27 Februari 2008 | 16 years ago

Rendahnya Kesadaran Pajak

Suara Pembaruan

2047 Views

Pajak adalah sumber penerimaan negara yang utama.

Sampai kapan pun posisinya tak tergeser oleh pos penerimaan lainnya, semisal, penerimaan devisa ekspor atau piden dari laba badan usaha milik negara. Hal itu mengingat hampir semua aktivitas perekonomian, baik produksi maupun jasa, menjadi obyek pajak. Alhasil, penerimaan pajak selalu berbanding lurus dengan perkembangan semua aktivitas ekonomi nasional. Manakala perekonomian menggeliat bangkit, pajak bertambah. Demikian pula sebaliknya.

Dari waktu ke waktu, kebutuhan anggaran negara (APBN) semakin meningkat. Tentu saja dukungan penerimaan dari pajak diharapkan meningkat pula. Tak mengherankan bila setiap tahun pemerintah bersama DPR menambah target penerimaan pajak (dan juga cukai). Cukup melegakan pula bahwa di tengah kritik terhadap perilaku aparat pajak lembaga itu mampu meningkatkan setorannya kepada negara. Sebagai catatan, pemerintah menambah target penerimaan pajak pada RAPBN Perubahan 2008, dari Rp 591 triliun menjadi Rp 601 triliun. Penambahan itu terkait kebutuhan pembiayaan yang membengkak, yang antara lain disebabkan melonjaknya harga minyak dunia.

Namun, di tengah segala "prestasi" yang dicapai Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Departemen Keuangan, banyak kalangan menilai pencapaian itu belum optimal. Artinya, dengan segala potensi dan regulasi penerimaan pajak seharusnya bisa lebih besar dari yang selama ini disetorkan. Salah satu tolok ukurnya adalah rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (tax ratio) di Indonesia baru sekitar 13 persen hingga 14 persen. Rasio itu cukup rendah bila dibanding negara lain di kawasan Asia Tenggara, yang rata-rata sudah di atas 15 persen.

Ada dua hal yang menyebabkan rendahnya tax ratio tersebut. Pertama, masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk membayar pajak, yang ditandai dengan minimnya penduduk yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Kedua, masih kurangnya profesionalitas aparat pajak dalam menjalankan kewajibannya, sehingga ada potensi pendapatan pajak yang hilang akibat seringnya "main mata" antara oknum aparat pajak dan wajib pajak.

Khusus menyangkut minimnya kepemilikan NPWP, Ditjen Pajak mencatat, dari sekitar 25 juta hingga 30 juta penduduk yang sudah memenuhi syarat, baru sekitar 5 juta hingga 6 juta yang memiliki NPWP; Hal itu dikeluhkan sebagai salah satu yang melemahkan upaya untuk mengintensifkan penerimaan pajak. Kita perlu mengingatkan kepada aparat pajak, persoalan pada belum optimalnya penerimaan pajak tentu tidak semata-mata karena rendahnya kesadaran masyarakat untuk memiliki NPWP. Secara simultan, upaya pembersihan di lingkungan Ditjen Pajak dari praktik "main mata" dengan wajib pajak harus dapat dituntaskan.

Rendahnya kesadaran untuk berNPWP bisa jadi dipicu kultur "main mata" antara aparat pajak dan wajib pajak yang tertanam lama. Dengan demikian, penegakan aturan perpajakan pun lemah. Masyarakat selalu merasa bahwa kewajiban perpajakan, termasuk untuk memiliki NPWP, bisa diselesaikan secara "main mata" dengan aparat pajak.

Jelas sekali bahwa praktek tersebut tidak akan membudaya bila aparat pajak tidak membuka peluang. Integritas aparat pajak untuk menjalankan tugasnya secara benar dan bersih adalah kata kunci untuk menegakkan segala aturan perpajakan. Dengan demikian, secara otomatis masyarakat akan sadar untuk memenuhi kewajiban perpajakannya, termasuk memiliki NPWP. Namun, itu juga belum cukup. Masyarakat masih belum merasakan adanya keberimbangan antara kewajiban pajak yang telah dipenuhinya, dengan pelayanan publik yang diberikan aparat pemerintah. Hal ini pula yang harus mendapat perhatian, sehingga kesadaran memenuhi kewajiban di bidang pajak tumbuh subur karena masyarakat benar-benar merasakan manfaat dari membayar pajak.