12 Desember 2023 | 5 months ago

Hitung Mundur Eksekusi Pajak Rokok Elektrik

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Butuh 7 tahun bagi pemerintah untuk menciptakan kesetaraan perlakuan perpajakan, utamanya soal pengenaan cukai hasil tembakau (CHT), antara rokok konvensional dengan rokok elektrik.

Perlakuan yang dimaksud adalah pengenaan pajak atas rokok elektrik atau vape yang rencananya akan dikenakan pada tahun depan.

Sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas fiskal mengatakan, Kementerian Keuangan telah menyelesaikan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) soal pengenaan pajak untuk rokok elektrik.

Saat ini, aturan tersebut telah selesai diharmonisasi dan tinggal menunggu penandatanganan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

"Sudah selesai, tinggal ditandatangani Menteri Keuangan. Ini pungutannya akan berlaku pada 2024," kata sumber Bisnis, Senin (11/12).

Adapun, besaran tarif pajak rokok elektrik yang dikenakan sebesar 10% dari tarif cukai yang berlaku, alias sama dengan pajak rokok konvensional.

Hanya saja, ada sedikit polemik dalam penyusunan mekanisme pajak rokok elektrik tersebut, yakni tidak adanya keterlibatan pelaku industri dalam penentuan tarif ataupun mekanisme pemungutan.

Inilah kemudian yang dikhawatirkan bisa memicu kegaduhan di kalangan produsen, yang pada gilirannya merembet ke konsumen.

Musababnya, dikenakannya pajak atas rokok elektrik secara otomatis turut mengatrol harga jual di pasaran sehingga beban pungutan tersebut akan dilimpahkan ke konsumen.

"Mungkin nanti sosialisasinya yang akan dimasifkan," kata sumber Bisnis.

Sekadar informasi, pajak rokok merupakan pajak provinsi yang pemungutannya dilakukan oleh Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan bersamaan dengan pemungutan cukai atas rokok.

Selanjutnya, dana yang diperoleh dari pungutan tersebut dibagikan kepada seluruh provinsi di Indonesia sesuai dengan proporsi jumlah penduduk masing-masing daerah.

Akan tetapi, domain dari pajak rokok ada pada Ditjen Perimbangan Keuangan Kementerian Ke­uang­an. Dalam konteks ini, Dirjen Perimbangan Keuangan Luky Alfirman tidak menjawab pertanyaan yang disampaikan Bisnis.

Sementara itu, salah seorang pejabat di Kementerian Keuangan mengatakan pengenaan pajak rokok ini merupakan upaya bagi pemerintah untuk menciptakan kesetaraan antara seluruh pelaku industri tembakau.

Sejatinya, pengenaan pajak atas rokok elektronik di Indonesia terbilang cukup terlambat. Sebab, pemerintah telah mengenaiakn cukai atas rokok elektrik atau vape sejak 2018 silam.

Pada awalnya, pengenaan cukai vape akan dieksekusi pada 1 Juli 2018. Namun karena dinamika yang kurang kondusif implementasinya pun diundur pada 1 Oktober 2023 dengan tarif sebesar 57%.

Bisnis mencatat, dalam kajian yang dilakukan oleh Kementerian keuangan, potensi penjualan hasil produk tembakau lainnya (HPTL) yang salah satunya termasuk vape bisa mencapai Rp5 triliun—Rp6 triliun per tahun.

Mengacu pada data tersebut, dengan asumsi pengenaan tarif sebesar 57% maka potensi penerimaan cukai berada pada kisaran Rp2 triliun—Rp3 triliun per tahun.

Namun faktanya tidak demikian. Pada 2018, realisasi cukai HPTL hanya Rp99 miliar, dan pada warsa berikutnya senilai Rp427 miliar, sementara pada 2020 senilai Rp680 miliar.

Adapun pada 2021 tercatat senilai Rp629,3 miliar dan pada tahun lalu senilai Ro1,02 triliun. Artinya, masih ada banyak potensi cukai yang belum tergali.

Sejalan dengan terbatasnya penerimaan cukai rokok elektrik tersebut, maka terbatas pula setoran pajak rokok yang anggarannya dinikmati oleh pemerintah daerah (pemda).

Padahal, pajak rokok merupakan salah satu pajak daerah dengan alokasi untuk pemerintah provinsi sebesar 30% dan pemerintah kabupaten/kota sebesar 70%.

Sementara itu, mengacu pada Keputusan Dirjen Perimbangan Keuangan No. KEP-58/PK/2023 tentang Proporsi dan Estimasi Penerimaan Pajak Rokok untuk Masing-Masing Provinsi Tahun Anggaran 2024, proyeksi pajak rokok pada tahun depan mencapai Rp22,81 triliun.

Hanya saja, regulasi tersebut masih belum mengakomodasi pajak rokok elektrik, alias hanya menghimpun pungutan atas penjualan rokok konvensional.

Sementara itu, sebagaimana rokok konvensional, tarif cukai untuk rokok elektrik juga akan naik pada tahun depan, mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 192/PMK.010/2022 tentang Perubahan atas PMK No. 193/PMK.010/2021 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Rokok Elektrik dan Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya.

"Tarif cukai rokok elektrik mengacu pada PMK yang lama [PMK No. 192/2022," kata Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto kepada Bisnis.

Berpijak pada regulasi itu, untuk 2023 tarif cukai untuk rokok elektrik padat ditetapkan senilai Rp2.886 per gram, rokok elektrik cair sistem terbuka Rp532 per mililiter, dan rokok elektrik cair sistem tertutup senilai Rp6.392 per mililiter.

Adapun untuk tahun depan, mengacu pada beleid tersebut tarif cukai rokok elektrik padat ditetapkan Rp3.074 per gram, tarif rokok elektrik cair sistem terbuka Rp636 per mililiter, dan tarif cukai rokok elektrik cair sistem tertutup Rp6.776 per mililiter.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, memandang dikenakannya pajak rokok akan menambah kapasitas fiskal daerah karena pungutan itu masuk ke dalam komponen pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).

Selain itu, kebijakan tersebut juga akan memperluas basis pajak di level daerah sehingga ada potensi bertambahnya penerimaan asli daerah (PAD).

"Tentu ini akan menguatkan fiskal daerah karena ada basis pajak yang bertambah dan penerimaan juga bertambah," katanya.

Di satu sisi pemda memang diuntungkan dengan adanya pajak rokok elektrik. Namun di lain sisi, pemda juga tak bisa berbuat banyak lantaran pajak rokok termasuk ke dalam anggaran yang telah ditentukan peruntukannya.

Sejak diberlakukan pada 1 Januari 2014, penerimaan dari pajak rokok wajib dialokasikan untuk pendanaan fungsi pelayanan kesehatan masyarakat serta meningkatkan PAD.

Penerimaan pajak rokok baik di level provinsi maupun kabupaten/kota dialokasikan minimal 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan dan penegakan hukum.

Secara konkret, pelayanan kesehatan yang dimaksud adalah Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Inilah kemudian yang membatasi ruang gerak pemda lantaran tidak semuanya penerimaan dari pajak rokok masuk sebagai kas daerah.

"Itu kelemahannya, jadi pemda juga terimpit karena ada penentuan peruntukannya itu," kata Armand.

Memang, kebijakan baru soal pajak rokok elektrik tidak sepenuhnya menjadi angin segar bagi pemangku kebijakan di level daerah karena pemerintah pusat tetap memiliki kendali atas penggunaan dana tersebut.

Namun dari kacamata bisnis, meskipun sangat terlambat, setidaknya ketentuan ini memberikan keadilan bagi produsen hasil tembakau di semua golongan sehingga tidak ada kesan pilih kasih.