13 Desember 2023 | 5 months ago

Cekak Target Rasio Pajak

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Target sasaran rasio pajak terus menyusut. Pelemahan harga komoditas sumber daya alam (SDA), ancaman inflasi, hingga prospek penerimaan cukai menjadi faktor yang mendukung moderasi target rasio pajak tahun depan.

Mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020—2024, target rasio pajak pada 202 disasar cukup ambisius yakni 10,7%—12,3% terhadap produk domestik bruto (PDB).

Akan tetapi, dalam Perpres No. 52/2023 tentang Rencana Kerja Pemeirntah (RKP) Tahun 2024 yang diundangkan 6 September 2023, rasio pajak tahun depan hanya ditargetkan 10,0%—10,2%.

Adapun, dalam Laporan Tahunan Ditjen Pajak yang terbit beberapa waktu lalu, rasio pajak tahun depan diestimasi hanya 8,59%—9,55%.

Pemerintah pun tak memungkiri bahwa beragam aral masih mengganjal roda ekonomi pada tahun depan. Mulai dari perlambatan ekonomi global, suku bunga tinggi, pelemahan harga komoditas, hingga faktor geopolitik yang menimbulkan disrupsi dan tekanan inflasi.

Di sisi lain, Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 diyakini bakal memacu konsumsi di dalam negeri sehingga bakal mengakselerasi laju produk domestik bruto (PDB). Persoalannya, ada banyak fasilitas pembebasan dalam aktivitas konsumsi masyarakat sehingga gemuknya PDB tidak selalu linier dengan rasio pajak.

Dalam kaitan ini, sejumlah pejabat di Kementerian Keuangan dan otoritas pajak yang dihubungi Bisnis tidak bersedia memberikan tanggapan mengenai tantangan dan peluang dalam memacu rasio pajak pada tahun depan.

Namun, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, tak memungkiri aneka kendala di atas menjadi faktor yang memengaruhi penerimaan negara tahun depan.

Terlebih di sektor bea dan cukai yang juga menghadapi kendala. Di antaranya downtrading konsumsi rokok ke golongan yang lebih murah, serta pelarangan ekspor mineral pada Juni 2024.

Meski demikian, Nirwala optimistis target 2024 senilai Rp321 triliun akan tercapai sejalan dengan peningkatan daya beli dan perbaikan daya saing ekspor nasional.

"Penerimaan bea dan cukai sangat dipengaruhi faktor ekonomi dan industri. Namun, kami optimistis mencapai target," katanya kepada Bisnis, Selasa (12/12).

Peluang untuk memacu rasio pajak makin berat lantaran otoritas fiskal menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2023 tentang Perubahan atas PMK No. 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak bagi Wajib Pajak Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah.

Sejalan dengan diundangkannya beleid tersebut pada 12 Desember 2023, maka implementasi penuh Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) mundur dari 1 Januari 2024 menjadi 1 Juli 2024.

Hal ini bakal menghambat perluasan basis pajak dan upaya untuk memerangi praktik penghindaran pajak. Tak pelak, pencapaian target 2024 makin menantang.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti, mengatakan penundaan itu disebabkan oleh penyesuaian jadwal implementasi sistem inti perpajakan alias Coretax Administration System (CTAS).

Selain itu, pemerintah juga memberikan kesempatan kepada pihak terkait untuk menyiapkan sistem aplikasi dan melakukan pengujian sistem baru tersebut.

"Dengan adanya pengaturan kembali ini, maka NPWP 15 digit masih dapat digunakan sampai dengan 30 Juni 2024, sementara NPWP 16 digit digunakan terbatas," katanya.

Sementara itu, kalangan pemerhati pajak menyarankan pemerintah untuk membuat gebrakan agar rasio pajak dapat menanjak di tengah ketidakpastian ekonomi.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto, mengatakan RPJMN tidak bisa lagi dijadikan tolok ukur mengingat target itu dibuat berdasarkan asumsi-asumsi yang ditetapkan pada 2020.

Idealnya pemerintah memasang target lebih tinggi yakni di atas 10%, mengingat pada 2022 rasio pajak 10,39% dengan dibarengi upaya yang kongkret dalam menjaga tren penerimaan. Di antaranya menjaga daya beli masyarakat, optimalisasi pemberian insentif, serta memaksimalkan sumber atau basis pajak baru. "Misalnya sektor informal atau kegiatan shadow economy," ujarnya.

Direktur Program Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, memandang kunci dari akselerasi rasio pajak ada pada implementasi identitas tunggal wajib pajak. (Annasa R. Kamalina/Maria Elena)