Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(a) |
produk asuransi tersebut belum pernah dipasarkan oleh Perusahaan Asuransi yang bersangkutan; atau
|
(b) |
produk asuransi tersebut merupakan perubahan atas produk asuransi yang sudah dipasarkan, yang perubahannya meliputi risiko yang ditutup, ketentuan polis, rumusan premi, metode cadangan premi atau nilai tunai.
|
(1) | Pelaporan mengenai rencana memasarkan produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, untuk produk asuransi kerugian harus dilengkapi dengan: |
|
|
(2) | Pelaporan mengenai rencana memasarkan produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999, untuk produk asuransi jiwa harus dilengkapi dengan |
|
(1) |
Perusahaan Asuransi Jiwa yang akan memasarkan produk asuransi baru yang dikaitkan dengan investasi, antara lain untuk produk asuransi unit link, dan atau yang sejenis, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
|
|
|
(2) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai produk asuransi baru sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
|
(1) | Setiap Polis Asuransi yang diterbitkan dan dipasarkan di wilayah hukum Indonesia harus dibuat dalam Bahasa Indonesia. |
(2) | Dalam hal diperlukan, Polis Asuransi dapat dibuat dalam bahasa asing berdampingan dengan Bahasa Indonesia. |
(1) |
Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang dapat ditafsirkan sebagai pengecualian atau pembatasan penyebab risiko yang ditutup berdasarkan Polis Asuransi yang bersangkutan, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengecualian atau pembatasan tersebut.
|
(2) |
Apabila dalam Polis Asuransi terdapat perumusan yang clapat ditafsirkan sebagai pengurangan, pembatasan, atau pembebasan kewajiban penanggung, bagian perumusan dimaksud harus ditulis atau dicetak sedemikian rupa sehingga dapat dengan mudah diketahui adanya pengurangan, pembatasan, atau pembebasan penanggung tersebut.
|
(1) |
Dalam hal pembayaran premi dan atau klaim dari Polis Asuransi dengan mata uang asing dilakukan dengan mata uang rupiah, pembayaran tersebut harus menggunakan kurs yang ekivalen yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat pembayaran.
|
(2) |
Kurs yang ekivalen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus menghasilkan sejumlah mata uang asing yang seharusnya diterima oleh si penerima pembayaran tersebut apabila pembayaran dilakukan dengan mata uang asing dimaksud.
|
(3) | Dalam polis asuransi dengan indeks rupiah, pembayaran premi atau manfaat harus didasarkan pada rasio indeks yang berlaku pada saat pembayaran. |
(1) |
Dalam Polis Asuransi yang diterbitkan oleh Perusahaan Asuransi yang berbentuk usaha bersama harus dicantumkan ketentuan tentang memiliki atau tidak memiliki hak suara bagi pemegang polis.
|
(2) |
Ketentuan tentang memiliki atau tidak memiliki hak suara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan anggaran dasar perusahaan yang bersangkutan.
|
(1) | Perhitungan tingkat premi harus didasarkan pada asumsi yang wajar dan praktek asuransi yang berlaku umum. |
(2) | Penetapan tarif premi asuransi kerugian harus dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya: |
|
|
(3) | Penetapan tarif premi asuransi jiwa harus dilakukan dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya: |
|
(1) | Penghentian pertanggungan, baik atas kehendak penanggung maupun tertanggung, harus dilakukan dengan pemberitahuan secara tertulis. |
(2) |
Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis Asuransi yang tidak memiliki unsur tabungan, maka besar pengembalian premi sekurang-kurangnya sebesar jumlah yang dihitung secara proporsional berdasarkan sisa jangka waktu pertanggungan, setelah dikurangi bagian premi yang telah dibayarkan kepada perusahaan pialang asuransi dan atau komisi agen.
|
(3) |
Dalam hal terjadi penghentian pertanggungan pada Polis Asuransi yang memiliki unsur tabungan, Perusahaan Asuransi harus membayar paling sedikit sejumlah nilai tunai pada saat penghentian tersebut.
|
(1) | Perusahaan Asuransi wajib memperoleh dukungan reasuransi otomatis untuk setiap produk asuransi pada setiap cabang asuransi yang dipasarkan. |
(2) | Dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh dengan ketentuan sebagai berikut: |
|
|
(3) |
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak berlaku dalam hal tidak ada Perusahaan Reasuransi yang memberikan dukungan reasuransi otomatis terhadap produk asuransi yang dipasarkan tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
|
(4) |
Dukungan reasuransi otomatis dari penanggung ulang di luar negeri bagi Perusahaan Asuransi Kerugian, hanya dapat dilakukan apabila perusahaan dimaksud telah terlebih dahulu memperoleh dukungan reasuransi otomatis di dalam negeri dalam jumlah atau prosentase tertentu.
|
(5) |
Dukungan reasuransi fakultatif hanya dapat dilakukan dalam hal dukungan reasuransi otomatis tidak mencukupi atau jenis risiko yang ditutup tidak temasuk dalam dukungan reasuransi otomatis, dengan mempertimbangkan ketersediaan kapasitas dalam negeri.
|
(6) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai dukungan reasuransi otomatis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan.
|
(1) |
Dukungan reasuransi dari perusahaan penanggung ulang di luar negeri hanya dapat dilakukan pada perusahaan penanggung ulang yang pada saat penempatan memiliki peringkat sekurang-kurangnya BBB atau yang setara dengan itu.
|
(2) |
Dalam hal penanggung ulang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memiliki peringkat yang berbeda maka peringkat yang digunakan adalah peringkat yang terendah.
|
(3) |
Dalam hal perusahaan penanggung ulang di luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak memiliki peringkat dari badan pemeringkat, maka perusahaan penanggung ulang dimaksud harus memiliki reputasi baik yang dapat dibuktikan dengan surat keterangan dari badan pembina dan pengawas asuransi setempat, yang menjelaskan bahwa:
|
(4) |
Bukti pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) diajukan oleh Perusahaan Asuransi kepada Menteri bersamaan dengan waktu penyampaian laporan program reasuransi otomatis.
|
(1) |
Pengalihan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungan oleh Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi hanya dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri.
|
(2) |
Pengalihan portofolio pertanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan bahwa pengalihan dimaksud:
|
(3) |
Dalam hal Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi mengalihkan seluruh portofolio pertanggungan, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dimaksud harus menyampaikan permohonan pemegang saham, untuk mengembalikan izin usaha setelah selesainya pengalihan portofolio pertanggungan.
|
(4) | Persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan oleh Menteri paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) Menteri tidak menolak persetujuan dimaksud, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang bersangkutan dapat melakukan pengalihan portofolio pertanggungan yang diajukan. |
(6) |
Setelah mendapat persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang akan mengalihkan portofolio pertanggungan wajib terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada setiap pemegang polis.
|
(7) | Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang mengalihkan portofolio pertanggungan harus mengumumkan pengalihan tersebut pada surat kabar harian Indonesia yang berperedaran luas sekurang-kurangnya selama 3 (tiga) hari berturut-turut. |
(8) |
Setelah selesainya pengalihan portofolio pertanggungan, Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi harus melaporkan kepada Menteri hasil pelaksanaan pengalihan portofolio pertanggungan dimaksud.
|
(1) | Perusahaan Asuransi hanya dapat meminta dokumen sebagai syarat pengajuan klaim sesuai dengan yang tertera dalam Polis Asuransi. |
(2) | Dalam hal Polis Asuransi mencantumkan syarat lain-lain sebagai persyaratan pengajuan klaim, syarat lain-lain tersebut harus : |
|
|
(3) | Ketentuan mengenai syarat lain-lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus dimuat dalam Polis Asuransi. |
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan operasional tahunan untuk periode yang berakhir per 31 Desember kepada Menteri.
|
(2) | Laporan operasional tahunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus disampaikan selambat-lambatnya tanggal 30 April tahun berikutnya. |
(1) |
Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi wajib menyampaikan laporan operasional untuk kegiatan setiap satu triwulan yang berakhir per 31 Maret, 30 Juni, 30 September, dan 31 Desember, kepada Menteri.
|
(2) |
Laporan operasional sebagaimana dimaksud ayat (1) masing-masing harus disampaikan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.
|
(3) |
Laporan Operasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dengan prinsip, Syariah, atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi yang memiliki cabang dengan prinsip Syariah, harus dilengkapi dengan Pernyataan Dewan Pengawas Syariah bahwa penyelenggaraan usaha Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi dimaksud untuk triwulan yang bersangkutan tidak menyimpang dari prinsip syariah.
|
(1) |
Aktuaris Perusahaan wajib menyampaikan laporan mengenal perkiraan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajibannya untuk jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun mendatang.
|
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Menteri paling lambat tanggal 30 April tahun berikutnya. |
(1) | Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal I angka 11 Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 1999 dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: |
|
|
(2) | Pembayaran denda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal penyampaian laporan tahunan. |
(3) |
Dalam hal Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi dikenakan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha karena tidak menyampaikan laporan tahunan, maka pencabutan sanksi Pembatasan Kegiatan Usaha hanya dapat dilakukan apabila laporan tahunan dan bukti pembayaran denda telah disampaikan kepada Menteri.
|
(4) |
Bukti pembayaran denda berupa tembusan SSBP disampaikan kepada Direktorat Asuransi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal pembayaran denda dimaksud.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.