06 Juli 2023 | 10 months ago

Kebingungan Lantaran Pajak Kenikmatan

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Beleid terbaru soal pajak natura menyisakan problematika yang tak bisa dianggap remeh. Ketidaksinkronan regulasi melahirkan kebingungan di kalangan wajib pajak.

Alih-alih menciptakan keadilan pajak, ketentuan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 66/2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan atas Penggantian atau Imbalan Sehubungan dengan Pekerjaan atau Jasa yang Diterima atau Diperoleh dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan, justru berujung membingungkan.

Akar persoalan ada pada ketentuan soal natura atau kenikmatan yang diterima oleh wajib pajak pada tahun lalu. Dalam PMK No. 66/2023, natura alias kenikmatan yang diterima pada 2022 tidak termasuk ke dalam objek Pajak Penghasilan (PPh) 21. Namun, dua aturan yang lebih tinggi mengamanatkan natura yang diterima pada 2022 termasuk ke dalam objek PPh.

Kedua beleid itu adalah UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Per aturan Perpajakan (HPP) yang menjadi regulasi induk, serta aturan turunannya yakni PP No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Dari aspek hukum, tentu aturan teknis di tingkat menteri sebagaimana PMK No. 66/2023 wajib senapas sehembusan dengan aturan di atasnya, baik dalam bentuk PP ataupun UU.

Apabila beleid di level teknis tidak sejalan, maka ada potensi penyalahgunaan wewenang. Jauh lebih penting dari itu, masyarakat alias wajib pajak menjadi pihak yang paling dirugikan.

Apalagi, tidak sedikit wajib pajak orang pribadi karyawan yang melaporkan natura dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahun Pajak 2022. Celakanya, institusi pajak seolah tidak memiliki solusi konkret dari dinamika tersebut.

Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama, mengatakan otoritas fiskal bukannya tidak mempertimbangkan UU No. 7/2021 dan PP No. 55/2022.

Dia berdalih, dikecualikannya natura yang diterima pada 2022 sebagai objek PPh berpijak pada dukungan kepada masyarakat dan ketentuan itu dipandang sebagai sebuah relaksasi.

Ditjen Pajak pun hanya bisa bersikap pasif, yakni menunggu respons atau langkah dari wajib pajak, apakah hendak melakukan pembetulan SPT atau mengajukan lebih bayar alias restitusi.

"Dan kalau memang sudah ada wajib pajak yang telah membayar, tetapi dia mau klaim bahwa ini [natura] belum menjadi objek ya silakan saja," katanya, Kamis (6/7).

Dilihat dari kacamata apapun, aksi dari otoritas fiskal itu haram untuk dibenarkan. Apabila tak disikapi dengan cermat, PMK No. 66/2023 menjadi preseden buruk bagi ekosistem fiskal dan perundang-undangan nasional.

Memang, celah restitusi masih dibuka bagi wajib pajak yang telah melaporkan natura 2022 dalam SPT. Akan tetapi, apabila skema itu dimanfaatkan, justru akan melegitimasi ketidaksempurnaan regulasi tersebut.

Kalangan pemerhati pajak pun menganggap kebijakan pajak natura terbaru bak simalakama. Apabila menggunakan kaidah hukum lex superiori derogat legi inferiori, PMK No. 66/2023 tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Berdasarkan asas hukum tersebut, PMK No. 66/2023 dapat dikatakan bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi sehingga tidak sejalan dengan Pasal 7 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Sementara itu, jika menggunakan pertimbangan sesuai rational choice theory, pembuat kebijakan akan memilih opsi yang paling rasional. Dan sayangnya inilah yang dipilih oleh Kementerian Keuangan.

Dengan demikian, PMK No. 66/2023 tidak mungkin berlaku surut karena dapat memunculkan ketidakpastian hukum sehingga dapat menciptakan potential tax dispute.

Selain itu, apabila mengacu pada teori ini UU HPP dan PP No. 55/2022 dalam kaitan pajak natura tidak mungkin dapat diimplementasikan tanpa adanya PMK No. 66/2023.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, mengatakan kedua teori itu bisa dipilih oleh pemangku kebijakan dan masing-masing memiliki konsekuensi.

Akan tetapi, dengan memandang respons otoritas pajak yang pasif, menurutnya kondisi yang terjadi hanyalah menunggu keikhlasan masyarakat untuk merelakan pajak natura yang telah dibayarkan.

“Secara pragmatis dan berdasarkan pilihan yang paling rasional, wajib pajak yang sudah menghitung PPh 21 atas natura sesuai UU HPP dan PP No. 55/2023 mengikhlaskan kelebihan bayar,” katanya kepada Bisnis.

Menurutnya, situasi seperti itu amat memungkinkan karena tidak melahirkan kerumitan dari sisi administrasi. Fiskus pun bisa berdalih bahwa secara regulasi UU HPP dan PP No. 55/2023 natura tersebut sudah terutang pajak.

Hal berbeda apabila wajib pajak mengajukan restitusi yang menimbulkan kerumitan, tak hanya bagi wajib pajak bersangkutan juga para fiskus. Musababnya, restitusi harus disertai dengan proses pemeriksaan yang berbelit.

Inilah yang menurut Prianto menjadi dasar bagi pemerintah untuk meminta keikhlasan wajib pajak. “Jadi tidak ada restitusi,” ujarnya.

Pengamat Pajak DDTC Bawono Kristiaji, mengatakan PMK pajak natura menciptakan ketidakpastian karena UU HPP dan PP No, 55/2022 telah mengamanatkan implementasinya sejak 2022 melalui mekanisme self assessment.

Dalam kaitan ini, menurutnya ada isu administrasi yang perlu diperjelas untuk menciptakan keadilan dan kepastian bagi wajib pajak. “Memang yang menjadi persoalan adalah waktu pemberlakuan,” katanya. Sekadar informasi, nilai yang dijadikan acuan untuk menentukan dasar dikenakannya pajak natura adalah harga berdasarkan nilai pasar, atau jumlah biaya yang dikeluarkan pihak pemberi.

Penentuan jumlah pajak yang harus dibayar mengacu pada penghasilan dalam bentuk natura ditambahkan dengan penghasilan lainnya, lalu dikalikan tarif yang berlaku untuk PPh 21. Besaran tarif pun bergantung pada jumlah penghasilan yang diterima oleh wajib pajak, yakni berkisar 5%—35%.

Sudah pasti skema pajak natura akan meningkatkan penerimaan negara yang bermuara pada penyehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

Namun, ketentuan itu mengabaikan esensi dari pengenaan pajak atas kenikmatan, yakni terciptanya keadilan pajak. Inilah yang kemudian perlu segera direspons untuk menjaga kredibilitas fiskus di Tanah Air. (Dionisio Damara)