13 Desember 2023 | 5 months ago

Menyoal Potensi Pajak Yang Tak Terpungut

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Fiskus tampaknya perlu bekerja ekstra keras untuk mendulang penerimaan atas transaksi dari aktivitas konsumsi masyarakat. Musababnya, potensi pajak yang tidak terpungut amat besar, meski pertumbuhan konsumsi rumah tangga telah menggeliat.

Memang, pemangku kebijakan masih bisa berdalih bahwa terbatasnya realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dibandingkan dengan potensi disebabkan oleh banyaknya fasilitas pengecualian dalam pajak konsumsi.

Akan tetapi, amat naif apabila menjadikan fasilitas pengecualian atau pembebasan menjadi satusatunya faktor yang membatasi daya pungut negara atas pajak konsumsi masyarakat.

Apalagi melihat perbandingan antara konsumsi rumah tangga dengan realisasi setoran pajak konsumsi, baik PPN maupun pajak penjualan atas barang mewah alias PPnBM.

Berpijak pada data Badan Pusat Statistik (BPS), konsumsi rumah tangga pada kuartal III/2023 tercatat mencapai Rp2.787 triliun. Dengan tarif PPN sebesar 11%, maka potensi pajak dari konsumsi tersebut mencapai Rp306,57 triliun.

Faktanya, sepanjang Juli—September 2023, penerimaan PPN hanya Rp179,96 triliun, sehingga daya pungut yang tecermin dalam value added tax (VAT) gross collection ratio hanya 58,7%.

Data tersebut menggambarkan, pemerintah pada kuartal III/2023 hanya mampu memungut 58,7% dari total potensi pajak atas konsumsi. Artinya, hampir separuh dari total potensi pajak tidak dapat dipungut.

Ada faktor pengecualian dalam komponen pajak yang tidak terpungut itu. Namun, amat sulit merasionalisasi dalih tersebut karena sejatinya tidak semua barang dan jasa mendapatkan fasilitas dari pemangku kebijakan.

Bisnis mencatat, dalam beberapa kuartal terakhir VAT gross collection ratio seolah mentok di kisaran 50%. Pada kuartal II/2023 misalnya yang tercatat hanya 55,81%. Padahal, pada tahun lalu daya pungut pajak atas konsumsi bisa mencapai kisaran 60%—70%.

Dengan kata lain, pemerintah pun perlu melakukan aksi yang makin cekatan guna mengoptimalisasi potensi pajak atas konsumsi masyarakat.

Terlebih, fasilitas pembebasan, pengecualian, PPN tidak dipungut, atau istilah lainnya apapun hanya menyasar sektor strategis, di antaranya bahan pokok dan pendidikan.

Pemerintah pun sejatinya memiliki banyak cangkul yang bisa digunakan untuk menggali potensi penerimaan dari aktivitas konsumsi barang dan jasa masyarakat. Misalnya, memperbanyak perusahaan penyedia perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE) lokal.

Kalangan pemerhati pajak pun memandang ada dua faktor yang menyebabkan terbatasnya VAT gross collection ratio di Indonesia. Pertama, ketidaksinkronan regulasi yakni UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Musababnya, regulasi itu memuat perluasan objek PPN sehingga berpotensi menambah penerimaan negara. Namun di sisi lain, sebagian objek PPN mendapatkan fasilitas pembebasan.

Kedua, kondisi ekonomi terkini yang diwarnai dengan lesatan inflasi sejak pengujung tahun lalu, sehingga memengaruhi pola konsumsi masyarakat dan menahan akselerasi setoran PPN.

Ketiga, terbatasnya radar pemangku kebijakan dalam merespons peralihan pola konsumsi masyarakat yang dalam beberapa tahun terakhir amat agresif melalui daring.

“Seberapa besar dampak pengecualian/pembebasan PPN pada optimalisasi VAT gross collection ratio, pengaruhnya cukup besar,” kata Direktur Eksekutif PratamaKreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono, kepada Bisnis, Selasa (12/12).

Dia menambahkan, dalam kajian teoritis pembebasan PPN terhadap barang atau jasa memiliki pengaruh yang teramat besar terhadap realisasi penerimaan maupun VAT gross collection ratio.

Hal itu tecermin dalam penelitian berjudul Value Added Tax: Onward and Upward?bertahun 2010 yang dilakukan oleh Jorge MartinezVazquez dan Richard M. Bird masingmasing merupakan profesor di Georgia State University dan University of Toronto.

Dalam penelitian tersebut, setiap 1% fasilitas pembebasan atau pengecualian atas PPN terhadap suatu barang dan jasa, maka akan menurunkan VAT gross collection ratio 4,5%.

Peluang bagi pemerintah untuk kembali memacu VAT gross collection ratio bakal makin menantang mengingat prospek konsumsi rumah tangga yang kembali sedikit gelap. Pemicunya adalah momentum akhir tahun yang secara historis mengatrol inflasi sehingga menekan daya beli masyarakat.

Apalagi, pada saat ini situasi infl asi tidak sepenuhnya sehat karena adanya gejolak pada harga komoditas pangan strategis serta produk berbahan baku impor. Kondisi itu pun diestimasi berlanjut pada tahun depan. Meski ada momentum Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, konsumsi rumah tangga masih dalam persimpangan karena ketidakpastian global yang kembali melahirkan kecemasan soal lesatan inflasi.

“Konsumsi rumah tangga relatif stabil cenderung melemah marjinal,” kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (Core) Indonesia Mohammad Faisal.

PERUBAHAN POLA

Di sisi lain, peralihan pola konsumsi dari luring menjadi daring juga butuh respons sigap pemangku kebijakan agar setiap transaksi bisa dikenai pajak, sehingga negara tak kehilangan potensi.

Terlebih, Plt. Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, tak menampik bahwa saat ini terjadi perubahan pola konsumsi masyarakat akibat perubahan teknologi.

Perubahan turut dipengaruhi oleh berubahnya pendapatan masyarakat, perubahan pola penawaran barang dan jasa, perubahan kualitas dan kuantitas barang/jasa, serta perubahan perilaku masyarakat.

“Kemajuan teknologi telah mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha berbasis digital,” katanya.

Dalam koneks perkembangan digital, otoritas pajak pun cukup agresif melakukan penunjukan penyelenggara PMSE sehingga setiap transaksi tak luput dari radar pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keungan Dwi Astuti mengatakan, sampai dengan 31 Oktober 2023, pemerintah telah mengumpulkan PPN PMSE senilai Rp15,68 triliun.

Sementara itu, pelaku usaha PMSE yang telah ditunjuk menjadi pemungut PPN berjumlah 161 perusahaan.

“Pemerintah masih akan menunjuk pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia,” katanya.

Penunjukan ratusan perusahaan untuk mengamankan penerimaan PPN memang patut diapresiasi. Akan tetapi yang tak boleh dilupakan adalah kerja ekstra maupun evaluasi komperehensif atas skema pajak atas konsumsi agar potensi yang hilang bisa terus ditekan.

Memang, VAT gross collection ratio hampir mustahil mencapai 100%. Namun setidaknya, daya pungut pemerintah bisa lebih tinggi dan tak hanya berkutat di angka 50%. (Annasa R. Kamalina/Maria Elena)