangan, dengan melampirkan dokumen:
  1. salinan berita acara pelantikan Kepala Daerah;
  2. kerangka acuan kegiatan yang telah mendapatkan reviu aparat pengawas intern pemerintah daerah;
  3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah periode berkenaan;
  4. RKPD tahun berkenaan;
  5. laporan keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan;
  6. APBD tahun anggaran berjalan; dan
  7. rancangan Perda tentang APBD tahun berkenaan.
(3) Kerangka acuan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disertai dengan dokumen studi kelayakan dalam hal Pembiayaan Utang Daerah berupa Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan/atau Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah.
(4) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah tersedia dalam platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional, Pemerintah Daerah tidak lagi melampirkan dokumen dimaksud.
(5) Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Daerah.
(6) Pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterbitkannya tanda bukti penerimaan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
  1. kesesuaian kegiatan dengan urusan yang menjadi kewenangan daerah;
  2. kesesuaian program dan/atau kegiatan dengan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah; dan
  3. sinkronisasi Pembiayaan Utang Daerah dengan pendanaan Daerah selain Pembiayaan Utang Daerah.
(8) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian terhadap kesesuaian perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek:
  1. strategis;
  2. teknis;
  3. kelembagaan;
  4. ekonomi;
  5. dampak sosial dan lingkungan;
  6. pembiayaan; dan
  7. mitigasi risiko.
(9) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penilaian terhadap:
  1. batas maksimal Pembiayaan Utang Daerah;
  2. rasio kemampuan Keuangan Daerah untuk mengembalikan Pembiayaan Utang Daerah; dan
  3. batas maksimal defisit APBD yang bersumber dari Pembiayaan Utang Daerah.
(10) Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional secara bersama-sama membahas permohonan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat melibatkan kementerian/lembaga terkait.
(11) Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dapat menunjuk pejabat untuk mewakili dalam membahas permohonan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (10).
(12) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dituangkan dalam berita acara dan menjadi dasar dalam pemberian pertimbangan atas permohonan Pembiayaan Utang Daerah.
(13) Dalam hal terdapat menteri yang tidak menyampaikan pertimbangan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6), menteri dianggap telah menyampaikan pertimbangan sesuai dengan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (12).


Pasal 42


Untuk Pembiayaan Utang Daerah yang melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah berupa Pinjaman Daerah yang melalui penerusan pinjaman dari luar negeri, pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dilakukan melalui penyampaian daftar kegiatan pinjaman dari luar negeri.


Bagian Kedua
Pinjaman Daerah
 
Pasal 43

(1) Pinjaman Daerah dapat bersumber dari:
  1. Pemerintah;
  2. Pemerintah Daerah lain;
  3. LKB; dan/atau
  4. LKBB.
(2) Pinjaman Daerah dapat berbentuk konvensional atau syariah.
(3) Kesepakatan pinjaman dituangkan dalam perjanjian pinjaman yang ditandatangani oleh Kepala Daerah dan pemberi pinjaman.
(4) Perjanjian pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan perubahan atas kesepakatan Kepala Daerah dan pemberi pinjaman sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Dalam hal terjadi keadaan darurat berupa bencana skala nasional atau bencana skala daerah yang menyebabkan pelunasan Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi ketentuan dalam perjanjian pinjaman, dapat dilakukan perpanjangan waktu pelunasan melalui perubahan perjanjian pinjaman.


Pasal 44


(1) Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka:
  1. pengelolaan kas;
  2. Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah;
  3. pengelolaan portofolio utang Daerah; dan/atau
  4. penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD.
(2) Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan tidak dengan persetujuan DPRD.
(3) Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilunasi dalam tahun anggaran berkenaan.
(4) Pinjaman Daerah dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat berupa pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan.
(5) Pinjaman Daerah dalam rangka pengelolaan portofolio utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c untuk menjaga komposisi utang yang optimal dan untuk meminimalkan biaya utang yang terkendali.
(6) Pinjaman Daerah dalam rangka penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa penugasan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah kepada BUMD untuk membiayai program/kegiatan yang bersifat strategis nasional atau penugasan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Penugasan Pemerintah Daerah kepada BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang bukan merupakan program/kegiatan yang bersifat strategis nasional harus mendapatkan persetujuan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.


Pasal 45


(1) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a berasal dari APBN.
(2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui Menteri setelah mendapatkan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.
(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui penugasan kepada LKB atau LKBB.
  

Pasal 46


(1) Pelaksanaan Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf a mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian pinjaman oleh Pemerintah.
(2) Kepala Daerah menyampaikan rencana Pinjaman Daerah kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara bersama-sama untuk mendapatkan pertimbangan dengan melampirkan dokumen:
  1. salinan berita acara pelantikan Kepala Daerah;
  2. kerangka acuan kegiatan yang telah mendapatkan reviu dari aparat pengawas intern pemerintah daerah;
  3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah periode berkenaan;
  4. RKPD tahun berkenaan;
  5. laporan keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan;
  6. Perda mengenai APBD tahun anggaran berjalan; dan
  7. rancangan Perda mengenai APBD tahun pinjaman berkenaan.
(3) Kerangka acuan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disertai dengan dokumen studi kelayakan dalam hal Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah.
(4) Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Daerah.
(5) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dengan melakukan penilaian terhadap:
  1. kesesuaian kegiatan dengan urusan yang menjadi kewenangan daerah;
  2. kesesuaian program dan/atau kegiatan dengan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah; dan
  3. sinkronisasi Pinjaman Daerah dengan pendanaan Daerah selain Pinjaman Daerah.
(6) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian terhadap kesesuaian perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek:
  1. strategis;
  2. teknis;
  3. kelembagaan;
  4. ekonomi;
  5. dampak sosial dan lingkungan;
  6. pembiayaan; dan
  7. mitigasi risiko.
(7) Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterbitkan tanda bukti penerimaan rencana Pinjaman Daerah.
(8) Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional belum diberikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa rencana Pinjaman Daerah telah sesuai dengan kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6).
(9) Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8) disampaikan kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada Menteri.
(10) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah yang melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah, mekanisme pemberian pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui mekanisme pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.

  

Pasal 47


(1) Kepala Daerah menyampaikan rencana Pinjaman Daerah kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri serta menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional atas Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) secara bersama-sama untuk mendapatkan pertimbangan, dengan melampirkan dokumen:
  1. salinan berita acara pelantikan Kepala Daerah;
  2. kerangka acuan kegiatan yang telah mendapatkan reviu dari aparat pengawas intern pemerintah daerah;
  3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah periode berkenaan;
  4. RKPD tahun berkenaan;
  5. laporan keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan;
  6. Perda mengenai APBD tahun anggaran berjalan; dan
  7. rancangan Perda mengenai APBD tahun pinjaman berkenaan.
(2) Kerangka acuan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b disertai dengan dokumen studi kelayakan dalam hal Pinjaman Daerah dilakukan dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah.
(3) Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kepala Daerah.
(4) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penilaian terhadap:
  1. batas maksimal Pembiayaan Utang Daerah;
  2. rasio kemampuan Keuangan Daerah untuk mengembalikan Pembiayaan Utang Daerah; dan
  3. batas maksimal defisit APBD yang bersumber dari Pembiayaan Utang Daerah.
(5) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
  1. kesesuaian kegiatan dengan urusan yang menjadi kewenangan Daerah;
  2. kesesuaian program dan/atau kegiatan dengan dokumen perencanaan dan penganggaran Daerah; dan
  3. sinkronisasi Pinjaman Daerah dengan pendanaan Daerah selain Pinjaman Daerah.
(6) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian terhadap kesesuaian perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek:
  1. strategis;
  2. teknis;
  3. kelembagaan;
  4. ekonomi;
  5. dampak sosial dan lingkungan;
  6. pembiayaan; dan
  7. mitigasi risiko.
(7) Pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterbitkan tanda bukti penerimaan dokumen rencana Pinjaman Daerah.
(8) Dalam hal pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional tidak diberikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa rencana Pinjaman Daerah telah sesuai dengan kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (5), dan ayat (6).
(9) Pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau ayat (8) disampaikan kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada LKB atau LKBB yang mendapat penugasan dari Pemerintah.
(10) Persetujuan LKB atau LKBB diberikan dengan melakukan penilaian terhadap kelayakan teknis dan keuangan serta memperhatikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9).
(11) Persetujuan LKB atau LKBB sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterimanya dokumen usulan rencana Pinjaman Daerah secara lengkap dan benar.
(12) Untuk Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah melalui penugasan kepada LKB atau LKBB yang melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah, mekanisme pemberian pertimbangan Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui mekanisme pemberian pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.

   

Pasal 48


(1) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah Daerah lain, LKB, dan LKBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pemberi pinjaman.
(2) Kepala Daerah menyampaikan salinan perjanjian Pinjaman Daerah yang bersumber dari Daerah lain, LKB, dan LKBB kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.

   

Pasal 49


(1) Dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan/atau penanganan kondisi darurat, Pemerintah dapat memberikan Pinjaman Daerah yang bersumber dari:
  1. Pemerintah; dan/atau
  2. LKB atau LKBB yang mendapat penugasan dari Pemerintah.
(2) Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pinjaman tunai dan/atau pinjaman kegiatan dengan suku bunga tertentu yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Dalam hal Pinjaman Daerah dalam rangka penanganan kondisi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Kepala Daerah setelah APBD ditetapkan, Pinjaman Daerah tersebut dilaporkan sebagai perubahan APBD tahun yang bersangkutan.
(4) Menteri dapat menugaskan LKB atau LKBB untuk melaksanakan pemberian Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a.
(5) Pemerintah dapat memberikan subsidi bunga kepada Daerah yang memanfaatkan pinjaman bersumber dari LKB atau LKBB yang mendapat penugasan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(6) Besaran subsidi bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan kategori Kapasitas Fiskal Daerah dan kemampuan Keuangan Negara.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pinjaman dalam rangka pelaksanaan kebijakan fiskal nasional dan/atau penanganan kondisi darurat dan pemberian subsidi bunga diatur dengan Peraturan Menteri.


Bagian Ketiga
Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah
 
Pasal 50


(1) Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka:
  1. Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah;
  2. pengelolaan portofolio utang Daerah; dan/atau
  3. penerusan pinjaman dan/atau penyertaan modal kepada BUMD atas dana hasil penjualan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah.
(2) Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah diterbitkan melalui pasar modal domestik dan dalam mata uang rupiah.
(3) Penerbitan melalui pasar modal domestik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan mekanisme penawaran umum.
(4) Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk penyediaan sarana dan prasarana Daerah.


Pasal 51


(1) Penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dengan persetujuan Menteri setelah mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(2) Dalam melaksanakan penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah menyampaikan rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dengan melampirkan dokumen:
  1. salinan berita acara pelantikan Kepala Daerah;
  2. kerangka acuan kegiatan yang telah mendapatkan reviu dari aparat pengawas intern pemerintah daerah;
  3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah periode berkenaan;
  4. RKPD tahun berkenaan;
  5. laporan keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan;
  6. APBD tahun anggaran berjalan; dan
  7. rancangan Perda tentang APBD tahun berkenaan.
(3) Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Daerah.
(4) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
  1. kesesuaian kegiatan dengan urusan yang menjadi kewenangan daerah;
  2. kesesuaian program dan/atau kegiatan dengan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah; dan
  3. sinkronisasi rencana Pembiayaan melalui Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dengan pendanaan Pembiayaan selain Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah.
(5) Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterbitkan tanda bukti penerimaan dokumen rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah.
(6) Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, belum diberikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah telah sesuai dengan kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Surat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada Menteri.
(8) Dalam rangka memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penilaian terhadap:
  1. batas maksimal Pembiayaan Utang Daerah;
  2. rasio kemampuan Keuangan Daerah untuk mengembalikan Pembiayaan Utang Daerah; dan
  3. batas maksimal defisit APBD yang bersumber dari Pembiayaan Utang Daerah.
(9) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya tembusan atas surat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (7) atau sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui.

      

Pasal 52


(1) Dalam hal Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah yang diterbitkan melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah, penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dilakukan dengan persetujuan Menteri setelah mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan dan pembangunan nasional.
(2) Dalam melaksanakan penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah menyampaikan rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan dan pembangunan nasional, dengan melampirkan dokumen:
  1. salinan berita acara pelantikan Kepala Daerah;
  2. kerangka acuan kegiatan yang telah mendapatkan reviu dari aparat pengawas intern pemerintah daerah;
  3. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah periode berkenaan;
  4. RKPD tahun berkenaan;
  5. laporan keuangan Pemerintah Daerah selama 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan;
  6. APBD tahun anggaran berjalan; dan
  7. rancangan Perda tentang APBD tahun berkenaan.
(3) Kerangka acuan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disertai dengan dokumen studi kelayakan dalam hal Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah dilakukan dalam rangka Pembiayaan pembangunan Infrastruktur Daerah.
(4) Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan dan pembangunan nasional atau pejabat yang ditunjuk, menerbitkan tanda bukti penerimaan surat beserta kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Kepala Daerah.
(5) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
  1. kesesuaian kegiatan dengan urusan yang menjadi kewenangan daerah;
  2. kesesuaian program dan/atau kegiatan dengan dokumen perencanaan dan penganggaran daerah; dan
  3. sinkronisasi rencana Pembiayaan melalui Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dengan pendanaan Pembiayaan selain Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah.
(6) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan penilaian terhadap kesesuaian perencanaan pembangunan dengan mempertimbangkan aspek:
  1. strategis;
  2. teknis;
  3. kelembagaan;
  4. ekonomi;
  5. dampak sosial dan lingkungan;
  6. pembiayaan; dan
  7. mitigasi risiko.
(7) Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterbitkan tanda bukti penerimaan dokumen rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah.
(8) Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, tidak diberikan sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan bahwa rencana penerbitan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah telah sesuai dengan kriteria penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6).
(9) Surat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) disampaikan kepada Kepala Daerah dengan tembusan kepada Menteri.
(10) Dalam rangka memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan penilaian terhadap:
  1. batas maksimal Pembiayaan Utang Daerah;
  2. rasio kemampuan Keuangan Daerah untuk mengembalikan Pembiayaan Utang Daerah; dan
  3. batas maksimal defisit APBD yang bersumber dari Pembiayaan Utang Daerah.
(11) Persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (10) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya tembusan atas surat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (9) atau sejak batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui.


Pasal 53


(1) Penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah diatur dengan Perkada.
(2) Perkada mengenai penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
  1. jumlah maksimal nilai nominal yang akan diterbitkan;
  2. penggunaan dana;
  3. tanggung jawab pembayaran pokok dan bunga;
  4. metode penerbitan melalui penawaran umum; dan
  5. jadwal penerbitan.
(3) Perkada mengenai penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
  1. jumlah maksimal nilai nominal yang akan diterbitkan;
  2. penggunaan dana;
  3. tanggung jawab pembayaran pokok dan imbalan;
  4. metode penerbitan melalui penawaran umum;
  5. jadwal penerbitan;
  6. aset yang mendasari penerbitan; dan
  7. Akad yang digunakan dalam penerbitan.
(4) Perkada mengenai penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah disampaikan kepada otoritas di bidang pasar modal sebelum efektifnya pernyataan pendaftaran penawaran umum Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah dengan tembusan kepada Menteri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.


Pasal 54


(1) Pemerintah Daerah menyampaikan dokumen pernyataan pendaftaran penawaran umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka penawaran umum Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah, setelah mendapatkan surat persetujuan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (9) atau Pasal 52 ayat (11).
(2) Dalam hal dokumen pernyataan pendaftaran penawaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap Otoritas Jasa Keuangan dapat menerbitkan pernyataan efektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(3) Tata cara dan persyaratan dalam pernyataan pendaftaran penawaran umum dan dokumen pernyataan pendaftaran penawaran umum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

   

Pasal 55


(1) Perjanjian penerbitan Obligasi Daerah atau Sukuk Daerah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan dan ditandatangani oleh Kepala Daerah dan wali amanat sebagai wakil pemegang Obligasi Daerah atau Sukuk Daerah.
(2) Perjanjian penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perjanjian perwaliamanatan yang diatur dalam peraturan di bidang pasar modal.

       

Pasal 56


(1) Dana hasil penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah ditempatkan pada rekening tersendiri yang merupakan bagian dari rekening kas umum daerah.
(2) Dana hasil penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditempatkan dalam rekening pada bank syariah.
(3) Dana hasil penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah hanya dapat digunakan untuk membiayai kegiatan sesuai dengan tujuan penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah yang telah direncanakan.
(4) Dalam hal terdapat sisa dana hasil penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah setelah seluruh kegiatan terlaksana sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah memindahkan sisa dana dimaksud ke rekening kas umum daerah.
(5) Sisa dana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat digunakan untuk kegiatan lain yang mendukung pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Dalam hal dana hasil penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah tidak mencukupi kebutuhan pendanaan untuk membiayai kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah bertanggung jawab untuk menutup kekurangan pendanaan kegiatan dimaksud.

  

Pasal 57


(1) Pemerintah Daerah dapat membeli kembali Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah yang diterbitkan.
(2) Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah yang dibeli kembali diperlakukan sebagai pelunasan atas Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah tersebut.
(3) Tata cara pembelian kembali Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah oleh Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.


Pasal 58


Sukuk Daerah dapat berupa:
a. Sukuk Daerah ijarah, yang diterbitkan berdasarkan Akad ijarah;
b. Sukuk Daerah mudharabah, yang diterbitkan berdasarkan Akad mudharabah;
c. Sukuk Daerah musyarakah, yang diterbitkan berdasarkan Akad musyarakah;
d. Sukuk Daerah istishna', yang diterbitkan berdasarkan Akad istishna';
e. Sukuk Daerah wakalah, yang diterbitkan berdasarkan Akad wakalah;
f. Sukuk Daerah yang diterbitkan berdasarkan Akad lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah; dan
g. Sukuk Daerah yang diterbitkan berdasarkan kombinasi dari 2 (dua) atau lebih Akad sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf f.


Pasal 59


(1) Pemerintah Daerah dapat menggunakan BMD dan/atau objek Pembiayaan yang dibiayai dari Sukuk Daerah sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah.
(2) BMD yang akan digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD.
(3) BMD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. tanah dan/atau bangunan; dan
  2. selain tanah dan/atau bangunan.
(4) BMD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa barang berwujud ataupun barang tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis dan/atau memiliki aliran penerimaan kas.
(5) Jenis, nilai, dan spesifikasi BMD dan/atau objek Pembiayaan yang akan digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan Kepala Daerah.

     

Pasal 60


(1) BMD dan/atau objek Pembiayaan yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) tidak dapat dipindahtangankan dan/atau dihapuskan sampai dengan jatuh tempo Sukuk Daerah.
(2) Ketentuan mengenai larangan pemindahtanganan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal pemindahtanganan dilakukan dalam rangka pelaksanaan dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan mengenai larangan penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal penghapusan dilakukan karena kondisi BMD dan/atau objek Pembiayaan yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sudah rusak atau musnah.
(4) Dalam hal dilakukan pemindahtanganan atau penghapusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pemerintah Daerah wajib mengganti dengan BMD lain yang memenuhi persyaratan dan mempunyai nilai paling sedikit sama dengan dasar penerbitan Sukuk Daerah yang dipindahtangankan atau dihapuskan.

   

Pasal 61


(1) Penggunaan BMD sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah dilakukan Kepala Daerah dengan cara menjual atau menyewakan Hak Manfaat atas BMD atau cara lain sesuai dengan Akad yang digunakan dalam rangka penerbitan Sukuk Daerah.
(2) BMD yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disewa kembali oleh Kepala Daerah berdasarkan suatu Akad.
(3) Dalam hal dasar penerbitan Sukuk Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sedang digunakan oleh instansi Pemerintah Daerah dan akan digunakan sebagai aset Sukuk Daerah, sekretaris daerah terlebih dahulu memberitahukan kepada pengguna BMD.


Pasal 62


(1) Kepala Daerah harus membeli kembali Hak Manfaat atas BMD yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah, membatalkan Akad sewa, dan mengakhiri Akad penerbitan Sukuk Daerah lainnya pada saat Sukuk Daerah jatuh tempo.
(2) Dalam rangka pembelian kembali Hak Manfaat atas BMD yang digunakan sebagai dasar penerbitan Sukuk Daerah, pembatalan Akad sewa, dan pengakhiran Akad penerbitan Sukuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah membayar nilai nominal Sukuk Daerah atau kewajiban pembayaran lain sesuai dengan Akad penerbitan Sukuk Daerah kepada pemegang Sukuk Daerah.


Bagian Keempat
Pengelolaan, Pertanggungjawaban, dan Pelaporan
 
Pasal 63


(1) Kepala Daerah bertanggung jawab atas pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah.
(2) Pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
  1. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan, termasuk kebijakan pengendalian risiko;
  2. perencanaan dan penetapan struktur portofolio;
  3. penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah;
  4. pelaksanaan Pinjaman Daerah;
  5. pembelian kembali Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah sebelum jatuh tempo;
  6. pelunasan pada saat jatuh tempo;
  7. pelaporan dan publikasi;
  8. pertanggungjawaban; dan
  9. aktivitas lain dalam rangka pengembangan Pembiayaan Utang Daerah.
(3) Dalam pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah dibantu oleh unit yang menyelenggarakan fungsi pengelolaan utang pada perangkat daerah yang bertugas melaksanakan pengelolaan Keuangan Daerah.


Pasal 64


(1) Setiap tahun Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan dana cadangan dalam APBD sesuai dengan kemampuan Keuangan Daerah untuk pembayaran pokok Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.
(2) Dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda mengenai pembentukan dana cadangan.
(3) Dalam hal dana cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat diinvestasikan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko rendah.


Pasal 65

(1) Pemerintah Daerah dilarang memberikan jaminan atas Pembiayaan utang pihak lain.
(2) Dalam rangka penyediaan proyek strategis nasional, Pemerintah Daerah dapat memberikan jaminan atas pembiayaan utang BUMD yang mendapat penugasan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) BMD tidak dapat dijadikan jaminan atau digadaikan untuk mendapatkan Pembiayaan Utang Daerah.
(4) Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas kegiatan yang didanai dari Pembiayaan Utang Daerah.



Bagian Kelima
Pemantauan dan Evaluasi
 
Pasal 66


(1) Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional sesuai dengan kewenangannya, melakukan pemantauan dan evaluasi atas penarikan, penggunaan, dan pembayaran kembali Pembiayaan Utang Daerah.
(2) Berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional melakukan koordinasi penyelesaian atas permasalahan pemberian Pembiayaan Utang Daerah.
(3) Permasalahan pemberian Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
  1. penyerapan pinjaman mengalami keterlambatan yang sangat jauh menyimpang dari rencana penarikan;
  2. penggunaan pinjaman tidak sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian pinjaman; dan/atau
  3. permasalahan lain dalam pelaksanaan Pembiayaan Utang Daerah.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atas Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah dan/atau melalui penugasan kepada LKB atau LKBB ditemukan permasalahan, Menteri dapat melakukan langkah-langkah penyelesaian berupa pembatalan sebagian atau seluruh Pinjaman Daerah.
(5) Segala kewajiban yang timbul akibat pembatalan sebagian atau seluruh Pinjaman Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah.

  

Bagian Keenam
Kewajiban dan Sanksi
 
Pasal 67


(1) Pemerintah Daerah wajib membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah pada saat jatuh tempo.
(2) Dana untuk membayar kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD sampai dengan berakhirnya kewajiban.
(3) Dalam hal terdapat Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melebihi masa jabatan Kepala Daerah, Kepala Daerah dan DPRD periode berikutnya sesuai dengan kewenangannya masing-masing melanjutkan kewajiban penganggaran dan pembayaran pokok, bunga atau kupon, dan kewajiban lainnya atas Pembiayaan Utang Daerah sampai dengan berakhirnya kewajiban.
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menganggarkan pembayaran kewajiban Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Daerah dan DPRD dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkannya hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
(5) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.


Pasal 68


(1) Dalam hal Daerah tidak membayar kewajiban Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah dan lembaga yang mendapat penugasan dari Pemerintah yang telah jatuh tempo, Menteri dapat melakukan pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya.
(2) Pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemotongan TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.


Pasal 69


(1) Pemerintah Daerah melaporkan pos1s1 kumulatif Pembiayaan Utang Daerah dan kewajiban Pembiayaan Utang Daerah setiap semester, termasuk alokasi pemenuhan kewajiban dalam APBD kepada menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan Menteri.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari Informasi Keuangan Daerah.

   

Pasal 70


(1) Pemerintah Daerah harus menyelenggarakan publikasi informasi mengenai Pembiayaan Utang Daerah kepada masyarakat secara berkala.
(2) Publikasi informasi mengenai Pembiayaan Utang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat paling sedikit:
  1. kebijakan pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah;
  2. rencana penerbitan Pembiayaan Utang Daerah yang meliputi perkiraan jumlah dan jadwal waktu penerbitan;
  3. posisi kumulatif Pembiayaan Utang Daerah;
  4. sumber Pembiayaan Utang Daerah;
  5. penggunaan Pembiayaan Utang Daerah;
  6. realisasi penyerapan Pembiayaan Utang Daerah;
  7. pemenuhan kewajiban Pembiayaan Utang Daerah; dan
  8. jumlah Pembiayaan Utang Daerah yang beredar beserta komposisinya, termasuk struktur jatuh tempo dan besaran imbalan.
(3) Setiap perjanjian Pembiayaan Utang Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah merupakan dokumen publik dan diumumkan dalam berita daerah.


Pasal 71


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian Pinjaman Daerah, penerbitan Obligasi Daerah, dan penerbitan Sukuk Daerah diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional.


BAB IV
DANA ABADI DAERAH
 
Pasal 72


(1) Daerah dapat membentuk DAD.
(2) Pembentukan DAD bagi Pemerintah Daerah bertujuan untuk:
  1. mengelola keuangan demi kemanfaatan dan keberlanjutan lintas generasi; dan
  2. memperbaiki kualitas pengelolaan Keuangan Daerah.
(3) Pembentukan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Perda.


Pasal 73


(1) Daerah yang akan membentuk DAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (1) harus memenuhi kriteria:
  1. memiliki kapasitas fiskal daerah yang tinggi atau sangat tinggi; dan
  2. kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik telah terpenuhi.
(2) Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b menggunakan Urusan Pemerintahan wajib yang digunakan dalam penghitungan alokasi DAU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 74


(1) Pembentukan DAD dilakukan dengan tahapan:
  1. persiapan;
  2. penilaian; dan
  3. penetapan.
(2) Tahap persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
  1. penyusunan rancangan Perda mengenai DAD;
  2. pencantuman sumber dan besaran dana yang akan digunakan untuk membentuk DAD pada KUA dan PPAS;
  3. penyiapan pengelola DAD; dan
  4. penyiapan sarana dan prasarana pengelola DAD.
(3) Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a memuat paling sedikit:
  1. sumber dan besaran dana yang akan digunakan untuk membentuk DAD;
  2. penempatan DAD;
  3. tahun penganggaran;
  4. pengelola DAD;
  5. pemanfaatan hasil pengelolaan DAD; dan
  6. pelaporan dan pertanggungjawaban atas pemanfaatan hasil pengelolaan DAD.
(4) Dana untuk membentuk DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat bersumber dari:
  1. SiLPA yang belum ditentukan penggunaannya; dan/atau
  2. sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   

Pasal 75


(1) Tahap penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b merupakan proses yang dilakukan oleh Menteri setelah mendapatkan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dalam menilai permohonan pembentukan DAD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
  1. kesesuaian kegiatan yang didanai dari hasil pengelolaan DAD dengan prioritas Daerah;
  2. kesesuaian program dan/atau kegiatan dengan dokumen perencanaan dan penganggaran Daerah; dan
  3. kesiapan unit dan tata kelola pengelola DAD.
(3) Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya dokumen rencana pembentukan DAD secara lengkap dan benar.
(4) Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri tidak diberikan sampai batas waktu 15 (lima belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan kesesuaian usulan pembentukan DAD sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan pembentukan DAD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 76


Tahap penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c terdiri atas:
a. penetapan Perda mengenai DAD;
b. pengalokasian DAD sebagai pengeluaran Pembiayaan dalam APBD,
dalam hal Menteri telah memberikan persetujuan pembentukan DAD.

   

Pasal 77


(1) Pengelolaan DAD dilakukan oleh bendahara umum Daerah atau badan layanan umum Daerah.
(2) Kepala Daerah menentukan unit pengelola DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  
   

Pasal 78


(1) Pengelola DAD memilih instrumen keuangan yang akan menjadi penempatan DAD.
(2) Pengelolaan DAD dilakukan dalam investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai.
(3) Pemilihan instrumen keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain bebas dari risiko penurunan nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga berdasarkan tingkat imbal hasil yang optimal.
(4) Dalam memilih instrumen keuangan yang akan menjadi penempatan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengelola DAD harus melakukan analisis terhadap risiko.
(5) Pengelola DAD dapat bekerja sama dengan pengelola dana abadi di Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain, dan/atau LKB/LKBB, dalam menempatkan atau memanfaatkan DAD.

      

Pasal 79


(1) Hasil pengelolaan DAD dimanfaatkan untuk meningkatkan dan/atau memperluas pelayanan publik yang menjadi prioritas daerah.
(2) Hasil pengelolaan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditujukan untuk:
  1. memperoleh manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya yang ditetapkan sebelumnya;
  2. memberikan sumbangan kepada penerimaan daerah; dan
  3. menyelenggarakan kemanfaatan umum lintas generasi.
(3) Dalam hal terdapat surplus hasil pengelolaan DAD, dapat digunakan pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Surplus hasil pengelolaan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan untuk:
  1. menambah pokok DAD; dan/atau
  2. pemanfaatan lainnya sesuai kebutuhan dan prioritas Daerah, setelah terpenuhinya target dari tujuan pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) DAD dapat diperhitungkan sebagai bagian pemenuhan Belanja Wajib sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
   

Pasal 80


(1) Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dapat membentuk DAD.
(2) Pembentukan DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari kriteria pembentukan DAD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1).
(3) Ketentuan pembentukan dan pengelolaan DAD, termasuk pengelolaan DAD dalam kondisi darurat, dalam Peraturan Pemerintah ini berlaku juga bagi Daerah yang memiliki otonomi khusus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
   

Pasal 81


(1) Dalam hal Daerah mengalami kondisi darurat, Daerah dapat menarik pokok DAD.
(2) Kondisi darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kondisi darurat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
(3) Penarikan pokok DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah Daerah mengajukan usulan penarikan pokok DAD dan mendapatkan persetujuan Menteri.
(4) Dalam memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri terlebih dahulu mendapatkan pertimbangan dari menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.
(5) Dalam rangka memberikan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri melakukan penilaian terhadap:
  1. kegiatan yang akan didanai dari hasil penarikan pokok DAD; dan
  2. keberlanjutan atas target dari tujuan pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2).
(6) Pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diberikan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya dokumen rencana penarikan pokok DAD secara lengkap dan benar.
(7) Dalam hal pertimbangan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri tidak diberikan sampai batas waktu 15 (lima belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6), menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri dianggap telah memberikan pertimbangan yang menyatakan kesesuaian usulan penarikan pokok DAD sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(8) Menteri dapat memberikan persetujuan atau penolakan atas usulan penarikan pokok DAD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah.
(9) Daerah wajib mengembalikan pokok DAD yang telah ditarik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setelah berakhirnya kondisi darurat dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Daerah.
(10) Dalam hal Daerah tidak mengembalikan pokok DAD sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Menteri dapat melakukan pemotongan DAU dan/atau dana bagi hasil.


Pasal 82


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan dan pengelolaan DAD diatur dengan Peraturan Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri.


BAB V
SINERGI PENDANAAN
 
Pasal 83


(1) Dalam rangka percepatan penyediaan Infrastruktur dan/atau program prioritas lainnya sesuai dengan urusan yang menjadi kewenangan Daerah, Daerah dapat melakukan Sinergi Pendanaan.
(2) Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan untuk mendanai 1 (satu) atau lebih kegiatan dalam pencapaian target pembangunan pada:
  1. wilayah tertentu; dan/atau
  2. tematik tertentu.
(3) Percepatan pencapaian target pembangunan pada wilayah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilaksanakan melalui Sinergi Pendanaan lintas sektor dalam 1 (satu) atau lebih Daerah.
(4) Percepatan pencapaian target pembangunan pada tematik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan melalui perumusan suatu tematik pembangunan yang menyinergikan pendanaan beberapa bidang Urusan Pemerintahan.


Pasal 84


(1) Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dapat dilaksanakan melalui sumber pendanaan APBD dan selain APBD.
(2) Pendanaan dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber dari PAD, TKD, dan/atau penerimaan Pembiayaan Daerah.
(3) Pemerintah dapat mengarahkan pengalokasian TKD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk mendukung Sinergi Pendanaan.
(4) Pendanaan selain dari APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui kerja sama Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dan/atau dukungan pendanaan dari pihak lain.
(5) Pendanaan dari pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat bersumber dari:
  1. Pemerintah berupa belanja kementerian/lembaga;
  2. swasta;
  3. badan usaha milik negara;
  4. BUMD;
  5. Pemerintah Daerah lain;
  6. masyarakat; dan/atau
  7. sumber lainnya yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 85


(1) Daerah menyusun rencana Sinergi Pendanaan, dalam rangka melaksanakan Sinergi Pendanaan.
(2) Rencana Sinergi Pendanaan mengacu pada dokumen perencanaan Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Rencana Sinergi Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit:
  1. kerangka strategis;
  2. kerangka acuan kerja;
  3. dukungan yang dibutuhkan dari pihak yang terlibat; dan
  4. pengelolaan keuangan program.
(4) Kerangka strategis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, memuat paling sedikit:
  1. wilayah atau tematik;
  2. program dan kegiatan yang akan dilaksanakan; dan
  3. target pembangunan jangka pendek dan menengah yang akan dicapai.
(5) Kerangka acuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, memuat paling sedikit:
  1. jangka waktu pelaksanaan program dan kegiatan;
  2. jumlah dana yang dibutuhkan;
  3. kegiatan yang akan dikerjakan;
  4. dampak terhadap lingkungan sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup; dan
  5. sinergi program dan kegiatan lintas organisasi perangkat daerah.
(6) Dukungan yang dibutuhkan dari pihak yang terlibat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c memuat:
  1. komitmen kontribusi pendanaan dari APBD dan selain dari APBD; dan/atau
  2. komitmen lainnya dari pihak yang terlibat.
(7) Pengelolaan keuangan program sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d meliputi:
  1. pengelolaan pendapatan, belanja, dan Pembiayaan atas pelaksanaan program dan kegiatan;
  2. pengelolaan sumber keuangan;
  3. pengelolaan aset; dan
  4. pengelolaan keuangan lainnya.
(8) Rencana Sinergi Pendanaan ditetapkan dengan Perkada.


Pasal 86


(1) Pengalokasian TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dapat dilakukan bersama dengan dukungan pendanaan dari Pemerintah berupa belanja kementerian/lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (5) huruf a.
(2) Pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan kemampuan Keuangan Negara dan memperhatikan Kapasitas Fiskal Daerah.
(3) Kepala Daerah menyampaikan usulan pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri dengan melampirkan rencana Sinergi Pendanaan.
(4) Pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal rencana Sinergi Pendanaan melibatkan sumber pendanaan yang bersumber dari:
  1. Pembiayaan Utang Daerah; dan/atau
  2. kerja sama Daerah dengan badan usaha.
(5) Menteri berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang perencanaan pembangunan nasional, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan kementerian/lembaga terkait untuk melakukan penilaian atas rencana Sinergi Pendanaan.
(6) Pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan memperhatikan pencapaian prioritas nasional dan karakteristik wilayah.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalokasian TKD dan dukungan pendanaan yang bersumber dari Pemerintah diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB VI
PEMANTAUAN DAN EVALUASI
 
Pasal 87


Menteri selaku pengelola fiskal melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan pendanaan desentralisasi secara berkala paling sedikit terhadap:
a. pelaksanaan TKD; dan
b. pelaksanaan APBD.

   

Pasal 88


Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan TKD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf a dilakukan paling sedikit terhadap:
a. realisasi penyerapan;
b. capaian keluaran; dan/atau
c. dampak dan manfaat pelaksanaan kegiatan.


Pasal 89


(1) Pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 huruf b paling sedikit dilakukan terhadap:
  1. PAD;
  2. Belanja Daerah;
  3. pengelolaan Pembiayaan; dan
  4. likuiditas Keuangan Daerah.
(2) Pemantauan dan evaluasi atas PAD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan untuk mencapai penerimaan realisasi PAD yang mendekati potensi PAD.
(3) Pemantauan dan evaluasi atas Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diukur dari kecepatan belanja, ketepatan belanja, pemenuhan Belanja Wajib, serta pencapaian keluaran dan hasil atas program prioritas.
(4) Pemantauan dan evaluasi atas pengelolaan Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diukur dari:
  1. jumlah SiLPA yang wajar;
  2. pemenuhan kewajiban Pembiayaan Utang Daerah; dan
  3. pengelolaan DAD.
(5) Pemantauan dan evaluasi atas likuiditas Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d digunakan untuk mengukur kesehatan fiskal Pemerintah Daerah dalam membiayai kewajiban lancar.
 
   

Pasal 90


Pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan TKD dan APBD dilakukan secara bersinergi atas pencapaian program prioritas nasional dan Daerah.
   

Pasal 91


(1) Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 untuk mendukung sinergi kebijakan fiskal nasional menggunakan platform digital.
(2) Pemantauan dan evaluasi dengan memanfaatkan platform digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diselaraskan dengan berbagai pelaksanaan dan evaluasi yang dilakukan oleh kementerian/lembaga dan Daerah.

   

Pasal 92


Hasil pemantauan dan evaluasi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah dalam pengambilan kebijakan fiskal nasional, TKD, dan/atau pemberian sanksi atau insentif kepada Pemerintah Daerah.
   

Pasal 93


Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemantauan dan evaluasi diatur dengan Peraturan Menteri.


BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 94


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Perjanjian Pembiayaan Utang Daerah yang telah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, tetap berlaku sampai dengan berakhirnya pelunasan pembayaran pinjaman;
b. Jaminan atas pelaksanaan Pinjaman Daerah yang telah diberikan oleh Pemerintah kepada LKB atau LKBB yang mendapat penugasan dari Pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian Pinjaman Daerah;
c. Pembiayaan Utang Daerah yang telah diajukan oleh Daerah sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, proses penilaian terhadap pinjaman daerah dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah; dan
d. Perda mengenai DAD yang telah ditetapkan sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan diundangkannya Perda mengenai DAD berdasarkan Peraturan Pemerintah ini paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku.


BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 95


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan dari:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4576) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5155); dan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6279);
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 96


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, ketentuan mengenai:
a. sinkronisasi perencanaan dan penganggaran sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2017 tentang Sinkronisasi Proses Perencanaan dan Penganggaran Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6056); dan
b. Pinjaman Daerah, KUA, dan PPAS sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.

   

Pasal 97


Pada saat peraturan pemerintah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4576) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2005 tentang Sistem Informasi Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5155); dan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 248, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6279);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
   

Pasal 98


Ketentuan mengenai penilaian kesesuaian antara rancangan KUA dan rancangan PPAS dengan KEM PPKF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dilaksanakan mulai tahun 2024.


Pasal 99


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
   
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



   

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2024
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Januari 2024
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PRATIKNO



LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 2





PENJELASAN

ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

HARMONISASI KEBIJAKAN FISKAL NASIONAL

     
I. UMUM

Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah meletakkan dasar-dasar penyempurnaan dan penguatan tata kelola hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Hal ini merupakan upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan bernegara. Upaya tersebut dimanifestasikan dalam berbagai redesain instrumen utama desentralisasi fiskal yang tidak hanya melalui TKD, pajak daerah, dan retribusi daerah, melainkan juga melalui sinergi kebijakan fiskal nasional, Pembiayaan Utang Daerah, DAD, dan Sinergi Pendanaan.

Peraturan Pemerintah ini disusun untuk melaksanakan beberapa amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah khususnya mengenai sinergi kebijakan fiskal nasional, Pembiayaan Utang Daerah, DAD, dan Sinergi Pendanaan. Penggabungan beberapa muatan pengaturan tersebut sebagai upaya simplifikasi dan optimalisasi regulasi dalam suatu harmonisasi kebijakan fiskal nasional.

Harmonisasi kebijakan fiskal nasional merupakan proses atau upaya untuk menyelaraskan, menyerasikan, dan/atau menyesuaikan kebijakan fiskal antara Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah di dalam pengelolaan dan pengaturan pendapatan, belanja, dan pembiayaan negara dan Daerah untuk menjalankan fungsi alokasi dan distribusi dalam rangka menjaga stabilitas, pertumbuhan ekonomi, pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta untuk mengoptimalkan pelaksanaan Pembiayaan Utang Daerah, penyelenggaraan DAD, pelaksanaan Sinergi Pendanaan, dan penerapan sinergi kebijakan fiskal nasional dalam kerangka hubungan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.

1. Sinergi Kebijakan Fiskal Nasional

Sinergi kebijakan fiskal nasional dilaksanakan melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah, penetapan batas maksimal defisit APBD dan Pembiayaan Utang Daerah, pengendalian dalam kondisi darurat, serta sinergi BAS. Sinergi kebijakan fiskal nasional tersebut juga didukung dengan penyajian dan konsolidasi Informasi Keuangan Daerah secara nasional dan pemantauan serta evaluasi pendanaan desentralisasi yang dilaksanakan dalam suatu platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional.

Pengaturan mengenai penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah dalam Peraturan Pemerintah ini menyempurnakan harmonisasi pengaturan perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan anggaran di tingkat pusat dan Daerah. Penyelarasan fiskal tersebut dilakukan antara lain melalui penyelarasan tahap perencanaan dan penganggaran seperti penyelarasan KUA dan PPAS dengan KEM PPKF, dan penyelarasan tahap pelaksanaan APBD.

Penyelarasan KUA dan PPAS dengan KEM PPKF merupakan upaya peningkatan kualitas kebijakan fiskal Daerah yang selaras dengan kebijakan fiskal nasional. KEM PPKF yang berisi skenario arah kebijakan ekonomi dan fiskal dijadikan acuan oleh Pemerintah Daerah dalam perumusan KUA dan PPAS. Upaya penyelarasan KUA dan PPAS dengan KEM PPKF tersebut diharapkan dapat meningkatkan sinergisitas kebijakan fiskal nasional yang antara lain berupa keselarasan target kinerja makro dan kinerja program, kepastian pendanaan program prioritas dan pemenuhan Belanja Wajib, serta keselarasan arah pelaksanaan anggaran. Penyelarasan fiskal nasional tersebut tentunya akan mengoptimalkan fungsi utama kebijakan fiskal yaitu alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

Pelaksanaan sinergi kebijakan fiskal nasional dalam Peraturan Pemerintah ini selain ditujukan untuk meningkatkan kualitas kebijakan fiskal Daerah, juga diharapkan mampu mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah dalam mendukung perbaikan kualitas keluaran (output) dan dampak (outcome) layanan publik di Daerah. Peningkatan kualitas Belanja Daerah dalam Peraturan Pemerintah ini dilakukan melalui penguatan belanja produktif di Daerah dan harmonisasi belanja pusat dan Belanja Daerah yang akan didukung melalui sinergi BAS. Dengan adanya sinergi BAS, Pemerintah dapat menyelaraskan program, kegiatan, dan keluaran agar kebijakan fiskal yang diambil lebih terukur dan meningkatkan keselarasan belanja pusat dan Belanja Daerah.  

Pembiayaan Utang Daerah dan Sinergi Pendanaan

Dalam rangka mendukung Daerah dalam pembangunan dan penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat, Daerah dapat mengakses sumber-sumber Pembiayaan Utang Daerah baik yang berskema konvensional maupun syariah, meliputi Pinjaman Daerah, Obligasi Daerah, dan Sukuk Daerah. Sebagai dasar pelaksanaan Pembiayaan Utang Daerah, Peraturan Pemerintah ini mengatur seluruh aspek mengenai Pembiayaan Utang Daerah, antara lain mulai dari prinsip umum, prosedur dan tahapan, pengelolaan, pertanggungjawaban dan pelaporan, pemantauan dan evaluasi, hingga kewajiban dan sanksi atas pelaksanaan Pembiayaan Utang Daerah. Pengaturan tersebut menjadi dasar bagi Daerah dalam mengembangkan dan memanfaatkan Pembiayaan Utang Daerah.

Selain itu, dengan terbatasnya pendanaan pembangunan Infrastruktur Daerah, melalui Peraturan Pemerintah ini, Pemerintah juga mendorong Pemerintah Daerah untuk mewujudkan adanya sinergi antar-sumber pendapatan dan/atau Pembiayaan Utang Daerah, baik dari PAD, TKD, Pembiayaan Utang Daerah, kerja sama antar-Daerah, dan kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan badan usaha, sehingga diharapkan setiap program dan kegiatan pembangunan terlaksana secara tersinergi, sehingga alokasi sumber daya dapat dimanfaatkan secara lebih efisien.

3. DAD

Peraturan Pemerintah ini memberikan ruang bagi Daerah yang memiliki kapasitas fiskal memadai dan telah memenuhi Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik, untuk dapat membentuk DAD. Pembentukan DAD diharapkan dapat memberikan berbagai manfaat yang bersifat lintas generasi. Selain itu, hasil pengelolaan DAD juga akan menambah penerimaan Daerah. DAD diharapkan dapat membantu Daerah mengoptimalkan kapasitas fiskal yang dimiliki, termasuk SiLPA yang tinggi, untuk mendukung pendanaan penyelenggaraan pelayanan publik dan pembangunan lintas generasi di Daerah dengan tetap menjaga kesinambungan fiskal.

Dalam rangka memberikan dasar pelaksanaan pembentukan dan pengelolaan DAD bagi Daerah, Peraturan Pemerintah ini mengatur pokok-pokok pengaturan pembentukan dan pengelolaan DAD, seperti mulai dari persiapan DAD hingga pemilihan instrumen investasi dan pemanfaatan hasil pengelolaan DAD. Dengan mengelola DAD, diharapkan Daerah dapat memperbaiki kualitas perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan anggaran di Daerah sehingga menghasilkan belanja yang berkualitas.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Cukup jelas.


Pasal 3

Cukup jelas.


Pasal 4

Cukup jelas.


Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "target kinerja makro Daerah" meliputi kinerja pembangunan dan kinerja fiskal Daerah.

 

Yang dimaksud dengan "target kinerja program Daerah" mencakup target kinerja program, kegiatan, dan/atau subkegiatan sesuai dengan urusan Pemerintah Daerah.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 6

Cukup jelas.


Pasal 7

Cukup jelas.


Pasal 8

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "program prioritas" merupakan program prioritas nasional dan program prioritas Daerah.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Pasal 9

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kebijakan" antara lain berupa Peraturan Menteri.


Ayat (3)

Pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD dan yang tidak menyebabkan perubahan APBD.


Pergeseran anggaran yang menyebabkan perubahan APBD ditetapkan dengan Perkada dan diberitahukan kepada DPRD.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 10

Cukup jelas.


Pasal 11

Cukup jelas.


Pasal 12

Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas.


Pasal 14

Cukup jelas.


Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien antara lain:

  1. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
  2. proyeksi penurunan pendapatan negara/Daerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
  3. adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.
Pasal 16

Cukup jelas.


Pasal 17

Ayat (1)

Sinergi BAS merupakan upaya sinergi dan pengintegrasian antara BAS pada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "kodefikasi sinergi BAS" adalah kodefikasi dalam penyelarasan BAS pada Pemerintah Daerah dengan BAS pada Pemerintah.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 19

Cukup jelas.


Pasal 20

Yang dimaksud dengan "interoperabilitas" adalah koordinasi dan kolaborasi antarproses bisnis dan antarsistem elektronik, dalam rangka pertukaran data, informasi, atau layanan platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional.


Yang dimaksud dengan "akuntabilitas" adalah kejelasan fungsi dan pertanggungjawaban dari platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional.


Yang dimaksud dengan "keamanan" adalah kerahasiaan, keutuhan, ketersediaan, keaslian, dan kenirsangkalan (nonrepudiation) sumber daya yang mendukung platform digital sinergi kebijakan fiskal nasional.

Yang dimaksud dengan "akurat" adalah suatu tindakan yang mencerminkan ketelitian, kecermatan, dan ketepatan.

Yang dimaksud dengan "relevan" adalah suatu keadaan yang sesuai dengan kondisi objektif sekarang dan masa yang akan datang.

Yang dimaksud dengan "tepat waktu" adalah suatu peristiwa yang sesuai dengan jadwal atau rencana.

Yang dimaksud dengan "dapat dipertanggungjawabkan" adalah suatu kondisi atau fakta yang dapat diperbandingkan secara angka nominal dan matematis.


Pasal 21

Konsolidasi informasi keuangan Pemerintah Daerah meliputi informasi keuangan, informasi kinerja, informasi publik, informasi eksekutif, dan informasi terkait lainnya termasuk data transaksi Pemerintah Daerah, selaras dengan BAS untuk Pemerintah Daerah yang terintegrasi dengan BAS untuk Pemerintah, dengan tujuan menciptakan statistik keuangan dan laporan keuangan secara nasional yang selaras dan terkonsolidasi yang meliputi perencanaan, penganggaran, pelaksanaan anggaran, dan pelaporan.


Pasal 22

Cukup jelas.


Pasal 23

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Penyajian Informasi Keuangan Daerah secara nasional meliputi informasi pembangunan Daerah, pengelolaan Keuangan Daerah, dan informasi terkait lainnya.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Pasal 24

Cukup jelas.


Pasal 25

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Yang dimaksud dengan "informasi lainnya" termasuk laporan penggunaan dana TKD serta seluruh informasi namun tidak terbatas pada data non-Keuangan Daerah, serta data yang dibutuhkan oleh Pemerintah dalam rangka melaksanakan program nasional.


Pasal 26

Cukup jelas.


Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "sistem informasi lain" antara lain sistem kolaborasi perencanaan dan informasi kinerja anggaran, sistem informasi Pemerintahan Daerah, sistem perbendaharaan dan anggaran negara.


Pasal 28

Cukup jelas.


Pasal 29

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "berbagai sistem informasi dan ekosistem digital" antara lain menghubungkan SIKD dengan sistem informasi Pemerintahan Daerah, kolaborasi perencanaan dan informasi kinerja anggaran, dan Satu Data Indonesia.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 30

Cukup jelas.


Pasal 31

Yang dimaksud dengan "bersifat terbuka" adalah keterbukaan informasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keterbukaan informasi publik.


Pasal 32

Cukup jelas.


Pasal 33

Cukup jelas.


Pasal 34

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Insentif dapat berupa insentif fiskal dan/atau penghargaan lainnya.


Ayat (3)

Insentif dapat berupa insentif fiskal dan/atau penghargaan lainnya.


Pasal 35

Cukup jelas.


Pasal 36

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "taat pada ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah bahwa pengelolaan Pembiayaan Utang Daerah harus patuh dan tunduk pada kaidah hukum yang ada.


Huruf b

Yang dimaksud dengan "transparan" adalah prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan akses informasi seluas-luasnya tentang Keuangan Daerah.


Huruf c

Yang dimaksud dengan "akuntabel" adalah perwujudan kewajiban seseorang atau satuan kerja untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan.


Huruf d

Yang dimaksud dengan "efisien" adalah pencapaian keluaran yang maksimal dengan masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.
 
Yang dimaksud dengan "efektif" adalah pencapaian hasil program dengan target yang telah ditetapkan dengan cara membandingkan keluaran dengan hasil.


Huruf e

Yang dimaksud dengan "kehati-hatian" adalah pelaksanaan dilakukan dengan memperhatikan kemampuan Keuangan Daerah.


Huruf f

Yang dimaksud dengan "profesional" adalah pengelolaan dilaksanakan dengan kompetensi terbaik dengan penuh tanggung jawab dan komitmen yang tinggi.


Pasal 37

Cukup jelas.


Pasal 38

Cukup jelas.


Pasal 39

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah" adalah jumlah utang Daerah setelah dikurangi pembayaran utang.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Pemberian persetujuan DPRD melekat pada saat pembahasan APBD.


Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "dalam hal tertentu" adalah kondisi kedaruratan yang mengakibatkan perkiraan Pendapatan Daerah mengalami penurunan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari APBD.


Pasal 40

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "syarat administrasi" merupakan dokumen yang dipersyaratkan.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "jumlah sisa Pembiayaan Utang Daerah" adalah jumlah pokok Pembiayaan Utang Daerah lama yang belum terdaftar.
 
Yang dimaksud dengan "jumlah Pembiayaan Utang Daerah yang akan ditarik" adalah jumlah pokok rencana Pembiayaan Utang Daerah yang diusulkan.


Ayat (4)

Rasio kemampuan Keuangan Daerah untuk mengembalikan Pembiayaan Utang Daerah menunjukkan rasio kemampuan membayar kembali Pembiayaan Utang Daerah yang dikenal dengan istilah Debt Service Coverage Ratio (DSCR) dihitung dengan formula sebagai berikut:

Pendapatan yang tidak ditentukan penggunaannya − Belanja Pegawai

Pokok pinjaman + Bunga + Biaya Lain


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Perubahan nilai rasio kemampuan Keuangan Daerah dilakukan dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian nasional dan kondisi Keuangan Daerah.


Pasal 41

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Ayat (8)

Yang dimaksud dengan "strategis" adalah kegiatan yang diusulkan memiliki keselarasan tujuan/sasaran dengan program prioritas/kegiatan prioritas/proyek prioritas dalam RPJMN, mendukung RPJMD, dan/atau sesuai rencana induk sektoral.
 
Yang dimaksud dengan "teknis" adalah kegiatan yang diusulkan memuat urgensi proyek, rencana penggunaan Pembiayaan Utang Daerah, ketersediaan jadwal pelaksanaan kegiatan, serta rencana keberlanjutan proyek.
 
Yang dimaksud dengan "kelembagaan" adalah kegiatan yang diusulkan memuat penjelasan terkait pembagian kerja dan tanggung jawab pelaksana kegiatan, serta garis koordinasi pelaksana kegiatan pada seluruh tahapan proyek.
 
Yang dimaksud dengan "ekonomi" adalah kegiatan yang diusulkan menunjukkan kelayakan ekonomi yang dihitung antara lain menggunakan analisis biaya-manfaat.
 
Yang dimaksud dengan "dampak sosial dan lingkungan" adalah kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan hasil identifikasi dan analisis dampak terhadap penerima manfaat kegiatan, serta analisis dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat pelaksanaan kegiatan yang diusulkan.
 
Yang dimaksud dengan "pembiayaan" adalah dokumen pengusulan kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan hasil analisa penganggaran modal dengan mempertimbangkan karakteristik proyek dan kebutuhan Daerah, serta keselarasan dengan sumber pembiayaan lainnya.
 
Yang dimaksud dengan "mitigasi risiko" adalah kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan identifikasi risiko yang berpotensi muncul pada setiap tahapan proyek secara menyeluruh, dilengkapi rencana mitigasinya.

 

Ayat (9)

Cukup jelas.


Ayat (10)

Cukup jelas.


Ayat (11)

Cukup jelas.


Ayat (12)

Cukup jelas.


Ayat (13)

Cukup jelas.


Pasal 42

Cukup jelas.


Pasal 43

Cukup jelas.


Pasal 44

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "pinjaman tunai" adalah Pinjaman Daerah berbasis program yang digunakan untuk mendukung pembiayaan APBD dengan penarikannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati pihak pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, seperti paket kebijakan dan/atau terlaksananya kegiatan tertentu.
 
Yang dimaksud dengan "pinjaman kegiatan" adalah Pinjaman Daerah berbasis kegiatan yang digunakan untuk membiayai pembangunan sarana dan prasarana tertentu yang menjadi kewenangan Daerah dengan penarikannya sesuai dengan perkembangan/kemajuan pelaksanaan kegiatan.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "LKB atau LKBB" adalah LKB atau LKBB yang dianggap mampu oleh Menteri.


Pasal 46

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberian pinjaman oleh Pemerintah" antara lain peraturan pemerintah mengenai pemberian pinjaman oleh Pemerintah, peraturan pemerintah mengenai Pembiayaan proyek yang bersumber dari surat berharga syariah negara, dan peraturan pemerintah mengenai tata cara pengadaan pinjaman luar negeri dan penerimaan hibah.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Yang dimaksud dengan "strategis" adalah kegiatan yang diusulkan memiliki keselarasan tujuan/sasaran dengan program prioritas/kegiatan prioritas/proyek prioritas dalam RPJMN, mendukung RPJMD, dan/atau sesuai rencana induk sektoral.
 
Yang dimaksud dengan "teknis" adalah kegiatan yang diusulkan memuat urgensi proyek, rencana penggunaan Pinjaman Daerah, ketersediaan jadwal pelaksanaan kegiatan, serta rencana keberlanjutan proyek.
 
Yang dimaksud dengan "kelembagaan" adalah kegiatan yang diusulkan memuat penjelasan terkait pembagian kerja dan tanggung jawab pelaksana kegiatan, serta garis koordinasi pelaksana kegiatan pada seluruh tahapan proyek.
 
Yang dimaksud dengan "ekonomi" adalah kegiatan yang diusulkan menunjukkan kelayakan ekonomi yang dihitung antara lain menggunakan analisis biaya-manfaat.
 
Yang dimaksud dengan "dampak sosial dan lingkungan" adalah kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan hasil identifikasi dan analisis dampak terhadap penerima manfaat kegiatan, serta analisis dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat pelaksanaan kegiatan yang diusulkan.
 
Yang dimaksud dengan "pembiayaan" adalah dokumen pengusulan kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan hasil analisa penganggaran modal dengan mempertimbangkan karakteristik proyek dan kebutuhan Daerah, serta keselarasan dengan sumber pembiayaan lainnya.
 
Yang dimaksud dengan "mitigasi risiko" adalah kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan identifikasi risiko yang berpotensi muncul pada setiap tahapan proyek secara menyeluruh, dilengkapi rencana mitigasinya.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Ayat (9)

Cukup jelas.


Ayat (10)

Cukup jelas.


Pasal 47

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Yang dimaksud dengan "strategis" adalah kegiatan yang diusulkan memiliki keselarasan tujuan/sasaran dengan program prioritas/kegiatan prioritas/proyek prioritas dalam RPJMN, mendukung RPJMD, dan/atau sesuai rencana induk sektoral.

Yang dimaksud dengan "teknis" adalah kegiatan yang diusulkan memuat urgensi proyek, rencana penggunaan Pinjaman Daerah, ketersediaan jadwal pelaksanaan kegiatan, serta rencana keberlanjutan proyek.
 
Yang dimaksud dengan "kelembagaan" adalah kegiatan yang diusulkan memuat penjelasan terkait pembagian kerja dan tanggung jawab pelaksana kegiatan, serta garis koordinasi pelaksana kegiatan pada seluruh tahapan proyek.
 
Yang dimaksud dengan "ekonomi" adalah kegiatan yang diusulkan menunjukkan kelayakan ekonomi yang dihitung antara lain menggunakan analisis biaya-manfaat.
 
Yang dimaksud dengan "dampak sosial dan lingkungan" adalah kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan hasil identifikasi dan analisis dampak terhadap penerima manfaat kegiatan, serta analisis dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat pelaksanaan kegiatan yang diusulkan.
 
Yang dimaksud dengan "pembiayaan" adalah dokumen pengusulan kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan hasil analisa penganggaran modal dengan mempertimbangkan karakteristik proyek dan kebutuhan Daerah, serta keselarasan dengan sumber pembiayaan lainnya.
 
Yang dimaksud dengan "mitigasi risiko" adalah kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan identifikasi risiko yang berpotensi muncul pada setiap tahapan proyek secara menyeluruh, dilengkapi rencana mitigasinya.

Ayat (7)

Cukup jelas.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Ayat (9)

Cukup jelas.


Ayat (10)

Cukup jelas.


Ayat (11)

Cukup jelas.


Ayat (12)

Cukup jelas.


Pasal 48

Cukup jelas.


Pasal 49

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kebijakan fiskal nasional" adalah kebijakan Pemerintah di bidang fiskal dalam upaya pencapaian target pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
 
Yang dimaksud dengan "kondisi darurat" adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien, antara lain:

  1. proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan;
  2. proyeksi penurunan pendapatan negara/Daerah dan/atau meningkatnya belanja negara/Daerah secara signifikan; dan/atau
  3. adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "pinjaman tunai" adalah Pinjaman Daerah berbasis program yang digunakan untuk mendukung pembiayaan APBD dengan penarikannya mensyaratkan dipenuhinya kondisi tertentu yang disepakati pihak pemberi pinjaman dan penerima pinjaman, seperti paket kebijakan dan/atau terlaksananya kegiatan tertentu.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "LKB atau LKBB" adalah LKB atau LKBB yang dianggap mampu oleh Menteri.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Kategori Kapasitas Fiskal Daerah sesuai dengan Peraturan Menteri mengenai peta kapasitas fiskal.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "pasar modal domestik" adalah kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "penawaran umum" adalah kegiatan penawaran efek yang dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang mengenai pasar modal dan peraturan pelaksanaannya.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 51

Cukup jelas.


Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Yang dimaksud dengan "strategis" adalah kegiatan yang diusulkan memiliki keselarasan tujuan/sasaran dengan program prioritas/kegiatan prioritas/proyek prioritas dalam RPJMN, mendukung RPJMD, dan/atau sesuai rencana induk sektoral.
 
Yang dimaksud dengan "teknis" adalah kegiatan yang diusulkan memuat urgensi proyek, rencana penggunaan Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah, ketersediaan jadwal pelaksanaan kegiatan, serta rencana keberlanjutan proyek.
 
Yang dimaksud dengan "kelembagaan" adalah kegiatan yang diusulkan memuat penjelasan terkait pembagian kerja dan tanggung jawab pelaksana kegiatan, serta garis koordinasi pelaksana kegiatan pada seluruh tahapan proyek.
 
Yang dimaksud dengan "ekonomi" adalah kegiatan yang diusulkan menunjukkan kelayakan ekonomi yang dihitung antara lain menggunakan analisis biaya-manfaat.
 
Yang dimaksud dengan "dampak sosial dan lingkungan" adalah kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan hasil identifikasi dan analisis dampak terhadap penerima manfaat kegiatan, serta analisis dampak lingkungan yang mungkin timbul akibat pelaksanaan kegiatan yang diusulkan.
 
Yang dimaksud dengan "pembiayaan" adalah dokumen pengusulan kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan hasil analisa penganggaran modal dengan mempertimbangkan karakteristik proyek dan kebutuhan Daerah, serta keselarasan dengan sumber pembiayaan lainnya.
 
Yang dimaksud dengan "mitigasi risiko" adalah kegiatan yang diusulkan dilengkapi dengan identifikasi risiko yang berpotensi muncul pada setiap tahapan proyek secara menyeluruh, dilengkapi rencana mitigasinya.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Ayat (9)

Cukup jelas.


Ayat (10)

Cukup jelas.


Ayat (11)

Cukup jelas.


Pasal 53

Cukup jelas.


Pasal 54

Cukup jelas.


Pasal 55

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "wali amanat" dalam ketentuan ini adalah pihak yang mewakili kepentingan pemegang efek bersifat utang termasuk Obligasi Daerah dan Sukuk Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 56

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Yang dimaksud dengan "kegiatan lain" adalah kegiatan yang bukan termasuk kegiatan yang telah direncanakan dalam rangka penerbitan Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Pasal 57

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "pelunasan atas Obligasi Daerah dan/atau Sukuk Daerah" adalah Pemerintah Daerah tidak perlu lagi melakukan pembayaran atas bunga atau imbalan atas Obligasi Daerah atau Sukuk Daerah yang telah dibeli kembali.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 58

Cukup jelas.


Pasal 59

Ayat (1)

Dasar penerbitan Sukuk Daerah tidak dimaksudkan sebagai jaminan penerbitan Sukuk Daerah.


Ayat (2)

Pemberian persetujuan DPRD dilakukan pada saat pembahasan nilai bersih maksimal Pembiayaan Utang Daerah.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 60

Cukup jelas.


Pasal 61

Cukup jelas.


Pasal 62

Cukup jelas.


Pasal 63

Cukup jelas.


Pasal 64

Cukup jelas.


Pasal 65

Cukup jelas.


Pasal 66

Cukup jelas.


Pasal 67

Cukup jelas.


Pasal 68

Ayat (1)

Pemotongan dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya dilakukan dalam rangka menjamin terjaganya kualitas aset LKB atau LKBB yang mendapat penugasan dari Pemerintah.
 
Yang dimaksud dengan "dana TKD yang tidak ditentukan penggunaannya" adalah DAU dan/atau dana bagi hasil yang tidak ditentukan penggunaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 69

Cukup jelas.


Pasal 70

Cukup jelas.


Pasal 71

Cukup jelas.


Pasal 72

Cukup jelas.


Pasal 73

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik telah terpenuhi" adalah tingkat capaian tertentu dari kebutuhan Urusan Pemerintahan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar publik.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 74

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Yang dimaksud dengan "sarana dan prasarana" merupakan fasilitas yang digunakan oleh pengelola DAD untuk mendukung pelaksanaan pengelolaan DAD.


Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Pemanfaatan Hasil Pengelolaan DAD mengatur urusan, program, dan kegiatan yang didanai dari DAD, sedangkan target layanan akan ditetapkan dalam Perkada.


Huruf f

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 75

Cukup jelas.


Pasal 76

Cukup jelas.


Pasal 77

Cukup jelas.


Pasal 78

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "investasi yang bebas dari risiko penurunan nilai" adalah penempatan dana pada instrumen keuangan yang ditawarkan oleh lembaga keuangan yang telah diakui kredibilitasnya sehingga nilai pokok/awal investasi tidak dipengaruhi fluktuasi di pasar uang/pasar modal, fluktuasi hanya akan mempengaruhi imbal hasil.
 
Contoh penempatan dengan kriteria demikian misalnya adalah investasi pada Surat Berharga Negara hingga jatuh tempo atau tidak merealisasikan kerugian pada saat dijual, serta deposito pada bank yang sehat.

 

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "tingkat imbal hasil yang optimal" adalah pengelola DAD memilih beberapa alternatif instrumen keuangan dengan mempertimbangkan imbal hasil dan potensi risiko.


Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "analisis terhadap risiko" antara lain risiko pasar, risiko likuiditas, risiko operasional, dan informasi tambahan, termasuk rencana penanggulangannya dalam hal terjadi risiko investasi.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 79

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "meningkatkan dan/atau memperluas pelayanan publik" adalah kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan di atas dan/atau di luar standar pelayanan minimal.

Urusan yang terkait dengan prioritas Daerah antara lain pendidikan, kesehatan, lingkungan hidup, dan pariwisata.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "surplus hasil pengelolaan DAD" adalah selisih lebih antara pendapatan yang berasal dari hasil pengelolaan DAD dengan pengeluaran dalam rangka pemanfaatan hasil pengelolaan DAD pada tahun tertentu.

 

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "pemanfaatan lainnya sesuai kebutuhan dan prioritas Daerah" adalah pemanfaatan surplus hasil pengelolaan DAD yang berdasarkan kebutuhan dan prioritas Daerah seperti pemanfaatan untuk penambahan target layanan atau pemanfaatan dalam rangka penanganan kondisi darurat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 80

Cukup jelas.


Pasal 81

Cukup jelas.


Pasal 82

Cukup jelas.


Pasal 83

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "program prioritas lainnya" antara lain pengembangan suatu kawasan dan pembangunan dengan tematik tertentu.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "wilayah tertentu" adalah wilayah yang terletak di dalam suatu Daerah dan/atau berbatasan/beririsan dengan Daerah lain yang memiliki potensi untuk memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya kepada Daerah.
 
Yang dimaksud dengan "tematik tertentu" adalah suatu tema pembangunan sesuai dengan prioritas Daerah yang telah ditetapkan sebelumnya dan diusulkan untuk dibiayai melalui Sinergi Pendanaan.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 84

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Pendapatan Daerah dapat mencakup yang bersumber dari PAD yang telah diterima maupun potensi PAD, dan potensi TKD pada tahun yang akan datang.
 
Penerimaan Pembiayaan Daerah dapat bersumber dari pembiayaan Utang Daerah.


Ayat (3)

Pemerintah dapat mengarahkan pengalokasian TKD misalnya memperhatikan Sinergi Pendanaan dalam proses pengalokasian TKD pada tahun anggaran yang akan datang.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan "swasta" adalah badan usaha yang berbadan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Cukup jelas.


Huruf e

Cukup jelas.


Huruf f

Cukup jelas.


Huruf g

Yang dimaksud dengan "sumber lainnya yang sah" yaitu sumber yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan misalnya keterlibatan lembaga donor.


Pasal 85

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "dokumen perencanaan Daerah" adalah RPJMD dan/atau RKPD.


Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Yang dimaksud dengan "pihak yang terlibat" merupakan pihak lain yang terlibat dalam rencana Sinergi Pendanaan selain Pemerintah Daerah yang bersangkutan.


Huruf d

Cukup jelas.


Ayat (4)

Cukup jelas.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Komitmen antara lain berupa dokumen tertulis terkait kerja sama, komitmen pinjaman, dan dokumen tertulis tentang komitmen lainnya.


Ayat (7)

Huruf a

Cukup jelas.


Huruf b

Yang dimaksud dengan "sumber keuangan" yaitu pendanaan dalam rangka melaksanakan Sinergi Pendanaan baik yang bersumber dari APBD maupun selain APBD.


Huruf c

Cukup jelas.


Huruf d

Yang dimaksud dengan "pengelolaan keuangan lainnya" antara lain pemenuhan kewajiban jangka panjang komitmen pembiayaan maupun kerja sama Daerah.


Ayat (8)

Cukup jelas.


Pasal 86

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Cukup jelas.


Ayat (3)

Cukup jelas.


Ayat (4)

Termasuk kerja sama Daerah dengan badan usaha yang sesuai dengan prinsip syariah.


Ayat (5)

Cukup jelas.


Ayat (6)

Cukup jelas.


Ayat (7)

Cukup jelas.


Pasal 87

Cukup jelas.


Pasal 88

Cukup jelas.


Pasal 89

Ayat (1)

Cukup jelas.


Ayat (2)

Pemantauan dan evaluasi PAD dilakukan dengan membandingkan potensi PAD dengan realisasi PAD.

Mekanisme pemantauan dan evaluasi PAD dilakukan melalui evaluasi Rancangan Perda, serta pengawasan pelaksanaan aturan teknis pemungutan.


Ayat (3)

Kecepatan belanja Daerah dihitung dengan membandingkan realisasi bulanan terhadap anggaran.
 
Ketepatan belanja Daerah dihitung dengan membandingkan kesesuaian standar biaya Daerah dengan standar harga satuan regional.
 
Pemenuhan Belanja Wajib dihitung berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
Pencapaian keluaran dan hasil dihitung dengan membandingkan output kegiatan yang didanai oleh APBD dengan target yang telah direncanakan dengan perbaikan indikator pembangunan Daerah.


Ayat (4)

Huruf a

Jumlah SiLPA yang wajar dihitung dengan membandingkan jumlah SiLPA terhadap perkiraan kebutuhan operasional.


Huruf b

Cukup jelas.


Huruf c

Cukup jelas.


Ayat (5)

Likuiditas Keuangan Daerah dihitung dengan membandingkan kas dan utang jangka pendek.


Pasal 90

Cukup jelas.


Pasal 91

Cukup jelas.


Pasal 92

Cukup jelas.


Pasal 93

Cukup jelas.


Pasal 94

Cukup jelas.


Pasal 95

Cukup jelas.


Pasal 96

Cukup jelas.


Pasal 97

Cukup jelas.


Pasal 98

Cukup jelas.


Pasal 99

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6906