20 Desember 2023 | 4 months ago

Konsensus Terganjal Aksi Unilateral

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Segelintir yurisdiksi yang secara sepihak menerapkan pajak digital menjadi ganjalan dalam proses pembahasan dan penyelesaian naskah multilateral convention Pilar 1: Unified Approach dalam tahapan penyusunan konsensus pajak global.

Hal ini pula yang mendasari Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) menunda batas waktu penandatanganan multilateral convention atau MLC Pilar 1 dari akhir 2023 menjadi tahun depan.

OECD dalam laporan yang dipublikasikan 18 Desember 2023, mengumumkan bahwa ada persoalan yang cukup pelik antaryurisdiksi sehingga menghambat penyelesaian naskah MLC tersebut.

Problematika yang dimaksud adalah adanya negara yang telah secara unilateral atau sepihak menerapkan digital service tax (DST) alias pajak layanan digital yang dianggap mencederai esensi konsensus.

Tak pelak, penyelesaian dan penandatanganan MLC yang sedianya ditargetkan pengujung warsa ini mundur menjadi akhir Maret 2024 untuk pembahasan dan maksimal akhir Juni 2024 untuk penandatanganan.

“Upaya untuk menyelesaikan perbedaan harus dilanjutkan hingga tahun depan, termasuk sehubungan dengan penghentian pajak layanan digital dan langkah serupa lainnya,” tulis pernyataan resmi OECD, Selasa (19/12).

Menurut organisasi tersebut, waktu tambahan dibutuhkan untuk melakukan negosiasi soal penghentian pajak layanan digital karena dianggap kontradiktif dengan misi dari konsensus.

Apalagi, pada Oktober 2023 Inclusive Framework’s Task Force on the Digital Economy (TFDE) telah menerbitkan naskah awal MLC dalam rangka memfasilitasi anggota untuk terlibat dalam proses penyesuaian regulasi domestik yang diperlukan untuk mengadopsi substansi tersebut.

Selain itu, naskah tersebut juga menyajikan arahan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi resolusi atas perbedaan yang terjadi antaryurisdiksi.

Sejatinya, mayoritas anggita Inclusive Framework sepakat untuk menghentikan aksi unilateral termasuk implementasi pajak layanan digital.

Persoalannya, segelintir yurisdiksi justru melakukan aksi sepihak dengan menyiapkan perangkat hukum dan memasang kuda-kuda untuk memungut pajak digital yang dicegah komunitas global.

Salah satu negara yang siap mengimplementasikan itu adalah Kanada dengan DST. Skema ini mengacu ke konsep awal Pilar 1, yakni dengan menyasar perusahaan digital yang tidak memiliki kehadiran fisik tetapi mengantongi penghasilan besar dalam operasional bisnis di Kanada.

Sasarannya pun rata-rata korporasi jumbo. Mulai dari International Business Machines Corp., Microsoft Corp., hingga Apple Inc. Kabar terbaru, Kanada akan mengimplementasikan DST dengan tarif 3% per 1 Januari 2024.

Sederet negara lain pun juga telah menyiapkan regulasi untuk melegalisasi pungutan serupa. Di antaranya adalah Selandia Baru, yang berencana menetapkan tarif 3% untuk perusahaan multinasional berpenghasilan lebih dari US$812 juta per tahun secara global pada 2025.

Pembahasan dan implementasi Pilar 1 memang cukup alot dan penuh dinamika. Cakupannya pun mengalami perubahan sejak digagas pertama kali pada beberapa empat warsa yang lalu.

Awalnya, Pilar 1 hanya terbatas pada sektor ekonomi digital seperti Automated Digital Services (ADS) dan Consumer Facing Businesses (CFB).

Setelah dibahas oleh Anggota G7 medio 2021, cakupan proposal tersebut lebih luas yakni dengan mengarah kepada seluruh korporasi multinasional.

Secara konkret, Pilar 1 berupaya menjamin hak pemajakan dan basis pajak yang lebih adil melalui perombakan sistem pajak internasional yang tidak lagi berbasis kehadiran fisik, tetapi lebih kepada kehadiran ekonomi signifikan.

Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan bisa dibilang juga tidak memainkan peran dalam Pilar 1. Fungsinya pun digantikan oleh adanya kebijakan treshold pada masing-masing komponen.

Dalam mekanisme pemajakan tersebut, perusahaan yang wajib membayar pajak disyaratkan memiliki omzet di atas 20 miliar euro per tahun secara global dan profitabilitas sebesar 10%.

Ketentuan lain yang wajib dipahami adalah adanya nexus senilai 1 juta euro per tahun, dan residual profit sebesar 25% yang harus dibagi perusahaan kepada seluruh negara pasar.

Simulasinya, sebuah perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia memiliki omzet secara global 20 miliar euro dan profitabilitas sebesar 15%. Dengan simulasi itu, maka residual profit hanya sebesar 5%.

Dari 5% residual profit itu, hak pemajakan yang dimiliki oleh seluruh negara pasar sebesar 25%. Artinya, Indonesia dan negara lain yang menjadi pasar dari operasional bisnis perusahaan tersebut hanya 1,25%.

Besaran alokasi pajak yang disetorkan oleh perusahaan pun berpijak pada penghasilan yang diperoleh di negara pasar. Makin tinggi Indonesia menyumbang omzet pada perusahaan, makin tinggi pula pajak yang diterima.

Demikian pula sebaliknya. Apabila syarat dalam seluruh tahapan terpenuh namun omzet perusahaan multinasional tersebut di bawah 1 juta euro dalam setahun di Indonesia, maka pemerintah tak akan mendapatkan tambahan pajak.

POTENSI PENERIMAAN

Dalam konteks Indonesia, jika dicermati dengan saksama potensi pajak yang dibawa dari implementasi Pilar 1 tidak bisa dibilang tinggi.

Sebaliknya, mengacu pada syarat pendistribusian pajak, Indonesia justru berisiko mengalami penggerusan basis pajak.

Musababnya, tidak seluruh negara mampu memenuhi ketentuan yang terkandung dalam skema tersebut, mulai dari omzet, nexus, hingga residual profit.

Sejalan dengan itu, amat wajar apabila Kanada dan Selandia Baru mengimplementasikan DST, sehingga tidak terjadi erosi basis pajak dan mengamankan penerimaan negara.

Indonesia pun sebenarnya bisa melakukan aksi unilateral dengan menerapkan DST yang telah terakomodasi dalam UU No. 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.

Dalam beleid itu, Indonesia memiliki hak untuk memungut pajak atas penghasilan atas perusahaan digital. Langkah ini pun jauh lebih rasional dan menjanjikan dibandingkan dengan menanti konsensus yang penuh dengan ketidakpastian.

Apalagi, skema pemajakan tersebut baru akan diterapkan pada 2025. Itu pun dengan catatan jika tidak terjadi hambatan di tengah jalan.

Memang, dalam perkembangannya esensi dari Pilar 1 bergeser dari sebelumnya fokus menyasar perusahaan digital global menjadi korporasi multinasional secara umum kecuali sektor keuangan dan ekstraktif.

Namun yang perlu diingat, mayoritas perusahaan yang masuk radar skema Pilar 1 terbaru itu adalah korporasi yang aktif di sektor ekonomi digital.

Langkah pemerintah pun mudah ditebak, yakni menolak melakukan unilateral dan menghormati kesepakatan konsensus global.

Namun, otoritas pajak memastikan bahwa segala perkembangan yang terjadi dalam proses menuju penerapan Pilar 1 tersebut akan dipantau dan ditindaklanjuti.

“Kami dalam proses penyiapan petunjuk pelaksanaan dari Pilar I, sehingga saat implementasinya nanti dapat bergerak segera dan lebih cepat,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto, mengatakan terlepas dari adanya ketentuan yang terkandung dalam Pilar 1, pemerintah wajib memastikan porsi pembagian pajak sesuai dengan kondisi ekonomi di dalam negeri.

Tak hanya itu, menurutnya pemangku kebijakan juga patut segera merespons MLC tersebut dalam rangka percepatan sinkronisasi kebijakan dan implementasi.

“Karena pembahasan mengenai hal ini sudah terlalu lama jadi jangan sampai realisasinya mundur lagi setelah beberapa kali diperpanjang,” ujarnya.

Pemajakan korporasi multinasional memang melahirkan kegamangan. Syarat yang ketat melahirkan kekhawatiran bahwa potensi pajak yang bisa diterima sebuah negara, termasuk Indonesia, tak sebesar yang dibayangkan.

Namun di sisi lain 138 negara yang telah mengikuti proses tersebut wajib menghormati, mendukung, serta mengamankan kepentingan konsensus.

Terlebih lagi Indonesia sebagai Anggota G20, organisasi yang turut melahirkan solusi pemajakan global dalam rangka menjaga pendistribusian pajak ke negara pasar.