Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
a. | PKB; |
b. | BBNKB; |
c. | PAB; |
d. | PAP; |
e. | PBBKB; |
f. | pajak rokok; dan |
g. | opsen pajak MBLB. |
(1) | Jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri dari:
|
||||||||
(2) | Jenis pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh wajib pajak terdiri atas:
|
(1) | Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. | ||||||||
(2) | Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kendaraan bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(3) | Dikecualikan dari pengertian kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yaitu:
|
(1) | Subjek PKB adalah orang pribadi, badan, dan instansi pemerintah yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan bermotor. |
(2) | Wajib PKB adalah orang pribadi, badan dan instansi pemerintah yang memiliki kendaraan bermotor. |
(1) | Dasar pengenaan PKB adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok yaitu:
|
||||||||||||||
(1a) | Dasar pengenaan PKB khusus untuk kendaraan bermotor di air ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual kendaraan bermotor. | ||||||||||||||
(2) | NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (1a) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu kendaraan bermotor. | ||||||||||||||
(3) | NJKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (1a) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya. | ||||||||||||||
(4) | Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat. | ||||||||||||||
(5) | Dalam hal harga pasaran umum suatu kendaraan bermotor tidak diketahui, NJKB dapat ditentukan berdasarkan faktor:
|
||||||||||||||
(6) | Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien yang nilainya 1 (satu) atau lebih besar dari 1 (satu), dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(7) | Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
||||||||||||||
(8) | Dasar pengenaan PKB untuk kendaraan bermotor baru berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB. | ||||||||||||||
(9) | Dasar pengenaan PKB untuk selain kendaraan bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dengan memperhatikan penyusutan NJKB dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. | ||||||||||||||
(10) | Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan ekonomi. |
a. | 1% (satu persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya; |
b. | 0,5% (nol koma lima persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan umum, angkutan karyawan dan angkutan sekolah; |
c. | 0,3% (nol koma tiga persen) untuk kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor yang digunakan untuk ambulans, pemadam kebakaran, sosial keagamaan, lembaga sosial dan keagamaan, Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan |
d. | kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan dan/atau alamat yang sama. |
(1) | Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 ayat (1) atau ayat (2) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a atau huruf b atau huruf c. |
(2) | Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. |
(3) | PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
(1) | PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran kendaraan bermotor. |
(2) | PKB dibayar sekaligus di muka. |
(3) | Untuk PKB yang karena sesuatu hal akibat keadaan kahar (force majeure) masa pajaknya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas kendaraan bermotor. | ||||||||
(2) | Kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kendaraan bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(3) | Dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
||||||||
(4) | Termasuk penyerahan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan kendaraan bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di wilayah Republik Indonesia, kecuali:
|
||||||||
(5) | Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut kendaraan bermotor tersebut tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia. | ||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pendaftaran pertama atas kendaraan bermotor termasuk proses rubah bentuk dan ganti mesin ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Subjek pajak BBNKB adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. |
(2) | Wajib pajak BBNKB adalah orang pribadi atau badan yang menerima penyerahan kendaraan bermotor. |
(1) | Besaran pokok BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 13 dengan dasar pengenaan BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12. |
(2) | Saat terutang BBNKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan pertama kendaraan bermotor. |
(3) | BBNKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
(4) | Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran kendaraan bermotor. |
(5) | Bukti pembayaran BBNKB menjadi persyaratan dalam pendaftaran kendaraan bermotor baru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. | ||||
(2) | Dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
(1) | Subjek PAB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai alat berat. |
(2) | Wajib PAB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki dan/atau menguasai alat berat. |
(1) | Dasar pengenaan PAB merupakan nilai jual alat berat. |
(2) | Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum alat berat yang bersangkutan. |
(3) | Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya. |
(4) | Dasar pengenaan PAB berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB. |
(1) | Besaran pokok PAB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dengan tarif PAB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. |
(2) | Saat terutang PAB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat. |
(3) | PAB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penguasaan alat berat. |
(1) | PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat secara sah. |
(2) | PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat dibayar sekaligus di muka. |
(3) | Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan alat berat dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PAB tidak dipungut lagi sampai dengan berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan alat berat tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Subjek PBBKB adalah konsumen BBKB. |
(2) | Wajib PBBKB adalah orang pribadi atau badan penyedia yang menyerahkan BBKB. |
(3) | Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia BBKB. |
(4) | Penyedia BBKB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah produsen dan/atau importir bahan bakar kendaraan bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri. |
(1) | Tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). |
(2) | Khusus tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pengenaan tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau ayat (2). |
(2) | Saat terutang PBBKB ditetapkan pada saat terjadinya penyerahan BBKB oleh penyedia BBKB. |
(3) | PBBKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penyerahan BBKB kepada konsumen atau pengguna kendaraan bermotor. |
(1) | Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaaan. | ||||||||||
(2) | Dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan untuk:
|
(1) | Subjek PAP adalah orang pribadi atau badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. |
(2) | Wajib PAP adalah orang pribadi atau badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. |
(1) | Dasar pengenaan PAP adalah nilai perolehan air permukaan. | ||||||
(2) | Nilai perolehan air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar air permukaan dengan bobot air permukaan. | ||||||
(3) | Harga dasar air permukaan ditetapkan dalam rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya air permukaan. | ||||||
(4) | Bobot air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
||||||
(5) | Besaran nilai perolehan air permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. |
(1) | Besaran pokok PAP yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dengan tarif PAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29. |
(2) | Saat terutang PAP ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan. |
(3) | Wilayah pemungutan PAP yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat air permukaan berada. |
(1) | Objek pajak rokok adalah konsumsi rokok. |
(2) | Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. |
(3) | Dikecualikan dari objek pajak rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenakan cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai cukai. |
(1) | Subjek pajak rokok adalah konsumen rokok. |
(2) | Wajib pajak rokok adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. |
(3) | Pajak rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. |
(1) | Besaran pokok pajak rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dengan tarif pajak rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. |
(2) | Saat terutang pajak rokok ditetapkan pada saat terjadinya pemungutan cukai rokok terhadap pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. |
(3) | Pajak rokok yang terutang dipungut di wilayah kepabeanan Republik Indonesia. |
(1) | Opsen pajak MBLB dikenakan atas pajak terutang dari pajak MBLB. |
(2) | Wajib Pajak untuk opsen pajak MBLB merupakan wajib pajak MBLB. |
(3) | Opsen pajak MBLB dipungut oleh instansi kabupaten/kota di wilayah provinsi yang berwenang memungut Pajak MBLB bersamaan dengan pemungutan opsen MBLB. |
(4) | Pemungutan opsen pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan pajak terutang dari pajak MBLB. |
(1) | Besaran opsen pajak MBLB terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan opsen pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dengan tarif opsen pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. |
(2) | Saat terutang opsen pajak MBLB ditetapkan pada saat terutangnya pajak MBLB. |
(3) | Wilayah pemungutan opsen pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB. |
(1) | Hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sebagian diperuntukkan bagi kabupaten/kota di wilayah Daerah dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||
(2) | Besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota. | ||||||||||
(3) | Besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota di wilayah Daerah, dengan ketentuan:
|
||||||||||
(4) | Variabel lain yang dipergunakan dalam menghitung besaran bagi hasil pajak per kabupaten/kota, adalah panjang jalan, jumlah desa/kelurahan dan jumlah penduduk miskin serta PDRB pada masing-masing kabupaten/kota di wilayah Daerah. | ||||||||||
(5) | Alokasi bagi hasil pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. |
(1) | Penyaluran bagi hasil pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah ke kas daerah kabupaten/kota. |
(2) | Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menjadi dasar penghitungan bagi hasil Pajak. |
(3) | Penyaluran bagi hasil pajak rokok dilaksanakan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pemungutan dan penyetoran pajak rokok. |
(1) | Saat terutang pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah. |
(2) | Masa pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak atau menjadi dasar bagi Gubernur untuk menetapkan pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur. |
(3) | Masa pajak yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender. |
(4) | Tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai masa pajak, tahun pajak, dan bagian tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Hasil penerimaan PKB dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. |
(2) | Hasil penerimaan pajak rokok dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum. |
(1) | Jenis retribusi Daerah terdiri atas:
|
||||||
(2) | Objek retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau badan oleh Pemerintah Daerah. | ||||||
(3) | Wajib retribusi meliputi orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. | ||||||
(4) | Wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati. | ||||||
(5) | Dikecualikan dari objek dari setiap retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta. |
(1) | Jenis pelayanan yang merupakan objek retribusi jasa umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) huruf a yang dipungut oleh Pemerintah Daerah adalah pelayanan kesehatan. | ||||||
(2) | Pelayanan yang merupakan objek retribusi jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||
(4) | Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Detail rincian objek retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||
(6) | Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah Peraturan Gubernur ditetapkan. | ||||||
(7) | Dikecualikan dari objek retribusi jasa umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta. |
(1) | Subjek retribusi jasa umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan jasa umum. |
(2) | Wajib retribusi jasa umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pelayanan jasa umum. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. |
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. |
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. |
(3) | Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa umum yang diberikan BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(1) | Struktur dan besaran tarif retribusi jasa umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(2) | Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(3) | Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi jasa umum. |
(4) | Tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek retribusi jasa usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 huruf b, meliputi:
|
||||||||||||||
(2) | Pelayanan yang merupakan objek retribusi jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||||||||||
(4) | Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||
(5) | Detail rincian objek retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||
(6) | Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada menteri yang menyelenggaran urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah Peraturan Gubernur ditetapkan. | ||||||||||||||
(7) | Dikecualikan dari objek retribusi jasa usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa usaha yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta. |
(1) | Subjek retribusi jasa usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan jasa usaha. |
(2) | Wajib retribusi jasa usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas jenis pelayanan jasa usaha. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan jasa usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. | ||||||||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif retribusi jasa usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. |
(3) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi jasa usaha yang diberikan BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(1) | Besaran retribusi jasa usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 dengan tarif retribusi. | ||||||||
(2) | Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara perhitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
||||||||
(3) | Penetapan Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah. | ||||||||
(4) | Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||
(5) | Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah. |
(1) | Struktur dan besaran tarif retribusi jasa usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(2) | Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(3) | Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian tanpa melakukan penambahan objek retribusi jasa usaha. |
(4) | Tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja TKA sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA. |
(2) | Dikecualikan dari pengenaan retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan TKA oleh instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. |
(1) | Subjek retribusi perizinan tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pemberian perizinan tertentu. |
(2) | Wajib retribusi perizinan tertentu merupakan orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi atas pemberian perizinan tertentu. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan perizinan tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. |
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan perizinan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. |
(2) | Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin. |
(3) | Pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA. |
(1) | Tarif retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran retribusi yang terutang. |
(2) | Dalam hal tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan. |
(3) | Struktur dan besaran tarif retribusi perizinan tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(4) | Tarif retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(5) | Peninjauan tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi perizinan tertentu. |
(6) | Tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. |
(2) | Pemanfaatan dari penerimaan retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang. |
(2) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah. |
(3) | Dokumen pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh wajib pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Besaran retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik. |
(5) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik. |
(1) | Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda. | ||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan:
|
||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan di luar kekuasaannya (force majeure). | ||||||||
(4) | Force majeure sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
(1) | Pemungutan pajak dan retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
||||||||||||||||||||||
(3) | Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik. | ||||||||||||||||||||||
(4) | Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai. | ||||||||||||||||||||||
(5) | Ketentuan umum dan tata cara pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah. | ||||||||||
(2) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya. | ||||||||||
(3) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan wajib pajak dan/atau wajib retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan:
|
||||||||||
(4) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Gubernur sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. | ||||||||||
(5) | Pemberian insentif fiskal kepada wajib pajak dan/atau wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
||||||||||
(6) | Pemberian insentif fiskal kepada wajib pajak dan/atau wajib retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. | ||||||||||
(7) | Pemberian insentif fiskal kepada wajib pajak dan/atau wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional. |
(1) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dan diberitahukan kepada DPRD. |
(2) | Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) merupakan permohonan wajib pajak dan/atau wajib retribusi, apabila diperlukan, Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pemeriksaan pajak dan/atau retribusi untuk tujuan lain. |
(2) | Pemeriksaan pajak dan/atau retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa wajib pajak dan/atau wajib retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (3) dan ayat (5). |
(1) | Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi pajak dan/atau retribusi dengan memperhatikan kondisi wajib pajak atau wajib retribusi dan/atau objek pajak atau objek retribusi. | ||||||
(2) | Kondisi wajib pajak atau wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||
(3) | Kondisi objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok pajak atau pokok retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada wajib pajak, berupa:
|
||||||||
(2) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada wajib pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga wajib pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya. | ||||||||
(3) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan wajib pajak. | ||||||||
(4) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal wajib pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar, sehingga wajib pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan pajak pada waktunya. | ||||||||
(5) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang atau utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan wajib pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur. | ||||||||
(6) | Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan wajib pajak dalam pembayaran pajak selama 2 (dua) tahun terakhir. | ||||||||
(7) | Keputusan Gubernur atas permohonan wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
||||||||
(8) | Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan. | ||||||||
(9) | Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||||||
(10) | Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
||||||||
(11) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Opsen dikenakan atas pokok pajak terutang dari pajak MBLB. |
(2) | Besaran pokok opsen pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dengan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38. |
(3) | Pemungutan opsen pajak MBLB yang dikenakan atas pokok pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan pemungutan pajak MBLB. |
(1) | Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
|
||||
(2) | Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam pemungutan PKB, opsen PKB, BBNKB dan Opsen BBNKB atau bentuk sinergi lainnya. |
(1) | Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dan bank tempat pembayaran PKB dan BBNKB melakukan rekonsiliasi data penerimaan PKB dan BBNKB setiap triwulan. | ||||||||
(2) | Rekonsiliasi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencocokkan:
|
(1) | Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi pemungutan pajak dengan:
|
||||||||||||||
(2) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||
(3) | Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g. | ||||||||||||||
(4) | Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g. |
(1) | Pemerintah Daerah dapat:
|
||||||||||||||||||||
(2) | Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak. | ||||||||||||||||||||
(3) | Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Gubernur bersama mitra kerja sama. | ||||||||||||||||||||
(4) | Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
(1) | Dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. |
(2) | Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha. |
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh wajib pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(3) | Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
(4) | Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang wajib pajak kepada pihak yang ditunjuk. | ||||
(5) | Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan wajib pajak yang ada padanya. | ||||
(6) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. |
(1) | Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana. |
(1) | Wajib pajak yang karena kealpaannya tidak melaksanakan kewajiban mengisi SPTPD dengan benar dan lengkap, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. |
(2) | Wajib pajak yang dengan sengaja tidak melaksanakan kewajiban mengisi SPTPD dengan benar dan lengkap sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. |
(1) | Ketentuan mengenai PKB, BBNKB, dan Opsen Pajak MBLB berlaku mulai tanggal 5 Januari 2025. |
(2) | Pada saat Perturan Daerah ini mulai berlaku, seluruh penerimaan pajak yang dipungut berdasarkan peraturan daerah mengenai pajak dan retribusi yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan belum dibagihasilkan, tetap dibagihasilkan berdasarkan peraturan daerah yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. |
(3) | Ketentuan mengenai insentif pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 91, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan pajak dan retribusi. |
a. | Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2013 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2013 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 13); |
b. | Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2017 tentang Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2017 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 35); |
c. | Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2018 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 44); dan |
d. | Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2013 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2018 Nomor 7); |
I. | UMUM Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Dengan demikian, pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan pada undang-undang.
Selama ini pungutan Daerah yang berupa pajak dan retribusi diatur dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan setelah dua dasawarsa, pemerintah melakukan perubahan besar melalui pengundangan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Pada hakikatnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengatur mengenai pokok-pokok kebijakan pajak dan retribusi sebagai bagian dari ruang lingkup hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Selanjutnya, pengaturan pelaksanaan dalam rangka pemungutan pajak dan retribusi diatur lebih lanjut dalam peraturan daerah.
Untuk itu, Peraturan Daerah ini dimaksudkan guna memberikan pengaturan pelaksanaan yang melengkapi berbagai pokok-pokok kebijakan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah ini juga menjadi dasar dan pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam melakukan pemungutan pajak dan retribusi, termasuk sistem dan prosedur pemungutan dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan Daerah.
Pengaturan dalam Peraturan Daerah ini mencakup berbagai aspek pengelolaan pajak daerah dan retribusi daerah, khususnya pelaksanaan pemungutan antara lain pendaftaran dan pendataan, penetapan besaran pajak dan retribusi terutang, pembayaran dan penyetoran, pelaporan, pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan pajak, pemeriksaan pajak, penagihan pajak dan retribusi, keberatan, gugatan, penghapusan piutang pajak dan retribusi oleh Gubernur, dan pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Dasar pengenaan, saat terutang, dan wilayah pemungutan pajak merupakan beberapa komponen utama dalam penghitungan pajak terutang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa penetapan besaran dasar pengenaan pajak merupakan kewenangan Pemerintah Daerah yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang dan peraturan pelaksanaannya.
Selain ketentuan mengenai pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah, Peraturan Daerah ini juga mengatur mengenai pelaksanaan bagi hasil pajak dan penerimaan pajak yang diarahkan penggunaannya. restrukturisasi pajak yang dilakukan melalui pengaturan opsen pajak diharapkan akan menjadi solusi dalam pelaksanaan bagi hasil pajak. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur lebih teknis mengenai besaran dan kegiatan yang harus didanai dari penerimaan PKB dan pajak rokok.
Untuk meningkatkan akuntabilitas, kesesuaian karakteristik pungutan, dan kepastian hukum, Peraturan Daerah ini mengatur bahwa penerimaan atas pelayanan objek retribusi sesuai undang-undang yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dicatat sebagai retribusi. Meskipun demikian, penggunaan penerimaan yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. Selain itu, Peraturan Daerah ini juga mengatur bahwa seluruh pungutan atas pemanfaatan barang milik Daerah menjadi bagian dari retribusi jasa usaha atas pemanfaatan aset daerah.
Pendaftaran wajib pajak merupakan salah satu komponen penting dalam pelaksanaan pemungutan pajak, utamanya apabila dilakukan secara sederhana sebagai salah satu langkah simplifikasi administrasi perpajakan. Untuk itu, Pemerintah Daerah hanya dapat menerbitkan 1 (satu) NPWPD untuk seluruh jenis pajak yang dihubungkan dengan nomor induk kependudukan untuk wajib pajak orang pribadi dan nomor induk berusaha untuk wajib pajak badan. Hal ini sebagai langkah integrasi data perpajakan guna memberikan kemudahan administrasi perpajakan.
Sejalan dengan kebijakan pajak dan retribusi dalam undang-undang, Peraturan Daerah ini juga memuat pengaturan pelaksanaan dalam rangka sinergi antara Pemerintah Provinsi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pemungutan opsen PKB dan opsen BBNKB. Selain itu, Pemerintah Daerah tetap didorong agar terus mengedepankan penggalian potensi pajak secara optimal, salah satunya melalui kerja sama optimalisasi pemungutan pajak dan pemanfaatan data dengan Pemerintah, Pemerintah Daerah lain, maupun pihak ketiga dengan tetap menjaga kerahasiaan data sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Kerja sama tersebut merupakan langkah optimalisasi pemanfaatan data-data yang semakin memiliki peran vital dalam mendorong peningkatan kinerja fiskal Pemerintah Daerah.
|
||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Ayat (1)
Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan dipungut oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Standar nilai kendaraan bermotor yang diwujudkan dalam bentuk angka dan dipergunakan sebagai dasar penetapan pajak kendaraan bermotor.
Huruf b
Bobot koefisien sama dengan 1 (satu) berarti kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan oleh penggunaan kendaraan bermotor tersebut masih dalam batas toleransi. Koefisien lebih dari satu berarti kendaraan bermotor tersebut dianggap melewati batas toleransi.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Pasal 7 Tarif diberlakukan seragam untuk kepemilikan kendaraan bermotor pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya.
Pasal 8 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah. Contoh: Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2025. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2025 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Dengan demikian, saat terutang PKB adalah pada tanggal 5 November setiap tahunnya. Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik kendaraan bermotor oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan. Contoh: Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2025 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2026 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, pada saat terutang PKB (setiap tanggal 5 November), PT Z membayarkan PKB kendaraan milik Tuan X pada 5 November 2026 sesuai kesepakatan dalam kontrak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan keadaan kahar (force majeure) adalah suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak atau kekuasaan wajib pajak, misalnya kendaraan bermotor tidak dapat digunakan lagi karena bencana alam.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10 Ayat (1)
BBNKB hanya dikenakan atas penyerahan pertama kendaraan bermotor, sedangkan untuk penyerahan kedua dan seterusnya atas kendaraan bermotor tersebut (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB.
Ayat (2)
Penyerahan kedua dan seterusnya atas kendaraan bermotor (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB, sehingga tidak terutang BBNKB. Contoh: Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2025 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2026, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2027. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2027 tersebut, terutang BBNKB.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12Cukup jelas.
Pasal 13Cukup jelas.
Pasal 14Cukup jelas.
Pasal 15Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan alat berat yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah meliputi invoice/faktur penjualan/bukti jual beli kepemilikan. Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik alat berat oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan meliputi bukti kontrak sewa, perjanjian sewa-beli, dan sebagainya.
Pasal 16Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Contoh: Berdasarkan pendataan oleh Provinsi A didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, Tuan X yang berlokasi di Provinsi A, memiliki 100 Alat Berat sejak 15 Januari 2025. Dari jumlah tersebut:
Berdasarkan kondisi tersebut, Gubernur Provinsi A dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 80 alat berat untuk Tuan X yaitu 70 alat berat yang disewakan kepada Tuan Z dan 10 alat berat yang belum disewakan, untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 15 Januari 2025. Di sisi lain, Provinsi B melakukan pendataan dan didapati bahwa pada tanggal 1 April 2025, terdapat 20 alat berat yang disewa oleh Tuan Y tersebut di atas.
Untuk itu, Gubernur Provinsi B dapat menetapkan besaran PAB terutang untuk 20 alat berat yang disewa Tuan Y sebagai Wajib Pajak untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 1 Februari 2025 Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Contoh: Atas suatu alat berat yang dikuasai oleh PT Z di wilayah Provinsi A, Gubernur Provinsi A menerbitkan SKPD atas PAB terutang sejak tanggal 1 April tahun 2025 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut hingga 31 Maret 2026. Dalam hal terjadi perpindahan tempat penguasaan alat berat ke wilayah Provinsi B sebelum tanggal 1 93 April 2025, maka alat berat dimaksud tidak dikenakan PAB oleh Provinsi B. Selanjutnya, atas alat berat dimaksud baru dapat dikenakan PAB pada tanggal 1 April 2026 untuk jangka waktu 12 (dua belas) bulan berikutnya oleh provinsi tempat penguasaan alat berat dimaksud.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 21Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “wilayah Daerah tempat air permukaan berada” adalah wilayah dimana air permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan. Contoh: Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dari hulu sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pegambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah provinsi B.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sigaret" adalah hasil tembakau yang dibuat dari tembakau rajangan yang dibalut dengan kertas dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Sigaret terdiri atas sigaret kretek, sigaret putih, dan sigaret kelembak kemenyan.
Yang dimaksud dengan sigaret kretek adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan cengkih, atau bagiannya, baik asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Sigaret putih adalah sigaret yang dalam pembuatannya tanpa dicampuri dengan cengkih, kelembak, atau kemenyan. Sigaret putih dan sigaret kretek terdiri atas sigaret yang dibuat dengan mesin atau yang dibuat dengan cara lain, daripada mesin. Yang dimaksud dengan "sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan mesin" adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasannya dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, seluruhnya, atau sebagian menggunakan mesin. Yang dimaksud dengan "sigaret putih dan sigaret kretek yang dibuat dengan cara lain daripada mesin" adalah sigaret putih dan sigaret kretek yang dalam proses pembuatannya mulai dari pelintingan, pemasangan filter, pengemasan dalam kemasan untuk penjualan eceran, sampai dengan pelekatan pita cukai, tanpa menggunakan mesin. Sigaret kelembak kemenyan adalah sigaret yang dalam pembuatannya dicampur dengan kelembak dan/atau kemenyan asli maupun tiruan tanpa memperhatikan jumlahnya. Yang dimaksud dengan cerutu" adalah hasil tembakau yang dibuat dari lembaran-lembaran daun tembakau diiris atau tidak, dengan cara digulung demikian rupa dengan daun tembakau, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti atau bahan pembantu yang digunakan dalam pembuatannya. Yang dimaksud dengan "rokok daun" adalah hasil tembakau yang dibuat dengan daun nipah, daun jagung (klobot), atau sejenisnya, dengan cara dilinting, untuk dipakai, tanpa mengindahkan bahan pengganti. Ayat (3)
Pajak rokok Daerah hanya dikenakan atas rokok yang dikenai cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai cukai.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40Ayat (1)
Contoh Penghitungan: Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp 500 juta. Tarif pajak MBLB dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif opsen pajak MBLB dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Provinsi S sebesar 25%. Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kabupaten X, sedangkan opsen pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi S.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41Cukup jelas.
Pasal 42Cukup jelas.
Pasal 43 Ayat (1)
Pada prinsipnya saat terutangnya pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 44 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Kegiatan "penegakan hukum" paling sedikit berupa sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal. Sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal dilakukan sesuai dengan kewenangan Pemerintah Daerah dan dapat disinergikan dengan Instansi Pemerintah Pusat yang melaksanakan pemungutan cukai. Penggunaan hasil penerimaan Pajak Rokok untuk sosialisasi ketentuan di bidang cukai hasil tembakau dan operasi pemberantasan rokok ilegal diprioritaskan apabila dana bagi hasil cukai hasil tembakau tidak mencukupi untuk membiayai kegiatan dimaksud.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Gubernur dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam peraturan daerah. Contoh: Pada tahun 2025, RSUD X pada Provinsi Y menyediakan pelayanan Kesehatan berupa pelayanan penyakit mulut dan pelayanan konservasi gigi. Pelayanan tersebut ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi sebagai berikut: Peraturan Daerah tentang Pajak dan Retribusi:
Pada tahun 2027, RSUD X pada Provinsi Y memiliki inovasi dan membuka 2 (dua) pelayanan baru berupa pelayanan farmasi dan pelayanan bedah yang merupakan bagian dari pelayanan konservasi gigi. Maka, untuk memungut Retribusi atas kedua pelayanan baru tersebut, Pemerintah Provinsi Y menyempurnakan ketentuan Pemungutan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi dengan menetapkan Peraturan Gubernur sebagai berikut:
Peraturan Gubernur:
Ayat (5) Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 47Cukup jelas.
Pasal 48Termasuk pelayanan administrasi pelayanan pendaftaran, medical meliputi record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan. Pelayanan administrasi tidak dikenakan Retribusi.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50Cukup jelas.
Pasal 51 Cukup jelas.
Pasal 52Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 Cukup jelas.
Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan. Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.
Pasal 57 Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
Pasal 58Cukup jelas.
Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62Cukup jelas.
Pasal 63 Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66Cukup jelas.
Pasal 67 Cukup jelas.
Pasal 68Cukup jelas.
Pasal 69Cukup jelas.
Pasal 70Cukup jelas.
Pasal 71Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73Cukup jelas.
Pasal 74Cukup jelas.
Pasal 75Cukup jelas.
Pasal 76Cukup jelas.
Pasal 77Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79Cukup jelas.
Pasal 80Cukup jelas.
Pasal 81Cukup jelas.
Pasal 82 Cukup jelas.
Pasal 83Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “bersamaan” adalah pembayaran opsen pajak MBLB dilakukan sekaligus dengan pembayaran pajak MBLB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86Cukup jelas.
Pasal 87Cukup jelas.
Pasal 88Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Contoh kerja sama optimalisasi pemungutan pajak yang dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama misalnya, kerja sama antara Pemerintah Pusat (Kementerian) dan Pemerintah Daerah dalam rangka optimalisasi pemungutan pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 89Cukup jelas.
Pasal 90Cukup jelas.
Pasal 91 Cukup jelas.
Pasal 92Cukup jelas.
Pasal 93Cukup jelas.
Pasal 94Cukup jelas.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Cukup jelas.
Pasal 97Cukup jelas.
Pasal 98 Cukup jelas.
Pasal 99Cukup jelas.
Pasal 100Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.