28 Juli 2007 | 16 years ago

Pemerintah Lamban Benahi "Cost Recovery"

Kompas

1094 Views

BPK Masih Temukan Potensi Penyelewengan oleh Perusahaan

 

Badan Pemeriksa Keuangan menilai belum ada perbaikan dalam mekanisme perhitungan dan jenis biaya operasi migas yang dibebankan ke pemerintah (cost recovery). BPK masih menemukan indikasi adanya biaya yang tidak perlu dimasukkan ke dalam cost recovery.

 

"Pemerintah ini lemah. Koordinasi antarinstansi yang terkait soal cost recovery ini tidak ada. Departemen Keuangan dan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas jalan sendiri-sendiri, harusnya koordinasi dong apa yang mau dibenahi," kata anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Baharuddin Aritonang, di Jakarta, Rabu (25/7).

 

Sebelumnya, Dirjen Anggaran Departemen Keuangan, Dirjen Pajak, dan Badan Kebijakan Fiskal melemparkan tanggungjawab masalah pengajuan cost recovery kontraktor migas tahun ini yang mencapai 10,4 miliar dollar'AS atau sekitar Rp 93,9 triliunkepada BP Migas.

 

Dengan pola bagi hasil yang dianut Indonesia, semakin tinggi biaya operasi yang dikeluarkan kontraktor migas berakibat makin berkurangnya porsi bagi hasil yang akan diterima pemerintah. Pembebanan biaya mencakup biaya eksplorasi, biaya produksi, dan biaya administrasi yang dikeluarkan kontraktor migas selama mereka berproduksi. Bulan Oktober 2006, BPK mengungkapkan temuan cost recovery periode 2004 hingga semester 1-2005 atas lima kontraktor kerja sama migas. Hasil audit menunjukkan, terdapat potensi kerugian negara sedikitnya 1,473 miliar dollar AS atau setara dengan Rp 13,3 triliun. Temuan itu antara lain mencakup biaya-biaya yang tidak berhubungan dengan operasi perminyakan dibebankan ke dalam cost recovery, kontraktor mengajukan biaya depresiasi atas fasilitas yang dibangun meskipun tidak berjalan dengan baik, dan pembebanan biaya kantor pusat tidak disertai dengan bukti-bukti yang cukup.

 

Menurut Baharuddin, BPK sudah memberikan rekomendasi hal-hal yang harus diperbaiki, termasuk yang terpenting mempertegas jenis biaya-biaya yang bisa dimasukkan ke dalam cost recovery. Ia mengatakan, pemerintah seharusnya berani mengubah kontrak kerja sama migas sebab di situlah sumber penyalahgunaan yang terjadi.

 

Auditor BPK Arief Handoko mengemukakan, cost recovery bisa diselewengkan karena kelonggaran dalam klausul kontrak kerja sama. "Misalnya, dalam kontrak induk disebutkan bahwa biaya bunga tidak bisa dimasukkan ke dalam biaya operasi. Namun, dalam lampiran kontrak, biaya bunga justru boleh dimasukkan dalam cost recovery," papar Arief.

 

Pemasukan bunga atas biaya yang dipakai sendiri, lanjut Arief, menjadi salah satu temuan audit BPK untuk periode 2006 atas sejumlah kontraktor migas.

 

Potensi kerugian negara lainnya juga muncul dari pengembalian pajak pertambahan nilai (PPN) migas. Kontraktor migas dibebaskan dari PPN jasa dan barang yang mereka keluarkan selama melakukan aktivitas produksi migas. PPN seharusnya dikembalikan oleh pemerintah setelah penyedia jasa dan barang menyetor ke kas negara. "Verifikasi PPN dilakukan BP Migas, tapi selama ini data dari BP Migas dan Ditjen Pajak tidak pernah disinkronkan," kata Arief.

 

Dari hasil rekomendasi yang diusulkan BPK, belum ada yang diseriusi pemerintah. "Kasus biaya pembelian listrik oleh Chevron misalnya, sampai sekarang tidak jelas tindak lanjutnya, padahal nilai potensi kerugian negara cukup besar," kata Arief.

 

Ia mengatakan, dalam jangka pendek koreksi mekanisme cost recovery bisa dilakukan dengan memperbaiki internal BP Migas. Sedangkan, pembaruan kontrak kerja sama merupakan solusi pengendalian cost recovery dalam jangka panjang.