Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
20 Mei 1989
SURAT EDARAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK
NOMOR SE - 25/PJ.3/1989
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PENGENAAN PPN ATAS JASA SELAIN JASA PEMBORONGAN, JASA ANGKUTAN UDARA
DALAM NEGERI DAN JASA TELEKOMUNIKASI (SERI PPN - 146)
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 dan Keputusan Presiden Nomor 56 Tahun 1988 dan Pengumuman Direktur Jenderal Pajak Nomor PENG-139/PJ.63/1989 tanggal 27 Maret 1989 dengan ini disampaikan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 302/KMK.04/1989 tanggal 1 April 1989 tentang Pengenaan PPN atas Jasa Kena Pajak Selain Jasa Yang Dilakukan oleh Pemborong, Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri dan Jasa Telekomunikasi. Materi pokok yang perlu Saudara ketahui adalah sebagai berikut :
Keputusan Menteri Keuangan tersebut diatas hanya mengatur pengenaan PPN atas penyerahan jasa selain dari jasa pemborong, jasa angkutan udara dalam negeri dan jasa telekomunikasi yang telah diatur secara tersendiri.
Jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 1 yang dikenakan PPN pada prinsipnya adalah semua jasa sepanjang tidak dikecualikan oleh Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988. Namun demikian untuk sementara sambil menunggu penetapan lebih lanjut maka jasa yang dikenakan PPN hanyalah jasa seperti tersebut dalam pengumuman Direktur Jenderal Pajak tersebut di atas.
Jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tersebut di atas dikenakan PPN, jika jasa tersebut dilakukan dalam Daerah Pabean (Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri tersebut diatas).
Penyerahan Jasa Kena Pajak didalam Daerah Pabean tersebut selain dilakukan oleh Pengusaha Jasa yang bertempat tinggal atau berkedudukan di dalam negeri dapat juga dilakukan oleh pengusaha yang menurut ketentuan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri (Pasal 2 ayat (2) Keputusan Menteri tersebut di atas).
5.1. | Jasa tersebut melekat pada atau untuk barang tidak bergerak yang berada dalam Daerah Pabean Republik Indonesia seperti jasa penyewaan tanah, atau bangunan yang terletak di Indonesia, jasa perencanaan atau penggambaran bangunan (design) gedung yang berada atau akan dibangun di Indonesia meskipun design tersebut dikerjakan di luar negeri. |
5.2. | Jasa tersebut melekat pada atau untuk barang bergerak yang berada atau dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean Republik Indonesia seperti jasa persewaan rig untuk pengeboran minyak di Indonesia, jasa persewaan alat-alat berat yang digunakan di Indonesia, dsb. |
5.3. | Jasa tersebut merupakan barang tidak berwujud berupa hak-hak seperti hak patent, hak oktroi, hak cipta dan merek dagang yang dimanfaatkan di Indonesia. |
5.4. | Jasa tersebut (selain jasa sebagaimana dimaksud dalam angka 5.1. s.d. 5.3.) dilakukan secara phisik di dalam Daerah Pabean Republik Indonesia seperti jasa konsultan, jasa pengacara, jasa akuntan, jasa konsulen pajak, jasa surveyor dsb. yang dilakukan di Indonesia. Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) huruf d. Ketentuan ini supaya ditafsirkan bahwa PPN dikenakan sepanjang dimanfaatkan di Indonesia. Jika jasa secara phisik dilakukan di Indonesia tetapi dimanfaatkan di luar negeri, maka atas penyerahan ini tidak terkena PPN.
|
6.1. | melekat pada atau untuk barang tidak bergerak yang berada di luar Daerah Pabean Republik Indonesia seperti jasa persewaan bangunan, jasa pembangunan gedung yang berada di luar negeri. |
6.2. | melekat pada atau untuk barang bergerak yang berada dan dimanfaatkan di luar Daerah Pabean Republik Indonesia seperti jasa persewaan alat-alat berat yang berada di luar negeri. |
6.3. | merupakan barang tidak berwujud berupa hak-hak seperti hak cipta, hak patent, merek dagang dsb. yang dimanfaatkan di luar negeri. |
6.4. | merupakan jasa lainnya selain yang tersebut pada angka 6.1. s.d. 6.3. yang secara phisik dilakukan di luar Daerah Pabean Republik Indonesia seperti jasa konsultan, jasa akuntansi, jasa pengacara dsb. yang dilakukan di luar negeri. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 2 ayat (3) huruf d. |
Ketentuan ini supaya ditafsirkan sebagai berikut : - Jika jasa tersebut secara phisik dilakukan di luar negeri, tetapi dimanfaatkan di Indonesia, maka terkena PPN. - Jika jasa tersebut secara phisik dilakukan di luar negeri, tetapi dimanfaatkan juga di luar negeri, tidak terkena PPN.
|
7.1. | Untuk pengenaan dan pemungutan PPN tersebut pada angka 7 tidak perlu dibuat Faktur Pajak, karena pengusaha yang merupakan Wajib Pajak Luar Negeri tersebut juga tidak dikukuhkan sebagai PKP. |
7.2. | PPN dipungut dan disetorkan dengan menggunakan SSP atas nama Pengusaha Jasa Kena Pajak luar negeri tersebut. NPWP pada SSP agar dibuat sebagai berikut : - 8 digit pertama diisi dengan angka 0. - 3 digit berikutnya diisi dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari penerima Jasa Kena Pajak. |
7.3. | Apabila penerima Jasa Kena Pajak tersebut adalah PKP maka PPN yang telah disetor dapat menjadi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, sedang SSP-nya berfungsi sebagai Faktur Pajak. |
7.4. | PPN disetorkan selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atas penggantian Jasa Kena Pajak keluar negeri. |
7.5. | laporan atas pemungutan dan penyetoran dilakukan oleh penerima Jasa kena Pajak di KPP tempat tinggal atau kedudukan atau tempat pengukuhan dari penerima Jasa Kena Pajak, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut ke luar negeri.
|
Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan mengatur saat terutangnya PPN atas penyerahan jasa. Pada dasarnya PPN terutang pada saat jasa tersebut diserahkan. Seperti diketahui, penyerahan jasa pada umumnya berlangsung dalam periode/masa yang cukup lama bukan pada suatu saat. Oleh karena itu ditentukan, bahwa saat penyerahan jasa adalah pada saat tersedianya barang atau fasilitas atau hak untuk dipakai, baik sebagian ataupun seluruhnya. Dalam praktek, untuk menentukan saat tersebut masih mengalami kesulitan. Oleh karena itu dalam hal dilakukan penagihan, maka saat penagihan itu dianggap sebagai saat tersedianya barang, fasilitas atau hak untuk dipakai, yang berarti dianggap sebagai saat penyerahan jasa dimaksud.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983, apabila terjadi pembayaran lebih dulu dari pada penyerahannya, maka saat terutangnya PPN adalah pada saat pembayaran.
Dalam hal tidak dilakukan penagihan sedangkan pembayaran juga tidak dilakukan, maka saat terutangnya PPN adalah pada saat tersedianya barang, fasilitas atau hak untuk dipakai secara nyata.
9.1. | Dalam praktek sering terjadi, bahwa pengusaha jasa selain menyerahkan jasa juga menyerahkan barang, misalnya bengkel mobil yang selain menyerahkan jasa perbaikan mobil juga menyerahkan suku cadang yang dipasang sehubungan dengan jasa perbaikan mobil. Oleh karena itu pengusaha jasa harus melakukan pencatatan sedemikian rupa sehingga dapat diketahui jumlah penggantian atas jasa dan jumlah harga jual atas barang yang diserahkan. Meskipun demikian, dalam hal pengusaha jasa juga merupakan pengusaha yang dikenakan PPN atas penyerahan barang yang bersangkutan, misalnya pabrikan, penyalur tunggal atau pedagang besar yang merangkap juga sebagai pengusaha jasa, maka pemisahan pencatatan dimaksud tidak perlu dilakukan karena PPN terutang baik atas penyerahan jasa maupun atas penyerahan barang yang terkait dengan penyerahan jasa dimaksud. |
9.2. |
Dalam hal penggantian terdapat suatu jumlah yang ditagih oleh pengusaha jasa yang berasal dari tagihan pihak ketiga yang dokumennya langsung atas nama penerima jasa maka jumlah tersebut tidak merupakan penggantian yang jadi dasar pengenaan pajak, karena dianggap sebagai reimbursement. Contoh : A adalah pemilik gedung, B penyewa. Dalam hal pemakaian telpon, jika kwitansi telpon langsung atas nama penyewa tetapi terlebih dulu dibayarkan oleh pemilik gedung maka tagihan telpon tidak menambah jumlah Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN yang terutang.
|
12.1. |
Jasa penggunaan barang tidak berwujud berupa hak-hak seperti hak cipta, hak patent, dan merek dagang dsb. terutang PPN sesuai dengan definisi dari jasa tersebut sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 huruf e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tahun 1983, yaitu "semua kegiatan usaha dan pemberian pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, atau hak tersedia untuk dipakai". Dasar Pengenaan pajak atas penyerahan jasa ini adalah penggantian dalam bentuk apapun yang antara lain dapat berupa royalty. apabila dalam kontrak perjanjian, PPN yang terutang sudah termasuk dalam Nilai Penggantian (misalnya jumlah royalty yang dibayarkan) maka PPN dihitung 10/110 dari nilai penggantian. |
12.2. |
Pembayaran sebagaimana tersebut dalam angka 12.1. kepada Pemerintah karena penggunaan hak, lisensi atau perizinan seperti antara lain yang menyangkut bidang pertambangan, kehutanan, perikanan dsb. tidak menjadi obyek pengenaan PPN karena hal itu dilakukan dalam rangka melaksanakan pemerintahan umum. |
12.3. |
Mengingat penggunaan jasa ini menyangkut kegiatan usaha yang sangat luas maka hendaknya Saudara segera memantau dan menjelaskannya dengan memanfaatkan data dari PPh. Dengan cara ini maka diharapkan pemegang hak atau pemegang hak menggunakan patent, hak cipta, merek dagang dsb. yang menerima pembayaran yang berkedudukan di dalam negeri dapat dikukuhkan menjadi PKP. Apabila diperoleh informasi bahwa mereka ini bertempat tinggal atau berkedudukan di luar wewenang Kantor Pelayanan Pajak Saudara maka agar segera mengirimkan data tersebut kepada Kantor Pelayanan Pajak yang bersangkutan. Dalam hal mereka merupakan Wajib Pajak Luar Negeri maka kepada penerima jasa agar diberitahukan kewajibannya untuk menyetorkan PPN yang terutang atas nama Pengusaha Wajib Pajak Luar Negeri tersebut. |
Demikian untuk dilaksanakan sebaik-baiknya.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.