19 Desember 2023 | 4 months ago

Menuju Normalisasi Tax Buoyancy

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Fiskus berhasil mencatatkan performa ciamik pada tahun ini. Terbukti, untuk ketiga kalinya penerimaan pajak melampaui target, bahkan sebelum tahun berakhir. Namun, ada catatan penting yang tak boleh diabaikan, yakni merosotnya elastisitas penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto alias tax buoyancy.

Tax buoyancy menjadi salah satu indikator yang memotret kesuksesan pemangku kebijakan dalam mewujudkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) dengan laju penerimaan pajak.

Dalam kondisi normal, idealnya tax buoyancy adalah 1, yang menandakan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan penerimaan pajak yang juga sebesar 1%.

Dalam beberapa tahun terakhir, memang tax buoyancy cukup positif, yakni hampir menyentuh 2, kecuali pada 2020 ketika terjadi resesi akibat pandemi Covid-19.

Catatan Kementerian Keuangan, tax buoyancy pada 2021 sebesar 1,94, sementara pada tahun lalu di angka 1,92. 

Harus diakui, angka tersebut cukup memuaskan. Apalagi, tax buoyancy yang dihitung otoritas fiskal mengesampingkan penerimaan pajak hasil Program Pengungkapan Sukarela (PPS) alias Tax Amnesty Jilid II.

Sayangnya, pada tahun ini, outlook tax buoyancy terpangkas habis, yakni hanya 1,26. Angka tersebut bahkan jauh lebih rendah dibandingkan dengan 2018 yang kala itu mencapai 1,53.

Makin rendah tax buoyancy, makin terbatas pula kans negara untuk memacu rasio pajak alias tax ratio. Inilah kemudian yang menjadi persoalan.

Memang, outlook sebesar 1,53 tidak bisa dibilang buruk karena artinya setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan 1,53% penerimaan pajak.

Persoalannya, pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun berkutat di angka 5%. Pada tahun ini pun, menurut estimasi pemerintah, laju PDB sekitar 5%—5,1%, relatif tak beranjak dibandingkan dengan 2022 yang sebesar 5,3%.

Dengan kata lain, kinerja pajaklah yang menghadapi persoalan. Beberapa faktor pun menguatkan asumsi tersebut, yang juga diakui oleh pemangku kebijakan.

Misalnya, soal moderasi harga komoditas yang memukul setoran negara. Pajak penghasilan (PPh) migas per 12 Desember 2023 turun 11,85% dibandingkan dengan tahun lalu menjadi Rp64,36 triliun.

PPh migas juga menjadi satu-satunya jenis pajak utama yang mencatatkan penurunan dalam realisasi sementara Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

Penekan setoran pajak lain adalah lesunya aktivitas manufaktur nasional, tecermin dari terbabatnya pertumbuhan penerimaan dari PPh 22 impor dan pajak pertambahan nilai (PPN) impor.

“Ini terkontraksi sejalan dengan penurunan nilai impor, baik komoditas migas maupun nonmigas,” tulis pemerintah dalam laporan realisasi APBN 2023 per 12 Desember.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan laporan realisasi APBN 2023 akhir pekan lalu, dengan mantap meyakini rasio pajak bakal menanjak.

Menurutnya, dengan tax buoyancy di atas 1, maka rasio pajak berpeluang lebih tinggi. “Jadi, kita berharap momentum ini bisa mengejar tax ratio sebab saat ini, bouyancy sering disorot,” katanya.

Sekadar informasi, tax buoyancy adalah skema perpajakan yang difungsikan untuk menakar elastisitas antara penerimaan pajak dengan PDB.

Secara historis, rata-rata level tax buoyancy di Tanah Air berada pada kisaran 0,8. Artinya, setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional, penerimaan pajak hanya naik sebesar 0,8%. Dengan demikian, dalam kondisi ekonomi normal setoran pajak tidak elastis.

Kabar sedap sempat mencuat ketika pemerintah berhasil mencatatkan tax buoyancy jauh lebih tinggi dari angka historis, yakni sebesar 2,04 pada 2021 dan 2,08 pada tahun lalu, dengan turut mengakomodasi penerimaan pajak dari PPS.

Tax bouyancy juga sempat menjulang pada 2020. Akan tetapi, tingginya elastisitas penerimaan pajak pada periode krisis adalah sesuatu yang normal.

FAKTOR KRISIS

Musababnya, ketika krisis ekonomi, tax buoyancy dipastikan melemah sehingga mengakibatkan terjadinya kontraksi penerimaan pajak.

Di sisi lain, pemerintah pun memberikan banyak relaksasi atau insentif pajak sebagai respons dari dinamika krisis tersebut.

Tak pelak, penurunan penerimaan pajak selama pandemi Covid-19 jauh lebih parah dibandingkan dengan penggerusan PDB.

Direktur Program Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti memandang elastisitas penerimaan pajak dengan PDB memang sulit diakselerasi.

Kondisi itulah yang kemudian juga membatasi rasio pajak di dalam negeri. Terlebih, sistem perpajakan nasional masih butuh penyempurnaan, baik dari sisi administrasi maupun pengawasan.

“Saat ini rasio pajak berkisar 8%—9%. Kalau pertumbuhan ekonomi meningkat minimal 5%, maka rasio pajak tetap. Itu sudah bagus,” katanya kepada Bisnis, Senin (18/12).

Menurutnya, kunci dari akselerasi rasio pajak ada pada identitas tunggal wajib pajak. Dengan ditundanya implementasi nomor induk kependudukan (NIK) sebagai nomor pokok wajib pajak (NPWP), maka peluang untuk menggali penerimaan serta mendeteksi shadow economy makin berat.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, mengatakan idealnya ketika ekonomi berada di kondisi krisis, tertekanan, atau dalam masa pemulihan seperti 2020—2022, tax buoyancy tidak terlalu tinggi.

Tax buoyancy yang tinggi pada saat ekonomi normal menunjukkan hal bagus. Akan tetapi, jika tax buoyancy tinggi saat krisis, kondisi demikian tidak selalu mencerminkan fiskal yang bagus,” jelasnya.

Sesungguhnya, tax buoyancy sangatlah penting dalam rangka mewujudkan penerimaan perpajakan yang berkelanjutan seiring dengan tumbuhnya ekonomi.

Kondisi tersebut memiliki kaitan erat dengan relatif tingginya shadow economy dan belum maksimalnya tingkat kepatuhan wajib pajak.

Sementara itu, faktor yang juga menjadi akar persoalan dari terbatasnya elastisitas penerimaan pajak adalah adanya mismatch antara sektor yang mencatatkan pertumbuhan PDB tinggi dengan sektor yang penerimaan pajaknya tinggi.

Artinya, pertumbuhan PDB dari sektor-sektor yang kontribusi penerimaan pajaknya tinggi mencatatkan penurunan kinerja dalam kontribusinya ke PDB.

Misalnya, sektor pertanian yang memiliki kontribusi relatif besar bagi PDB, penerimaan pajaknya relatif kecil karena upah tenaga kerja sektor yang berada di bawah bawah penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dan cenderung lekat dengan shadow economy.

Pemerintah pun berulang kali menyampaikan bahwa seyogianya pertumbuhan ekonomi dengan penerimaan perpajakan memiliki hubungan kuat, yang ditunjukkan melalui indikator tax buoyancy.

Artinya, nominal pertumbuhan ekonomi harus identik dengan pertumbuhan penerimaan pajak. Apalagi, tax buoyancy merefleksikan potensi untuk mengoptimalkan penerimaan perpajakan dari kegiatan ekonomi.