17 November 2022 | 1 year ago

Pajak Digital Jalan di Tempat

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Di tengah keberhasilan Indonesia membawa a Presidensi G20 mencapai deklarasi bersama, ada satu sisi yang masih belum tuntas dan membutuhkan tambahan waktu negosiasi, yakni implementasi pajak digital.

Hingga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 ditutup kemarin sore, seluruh anggota masih belum mencapai kata sepakat perihal pemajakan atas ekonomi digital.

Padahal, dalam rangkaian pertemuan sebelumnya, pajak digital menjadi isu yang cukup krusial untuk terus didiskusikan dalam rangka menciptakan keadilan di sektor perpajakan.

Isu perpajakan internasional memang seolah terpinggirkan oleh kabar mengenai upaya perdamaian Rusia-Ukraina, serta pertemuan mesra Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping.

Faktanya, perpajakan menjadi satu dari segelintir isu yang menemui jalan buntu. Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, ada banyak aspek yang belum menemukan kata bulat mengenai hal ini.

Satu-satunya kesepahaman yang tercapai hanyalah perluasan kerja sama pertukaran data secara otomatis alias automatic exchange of information (AEOI).

Tak bisa dimungkiri, pertukaran data memang menjadi salah satu senjata bagi seluruh negara untuk menangkal praktik penghindaran maupun pencucian uang.

Akan tetapi, pemajakan atas ekonomi digital tak kalah penting. Apalagi, ini berkaitan dengan korporasi teknologi semacam Google LLC dan Amazon.com, Inc, serta terkorelasi erat dengan hak pemajakan masing-masing yurisdiksi.

Dalam kaitan ini, sejumlah pejabat Kementerian Keuangan yang dihubungi Bisnis tidak memberikan jawaban tegas mengenai hambatan dari larutnya negosiasi pemajakan ekonomi digital.

Nihilnya progres pembahasan pajak juga tecermin dari Deklarasi Pimpinan G20 di Bali, yang tak ada perbedaan dibandingkan dengan Pertemuan Keempat Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Washington, Amerika Serikat, bulan lalu.

Dalam Deklarasi G20 Bali, seluruh negara merespons positif solusi dua pilar yang difasilitasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengenai perpajakan internasional.

“Kami berkomitmen untuk mengembangkan aturan, model, dan instrumen multilateral sesuai dengan jadwal yang disepakati,” tulis Deklarasi Pimpinan G20 Bali yang dikutip Bisnis, Rabu (16/11).

Solusi dua pilar yang menjadi isu global adalah Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2: Global Anti Base Erosion (Globe). Sejauh ini, rencananya implementasi Pilar 1 akan dilaksanakan pada paruh pertama tahun depan, sedangkan Pilar 2 baru akan diterapkan pada tahun berikutnya atau 2024.

Pilar 1 mengakomodasi skema pemajakan untuk perusahaan digital dari sisi pajak penghasilan (PPh), sedangkan Pilar 2 mengatur skema PPh korporasi minimum global atau global minimum tax dengan tarif sebesar 15%, serta subject to tax rule (STTR) terkait dengan diberlakukannya tarif withholding tax.

Persoalannya, masing-masing negara mengedepankan kepentingan masing-masing dengan mengusulkan penerapan dua pilar secara terpisah. Adapun, Indonesia bersama India mendesak implementasi serempak Pilar 1 dan Pilar 2.

Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan substansi solusi dua pilar dalam KTT G20 Bali tidak memiliki progres yang signifikan karena hanya memuat perihal komitmen dari masing-masing negara.

Adapun, mengenai alotnya pembahasan pemajakan korporasi digital dari sisi penghasilan menurutnya disebabkan oleh kesiapan dari masing-masing yurisdiksi.

Pasalnya, sejauh ini belum seluruh negara memiliki instrumen hukum yang bisa mengadopsi substansi dari dua pilar pajak global itu. Jika pun tersedia, masih terjadi perdebatan di internal negara tersebut.

“AS, misalnya, sudah punya instrumen, tetapi pembahasan di Kongres AS alot. Ini yang menjadi kendala,” katanya kepada Bisnis, Rabu (16/11).

Tak hanya Negeri Paman Sam, otoritas Uni Eropa pun harus bergulat untuk memuluskan implementasi konsensus tersebut. Inilah kemudian yang membatasi sikap pemimpin negara dalam membahas isu pajak digital dalam puncak pertemuan G20 tahun ini.

Sementara itu, Indonesia jauh lebih mudah untuk mengakomodasi dua pilar tersebut, pascapenerbitan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

“Negara lain masih harus menyesuaikan dengan legislasi di dalam negeri, sedangkan kita sudah ada UU HPP,” ujarnya.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia mendorong transformasi digital untuk mempercepat pemulihan ekonomi global. Salah satu isu yang ditekankan oleh Kepala Negara adalah penciptaan lingkungan digital yang aman.

Presiden mendorong dan menekankan pentingnya kerja sama untuk memastikan manfaat digital dapat dirasakan secara merata oleh semua.

“Saya mengundang kontribusi yang mulia untuk masa depan dunia digital yang aman, yang inklusif, dan yang bermanfaat bagi semua,” kata Presiden.