18 Desember 2023 | 5 months ago

Nihil Serapan di Kawasan Industri

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Ambisi pemerintah untuk memacu industrialisasi masih saja menguap. Beragam kemudahan dan obral diskon pun sejauh ini tak punya taji untuk memompa mesin manufaktur agar berderu lebih kencang.

Hal itu terefleksi dari nihilnya pe­­manfaatan in­sentif atau fa­silitas Pajak Penghasilan (PPh) untuk menopang aktivitas industri, baik dari sisi investasi maupun penyerapan tenaga kerja.

Laporan Belanja Perpajakan 2022, yang dirilis pekan lalu pun menggambarkan bahwa fasilitas tax holiday, tax allowance, hingga investment allowance masih tak cukup manis bagi pelaku industri.

Pertama, tax holiday Kawasan Industri yang sejak 2019 hingga detik ini masih belum dimanfaatkan. Celakanya, pemerintah juga mengestimasi hingga 2025 stimulus ini tak ada pemanfaatan.

Kedua, tax allowance Kawas­an Industri yang juga tak lebih baik, alias masih nihil sejak 2019 dan diestimasi sama sampai dengan 2025. Ketiga, tax allowance di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu yang senasib.

Keempat, investment allowance untuk industri padat karya tertentu. Meskipun memberikan tambahan pengurangan penghasilan neto, fasilitas ini sama sekali tak dilirik.

Tentu data itu menjadi pukulan telak bagi pemerintah di tengah upaya untuk memacu kon­tribusi industri dalam komponen produk domestik bruto (PDB).

Tak pelak, Indonesia pun bakal kelimpungan untuk beranjak dari kubangan deindustrialisasi alias tergerusnya porsi manufaktur dalam PDB.

Pemerintah pun sejatinya menyadari betul adanya keterbatasan serapan belanja perpajakan untuk beberapa sektor ini dan konsekuensi yang ditimbulkan.

Apabila belanja perpajakan tak terserap, maka bisa menggambarkan tidak adanya ekspansi di kawasan tertentu, sehingga penyerapan tenaga kerja pun makin terbatas.

“Kami mendorong partisipasi aktif dalam pengawasan pemanfaatan berbagai insentif perpajakan yang diberikan pemerintah, sehingga dapat bersama-sama memastikan efektivitas kebijakan ini”, kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, pekan lalu.

Sesungguhnya, dukungan negara untuk dunia usaha memang tak bisa dianggap remeh. Sejak 2019, setiap tahun belanja perpajakan yang ditujukan untuk meningkatkan iklim investasi, serta dukungan dunia bisnis terus mencatatkan peningkatan.

Sayangnya, peningkatan itu hanya terjadi untuk fasilitas yang berbentuk keringanan PPh Badan atau PPh Final yang diberikan kepada sektor tertentu.

Tak bisa dimungkiri, fasilitas itu pun cukup membantu dunia usaha dalam menjalankan operasional bisnis. Akan tetapi, jenis insentif itu hanya menyentuh korporasi saja, belum menyenggol aspek tenaga kerja.

Atas dasar itulah, kalangan ekonom menyarankan pemerintah untuk melakukan evaluasi atas efektivitas belanja perpajakan yang dikeluarkan kepada sektor usaha tertentu.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet mengatakan, evaluasi selayaknya dilakukan atas belanja perpajakan yang dinikmati oleh manufaktur atau industri pengolahan.

Dalam konteks ini, insentif diberikan dengan harapan mendorong proses reindustrialisasi. Namun faktanya, dalam beberapa tahun terakhir terjadi erosi atas kontribusi industri ke pertumbuhan ekonomi.

Menurutnya, hal ini menandakan bahwa insentif fiskal bukan menjadi satu-satunya stimulus yang diharapkan pemodal untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

“Pemerintah bisa mengecualikan pemberian insentif pajak sektor ini secara bertahap, dan mendorong pemberian insentif dalam bentuk lain,” katanya kepada Bisnis.

Klasterisasi penerima insentif memang wajib disusun dalam rangka menciptakan keseimbangan antara sektor penerima fasilitas dan output, serta kontribusinya kepada penerimaan negara.

Studi kasus seperti itu bisa pula dijadikan acuan bagi pemangku kebijakan untuk menyusun klasterisasi. Salah satunya dengan memfokuskan fasilitas fiskal untuk sektor yang memiliki kontribusi tinggi pada PDB dan pajak. Dalam kaitan ini, industri pengolahan dan perdagangan menjadi yang utama.

Investasi pada manufaktur pun akan meningkatkan ekspansi, baik dalam bentuk penanaman modal baru maupun investasi tambahan. Adapun, pemanis bagi perdagangan bertujuan menjaga performa ekspor yang juga menjadi pemantik mesin ekonomi.

“Insentif itu menjadi instrumen fiskal. Tujuannya agar perekonomian pulih dan menggeliat. Pada gilirannya, efek domino akan terjadi,” kata Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono.

Evaluasi insentif memang amat mendesak. Pengkajian ulang bisa dilakukan atas sasaran, maupun bentuk stimulus yang diberikan kepada dunia usaha.

Hal yang pasti, fasilitas untuk industri patut dipertahankan dalam rangka menambah daya dorong ke pertumbuhan ekonomi sembari menaikkan penghasilan masyarakat melalui perekrutan tenaga kerja.

Hanya improvisasi yang perlu kembali dilakukan agar setiap instrumen yang disediakan negara terserap dengan optimal, dan melahirkan efek berganda besar bagi perekonomian na­sional.