14 Desember 2023 | 5 months ago

Kado Insentif Akhir Tahun

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Menjelang pergantian warsa, pemerintah makin royal memberikan diskon pajak kepada dunia usaha. Setelah memberikan keringanan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sektor properti, kini giliran diskon Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) disajikan kepada pelaku usaha.

Diskon pajak pun cukup besar, yakni mencapai maksimal 75% dan 100% bergantung pada profil dari wajib pajak. Sektor penerima fasilitas itu pun makin beragam dibandingkan dengan sebelumnya.

Melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 129/2023 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan yang diundangkan 30 November 2023, pemerintah menetapkan lima lini bisnis yang berhak mengajukan diskon.

Kelimanya yaitu perkebunan, perhutanan yang menyangkut hutan alam dan hutan tanaman, pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan untuk pengusahaan panas bumi, serta pertambangan mineral atau batu bara.

Di luar itu, sektor lain yang bisa mendapatkan diskon adalah lini usaha selain perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan yang terdapat hasil produksi.

Kriteria pebisnis itu lebih detail dibandingkan dengan beleid sebelumnya yakni PMK No. 82/PMK.03/2017 yang hanya mencakup perkebunan, perhutanan, pertambangan, dan sektor lain.

Adapun, syarat bagi perusahaan yang bisa mengakses fasilitas tersebut adalah mencatatkan kerugian komersial dan kesulitan likuiditas selama dua tahun berturutturut.

Ada pula faktor bencana alam dan peristiwa luar biasa nonalam yang juga dijadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk memberikan diskon PBB tersebut.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti, mengatakan PMK No. 129/2023 disusun dalam rangka menciptakan kepastian hukum sehingga memberikan daya rangsang terhadap dunia usaha.

"Ini untuk lebih memberikan kepastian hukum serta meningkatkan tata kelola administrasi, kemudahan, dan pelayanan dalam pengurangan PBB," katanya kepada Bisnis, Rabu (13/12).

Jika dicermati, pemberian diskon untuk sektorsektor strategis itu memang cukup krusial lantaran daya dorongnya yang besar terhadap produk domestik bruto (PDB).

Sektor kehutanan misalnya, distribusi terhadap PDB mencapai 13%, sedangkan pertambangan di angka 10%. Dengan demikian, diskon pajak itu digadang-gadang dapat menjaga laju ekonomi tetap tinggi.

Akan tetapi dalam kaitan dengan fiskal, beberapa sektor itu tidak secara maksimal berkontribusi pada penerimaan pajak, yang salah satunya disebabkan skema Pajak Penghasilan (PPh) Final.

Tercatat hanya pertambangan yang memberikan sumbangsih lumayan terhadap penerimaan pajak yakni 10% per Oktober 2023. Namun, sektor ini amat bergantung pada harga komoditas di pasar global.

Selain itu, diskon PBB hingga 100% juga bakal memengaruhi posisi belanja perpajakan pemerintah. "Nilainya belum dihitung sampai adanya pengurangan [pajak] yang diajukan," kata Dwi.

Terlepas adanya untung rugi dalam kebijakan tersebut, hal yang pasti pemberian stimulus fiskal itu tetap memberikan angin segar bagi pelaku usaha.

Terlebih, saat ini pemerintah memiliki misi utama untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi jelang tahun transisi kepemimpinan yang berbarengan dengan meningkatnya ketidakpastian global.

Apalagi, World Bank dalam Indonesia Economic Prospects Desember 2023yang dirilis kemarin, memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2024 dan 2025 hanya di angka 4,9%.

MITIGASI RISIKO

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W. Kamdani, pun mengapresiasi pemerintah atas terbitnya regulasi baru tersebut.

Menurutnya, beleid itu menunjukkan bahwa pemangku kebijakan telah memiliki mitigasi risiko tatkala terjadi guncangan di luar dugaan sehingga mengancam arah panah ekonomi nasional.

Hal itu tecermin dari adanya ketentuan pemberian pengurangan PBB yang mengacu pada bencana alam serta sebab lain yang luar biasa.

"Insentif tersebut memang diperlukan karena kondisi wajib pajak yang memang tidak memungkinkan untuk memenuhi kewajibannya," ujarnya.

Sementara itu, kalangan ekonom dan pemerhati pajak memandang insentif ini tidak akan memberikan efek signifikan terhadap porsi belanja perpajakan. Justru, hal ini berpeluang memacu ekonomi karena kontribusi sektor penerima yang besar terhadap PDB.

Menurut Direktur Eksekutif PratamaKreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, efek ke ruang fiskal pun relatif terbatas.

Pasalnya, mengacu pada data Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, dari estimasi belanja perpajakan pada 2024 senilai Rp374,5 triliun, alokasi untuk PBB hanya Rp0,03 triliun.

Adapun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, target penerimaan PBB hanya Rp27,18 triliun, sedangkan angka sasaran pajak secara total mencapai Rp1.988,87 triliun.

Dia menambahkan, ada beberapa sektor yang memiliki elastisitas positif antara pertumbuhan ekonomi dan penerimaan pajak, salah satunya pertambangan. "Dengan demikian, pemerintah memang perlu menjaga iklim bisnis di sektor tersebut," katanya.

Direktur Program Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti, menambahkan pemerintah memang perlu memberikan dukungan fiskal kepada dunia usaha untuk memacu ekonomi.

Namun di sisi lain otoritas fiskal juga wajib terus menggali potensi penerimaan dari sektor penerima insentif tersebut. (Annasa R. Kamalina/Maria Elena/Nyoman Ary Wahyudi)