16 November 2022 | 1 year ago

Mencegah Tarif Listrik Ikut Terpantik

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah harus memastikan pelaksanaan program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara tidak memengaruhi keekonomian yang bisa berdampak pada tarif listrik untuk masyarakat.

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN mewanti-wanti supaya pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) tidak berdampak negatif pada pelayanan kelistrikan yang disediakan perseroan kepada pelanggan. Pasalnya, hingga kini mayoritas pelanggan PLN masih ditopang oleh subsidi yang dikeluarkan oleh pemerintah.

EVP Operasi Pembangkitan PLN Suwarno mengatakan bahwa perseroan menaruh perhatian serius terkait dengan isu harga kelistrikan pada tingkat konsumen setelah program pensiun dini PLTU mulai terlaksana lewat skema energy transition mechanism (ETM) untuk PLTU Cirebon-1 dengan kapasitas 660 megawatt (MW).

“Tentunya ke depan harus sejalan dengan harapan pelanggan, yaitu harga terjangkau oleh pelanggan. Ke depan, pengembangan energi baru dan terbarukan [EBT] harus mempertimbangkan masalah terkait dengan harga,” katanya dalam Dialogue on IPP Just Energy Transition Initiatives di Bali, Selasa (15/11).

Dia pun berharap program pensiun dini PLTU secara masif yang didorong pemerintah di masa mendatang bisa diikuti oleh penambahan kapasitas pembangkit listrik berbasis EBT. Selain itu, pemerintah juga harus memastikan daya dan tarif listrik dari pembangkit listrik EBT bisa bersaing dengan tenaga listrik dari pembangkit listrik berbasis fosil.

Hal itu, kata dia, menjadi perhatian utama PLN untuk memastikan ketersediaan kapasitas listrik dengan harga yang kompetitif untuk seluruh masyarakat.

“Untuk pensiun dini harus ada sinkronisasi kecukupan daya untuk melayani pelanggan, baik itu masuknya transmisi atau pembangunan EBT. Kita harapkan cadangan harus tetap ada, sehingga pelanggan tetap terlayani dengan baik,” kata dia.

Pemerintah dan Asia Development Bank (ADB) memastikan bakal mengantisipasi dampak lanjutan dari pensiun dini PLTU Cirebon-1. Apalagi, PLTU tersebut saat ini memiliki sekitar 200 pekerja yang bakal terkena dampak langsung dari program pensiun dini.

Dampak sosial dari pensiun dini PLTU Cirebon-1 memang menjadi salah satu perhatian dalam nota kesepahaman atau Memoranda of Understanding (MoU) antara ADB dan PLN, Indonesia Investment Authority, serta Cirebon Electric Power sebagai pemilik pembangkit listrik tersebut.

“Kita perlu mengatasi perubahan iklim dengan solusi konkret untuk dekarbonisasi di kawasan dengan tetap memastikan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” kata President ADB Masatsugu Asakawa.

Asakawa menyebut, ADB bersama dengan mitra terkait tengah mempersiapkan alokasi pendanaan untuk memitigasi dampak langsung serta tidak langsung dari pensiun dini PLTU tersebut.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengatakan bahwa biaya penyediaan listrik dari EBT bakal kompetitif apabila porsi energi bersih dalam bauran energi mencapai 37%–40%.

“Pembangkit listrik EBT memiliki biaya operasional yang lebih rendah, sedangkan PLTU dan energi fosil lainnya itu harga bahan bakarnya fluktuatif karena ditentukan oleh pasar,” katanya.

Dia menjelaskan bahwa kekhawatiran PLN terkait dengan kecukupan daya dan tarif listrik disebabkan oleh besarnya subsidi yang diberikan pemerintah untuk tenaga listrik yang dihasilkan dari pembangkit listrik berbasis energi fosil, baik melalui subsidi tarif maupun harga batu bara melalui kebijakan domestic market obligation (DMO).

Untuk itu, kata dia, diperlukan kajian ulang terkait dengan keterjangkauan harga energi akibat pensiun dini PLTU yang terus didorong pemerintah.

Selain itu, lanjutnya, mekanisme spin off PLTU juga berpotensi meningkatkan harga jual listrik kepada PLN, karena pemilik baru pembangkit listrik tersebut bakal menambahkan margin saat akan menjual tenaga listriknya.

“Kajian kami menunjukkan bahwa biaya pensiun dini PLTU terbayar dari berkurangnya biaya kesehatan, serta subsidi batu bara dan listrik. Memang ini tidak dihitung oleh PLN, karena concernnya hanya terbatas pada biaya produksi listrik. Jadi manfaat sosial ekonomi ini harus dihitung oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian ESDM,” katanya.

PAJAK KARBON

Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bakal segera menerapkan pajak karbon kepada PLTU batu bara seiring dengan komitmen pemerintah untuk memadamkan pembangkit listrik berbasis fosil tersebut.

Manuver itu juga dilakukan untuk ikut menyokong kemampuan pemerintah terkait dengan pembiayaan pensiun dini PLTU yang masih relatif mahal saat ini.

“Terkait dengan upaya ini, pemerintah akan mengimplementasikan pajak karbon secara terbatas untuk PLTU, dan kebijakan ini akan melebar secara bertahap pada sektor lainnya tergantung pada pertimbangan ekonominya,” kata Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Rida Mulyana.

Berdasarkan kajian awal pensiun dini PLTU milik Kementerian ESDM, Rida mengatakan, pemerintah dapat memperluas pemadaman pembangkit listrik berbasis energi fosil itu untuk 33 PLTU dengan kapasitas terpasang mencapai 16,8 gigawatt (GW).

Sementara itu, otoritas fiskal memperkirakan dana yang dibutuhkan pemerintah untuk memadamkan PLTU dengan kapasitas total 15 GW mencapai US$4 miliar lewat skema ETM.

“Sebagaimana kita berharap pensiun dini, makin cepat dilakukan makin besar pula ongkos yang dibutuhkan, karena kewajiban untuk membayar pinjaman dan bunga yang masih berlanjut di sana,” kata dia.

Adapun, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) I Pahala N. Mansury membeberkan perbankan serta pemberi pinjaman komersial masih ragu-ragu untuk mendanai program pensiun dini PLTU lantaran menghindari portofolio energi fosil.

Country platform sudah resmi diumumkan, pada akhirnya siapa yang akan menanggung biayanya apa nanti yang memastikan pembiayaan ini,” kata Pahala.

Pahala mengatakan, dirinya belum mengetahui lebih lanjut apakah pendanaan lewat ETM itu sudah memasukkan taksonomi pembiayaan hijau atau green financing taxonomy untuk memastikan portofolio investasi dari perbankan atau pemberi pinjaman tidak terpengaruh negatif oleh sentimen fosil.

“Ketika kami bicara dengan teman-teman di perbankan, mereka sangat bergairah tentang ini, tapi mereka bertanya apakah pembiayaan transaksi itu sudah masuk pada bagian pembiayaan hijau,” kata dia.

Perusahaan pembiayaan infrastruktur pelat merah PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) atau PT SMI meminta pelonggaran klasifikasi pembiayaan PLTU pada panduan taksonomi hijau dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Pelonggaran itu diharapkan dapat menarik pembiayaan yang lebih masif dari sektor komersial pada upaya pensiun dini PLTU di dalam negeri.

Direktur Manajemen Risiko PT SMI Pradana Murti mengatakan bahwa pendanaan pada program pensiun dini PLTU belakangan mendapat tantangan yang signifikan lantaran minimnya pembiayaan dari lembaga keuangan swasta. Alasannya, aset PLTU dinilai memiliki sentimen negatif pada portofolio pembiayaannya.

“Kita perlu melonggarkan taksonomi hijau kalau kita ingin lembaga keuangan internasional ikut membenamkan uang mereka pada transisi PLTU,” kata Pradana. saat Dialogue on IPP Just Energy Transition Initiatives, Selasa (15/11).

Menurut Pradana, isu panduan taksonomi hijau untuk mengurangi pendanaan pada PLTU telah menjadi perhatian global seiring dengan meningkatnya ongkos pensiun dini pembangkit listrik berbasis fosil tersebut agar bisa mengejar target nol gas buang pada 2060 mendatang.

Malahan permasalahan soal isu panduan taksonomi yang membatasi pendanaan pada PLTU itu juga muncul pada pembahasan COP 27 yang berlangsung di Sharm El Sheikh, Mesir pada 6 hingga 18 November 2022.

Dia mengatakan bahwa mulai saat ini taksonomi baru yang menampung pendanaan untuk percepatan pensiun dini PLTU mesti diakomodasi.

“Taksonomi khusus berkaitan dengan upaya transisi ini perlu dikembangkan, ini akan perlu waktu ketika itu sudah dapat dilonggarkan, maka pembiayaan dari swasta akan dengan mudah dimobilisasi untuk pensiun dini PLTU,” ucapnya.