20 Desember 2023 | 4 months ago

Dilema Fasilitas PPh di Kawasan Ekonomi Khusus

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Pemerintah berada dalam posisi dilema. Mencabut insentif sebagai bagian dari evaluasi pemberian fasilitas di kawasan khusus tak cukup mudah dilakukan. Ada konsekuensi berat yang menanti pada masa mendatang.

Dicabutnya perlakuan spesial di area khusus itu tentu bakal mengurangi nilai tawar kawasan tersebut sehingga bisa menjadi hambatan bagi masuknya aliran modal.

Seperti namanya, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) mendapat perlakuan yang khusus pula dari pemerintah, tak terkecuali pada bidang perpajakan alias insentif fiskal.

Berbagai fasilitas pun diumbar, dan yang paling manis tentu pemangkasan pajak perusahaan baik yang berbentuk tax holiday maupun tax allowance.

Persoalannya, sejak 2019 tidak ada satu pun pebisnis yang memanfaatkan fasilitas tax holiday, sementara dalam lima tahun terakhir tax allowance hanya diakses pada 2021.

Itu pun bisa dibilang tak seberapa. Kala itu, nilai insentif yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pelaku usaha hanya senilai Rp11 miliar.

Celakanya, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dalam Laporan Belanja Perpajakan 2022 yang dirilis belum lama ini, mengestimasi serapan kedua insentif di KEK nihil hingga 2025.

Becermin pada data tersebut, amat wajar bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, melakukan evaluasi atas pemanfaatan fasilitas KEK.

BKF dalam laporan tersebut menuliskan bahwa hingga detik ini belum ada badan usaha atau pelaku usaha yang memanfaatkan tax holiday di KEK.

Adapun soal seretnya serapan tax holiday, menurut BKF lebih disebabkan oleh banyaknya perusahaan yang mencatatkan kerugian usaha, tepatnya sejak pandemi Covid-19 alias 2020.

“Ada wajib pajak yang telah diberikan fasilitas tax allowance di KEK, tapi sampai dengan 2020 laporan keuangan wajib pajak masih mengalami kerugian fiskal,” tulis BKF, Selasa (19/12).

Jika dicermati, sejatinya kedua fasilitas tersebut amat meringankan pelaku usaha karena langsung menyasar Pajak Penghasilan (PPh) Badan atau pajak korporasi.

Tax holiday misalnya, yang memberikan pengurangan atau pembebasan PPh Badan atas pelaku usaha di KEK yang melakukan penanaman modal pada kegiatan utama.

Adapun tax allowance, jauh lebih menarik karena cakupannya yang sangat luas. Pertama, kompensasi kerugian selama 10 tahun. Kedua, penyusutan yang dipercepat atas aktiva tetap berwujud dan amortitasi yang dipercepat atas aktiva tak berwujud yang diperoleh dalam rangka penanaman modal.

Ketiga, pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah nilai penanaman modal berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah, yang digunakan untuk kegiatan usaha utama, dibebankan selama enam tahun masing-masing sebesar 5% per tahun.

Keempat, pengenaan PPh atas piden yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah menurut perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku.

Berpijak pada perincian tersebut, jelas tax holiday dan tax allowance merupakan pemanis yang bisa mengakselerasi aliran moda, baik investasi asing maupun dalam negeri.

Namun, seretnya insentif mendorong BKF untuk merekomendasikan kepada pemangku kebijakan terkait agar melakukan evaluasi.

Saat ini, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tengah melakukan evaluasi atas efektivitas pemberian fasilitas fiskal untuk KEK. Rencananya, evaluasi yang dilakukan pada Januari 2024 dan hasil dari kajian tersebut bakal dipublikasikan pada medio warsa depan.

PROGRES MASIH RENDAH

Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan dasar dari dilakukannya pengkajian ulang itu adalah masih rendahnya progres pengembangan beberapa kawasan khusus.

“Dengan segala insentif fasilitas fiskal yang kita berikan mestinya punya banyak ruang untuk tumbuh lebih tinggi daripada kawasan yang lain,” katanya.

Hanya saja, hingga saat ini dia belum memberikan perincian mengenai kawasan yang dianggap mangkrak tersebut sehingga diperlukan penilaian ulang.

Susiwijono hanya mengatakan, hasil evaluasi itu nantinya tidak menghapus status kawasan tersebut ke dalam kategorisasi KEK, melainkan hanya mencabut fasilitas fiskal yang selama ini dinikmati.

Dalam konteks ini, pemerintah bisa dibilang cukup tegas. Musababnya, ancaman pencabutan seluruh fasilitas di KEK tak hanya menyasar insentif PPh, juga stimulus lain.

Sekadar informasi, insentif di luar PPh yang tersaji di KEK adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), pabean, hingga cukai.

Secara terperinci, fasilitas tersebut adalah PPN tidak dipungut, PPnBM tidak dipungut, pembebasan bea masuk, pajak dalam rangka impor (PDRI) tidak dipungut, serta pembebasan cukai bahan baku/penolong.

Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Encep Dudi Ginanjar mengatakan selama ini fasilitas pabean di KEK terserap dengan baik.

Misalnya fasilitas bea masuk yang berkontribusi hingga 88,3% dari total aktivitas, serta menurunkan biaya logistik ekspor hingga 23,75% melalui multimoda National Logistics Ecosystem (NLE).

“Melalui KEK, Bea Cukai mendorong peningkatan fasilitas bea masuk hingga 88,3% dengan jumlah serapan kerja tumbuh 250% dan investasi naik 9,27%,” jelasnya.

Fakta ini makin membuat pemangku kebijakan kebingungan. Jika seluruh fasilitas dicabut, perusahaan yang telah memanfaatkan insentif di luar PPh pun menjadi korban.

Dalam kaitan ini, kalangan ekonom menyarankan pemerintah untuk tidak menghapus fasilitas di KEK, tetapi mendesain ulang mekanisme pemberian insentif.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet memandang perlunya pemerintah melakukan pengkajian ulang di masing-masing kawasan khusus. Sebab, menurutnya, mayoritas KEK dibentuk dengan fokus pada industri pengolahan.

Persoalannya, kondisi manufaktur di dalam negeri dewasa ini masih penuh dengan kendala sehingga porsinya terhadap produk domestik bruto (PDB) pun menipis.

“Jika ingin mengundang investor ke KEK, upaya untuk mendorong industri pengolahan menjadi penting untuk dilakukan oleh pemerintah,” katanya.

Harus diakui, insentif adalah salah satu pemanis untuk dapat memikat investor. Akan tetapi, apabila kebijakan insentif tidak dirumuskan dengan saksama, pemerintah menghadapi konsekuensi yang besar.

Apalagi, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam laporan berjudul Global Minimum Tax and Investment Treaties: Exploring Policy Options yang dirilis pekan lalu, menuliskan insentif PPh tak lagi relevan jelang implementasi global minimum tax.

Tak hanya itu, UNCTAD juga memandang insentif tertentu misalnya yang berlaku di kawasan ekonomi khusus juga bertentangan dengan semangat pajak minimum global.

Ekonom UNCTAD Hamed El-Kady, mengatakan pemerintah termasuk Indonesia perlu menilai kembali dan menyempurnakan insentif PPh Badan untuk memastikan perlakuan yang adil bagi perusahaan asing dan lokal.

“Ini juga tentang menjaga koherensi antara kebijakan pajak dan investasi global,” katanya.

Dia menyarankan kepada pemerintah untuk mengalihikan skema insentif dari yang sebelumnya berbasis penghasilan ke keringanan pada sektor pabean sehingga mampu meringankan beban produksi. (Jessica G. Soehandoko)