21 Desember 2023 | 4 months ago

Perampasan Aset Mengacu Data SPT

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Pelaporan pajak atas penghasilan akan menjadi salah satu pijakan utama pemerintah dalam melakukan perampasan aset atas tindak pidana. Langkah taktis ini pun memberikan keuntungan ganda bagi pemangku kebijakan, menutup praktik penghindaran pajak, sekaligus mempermudah penelusuran aset wajib pajak.

Ketentuan tersebut tertuang dalam Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana yang saat ini dalam pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Dalam draf yang diperoleh Bisnis, penggunaan Surat Pemberitahuan atau SPT Pajak Penghasilan (PPh) termaktub dalam Pasal 5 yang mengatur jenis aset hasil tindak pidana yang dapat dirampas.

Secara detail, aset yang berpotensi dirampas adalah aset hasil tindak pidana atau aset yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari tindak pidana termasuk yang telah dihibahkan atau dikonversikan menjadi harta kekayaan pribadi, orang lain, atau korporasi, baik berupa modal, pendapatan, maupun keuntungan ekonomi lainnya yang diperoleh dari kekayaan tersebut.

Selain itu, sasaran pemangku kebijakan juga berfokus pada aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau tidak seimbang dengan sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal-usul perolehannya secara sah dan diduga terkait dengan aset tindak pidana.

Dalam konteks inilah, SPT dan pelaporan pajak atas penghasilan menjadi amat krusial untuk dijadikan pijakan pemerintah dalam mengusut adanya penyembunyian aset gelap.

“Aset tidak seimbang dapat diperoleh, misalnya, dari petunjuk perhitungan total kekayaan yang diperoleh antara lain, dari Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, Laporan Pajak Penghasilan Pegawai, Surat Pajak Tahunan atau SPT,” tulis penjelasan Pasal 5 dalam draf yang diperoleh Bisnis, Rabu (20/12).

Adapun, yang dimaksud dengan ‘tidak dapat dibuktikan asal usul perolehannya secara sah’, adalah perolehan yang berasal dari penghasilan yang bertentangan dengan hukum atau tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Atas dasar itulah SPT menjadi krusial, mengingat data yang dilaporkan oleh wajib pajak idealnya mencerminkan penghasilan yang diterima secara legal dan transparan.

Sekilas, rumusan regulasi tersebut hanya berkaitan dengan pemulihan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi.

Namun apabila dimaknai dengan saksama, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana juga mengakomodasi kejahatan lain yang berdimensi ekonomi seperti penghindaran pajak dan penggelapan.

Korelasi antara SPT dengan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana pun amat erat.

Musababnya, dengan RUU Perampasan Aset pemerintah memiliki instrumen yang kokoh untuk mencari pembuktian perolehan harta atau penghasilan tak wajar wajib pajak.

Seorang wajib pajak dapat melakukan praktik penghindaran dengan sengaja melalui penyampaian SPT yang tidak lengkap atau informasi yang diberikan tidak benar.

Biasanya, aksi curang ini dilakukan lantaran wajib pajak menyembunyikan perincian pendapatan atau aset yang dimiliki, baik fisik maupun nonfisik.

Adapun, Naskah Akademik RUU tersebut mencatat ada tiga instrumen yang acap kali dijadikan perangkat untuk menyembunyikan aset agar terhindar dari kewajiban perpajakan atau mengamankan uang hasil kejahatan.

Pertama, real estat dan harta kekayaan tidak bergerak, baik atas nama pribadi maupun orang lain. Kedua, pembelian barang berharga seperti emas. Ketiga, saham domestik.

Dari ketiganya, properti dan saham relatif banyak dimanfaatkan oleh wajib pajak nakal. Transaksi-transaksi properti dapat dimanipulasi untuk menggunakan hasil-hasil modal yang tampak untuk menyamarkan dana-dana gelap tesebut.

Adapun saham, ditransaksi di pasar modal yang memang relatif tidak memiliki proteksi ketat terhadap sumber dana.

Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto, pun tak menampik regulasi tersebut dapat menjadi alat negara efektif untuk memerangi pelanggaran di bidang perpajakan.

Apalagi menurutnya, pemberantasan tindak pidana ekonomi, termasuk perpajakan belum sepenuhnya berhasil. Pencegahan dan penindakannya pun belum menunjukkan efek jera yang signifikan dan memadai.

Perampasan aset hasil tindak pidana pun menurutnya menjadi salah satu faktor untuk memberikan efek jera bagi pelaku dalam kejahatan ekonomi.

“Mengingat tidak sedikit, aset hasil tindak pidana tetap dapat dinikmati oleh pelaku meskipun sudah menjalani masa hukuman,” katanya.

HAK TAGIH NEGARA

Tak melulu soal mengamankan penerimaan dan menutup praktik penghindaran, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana juga berfungsi mempercepat agenda pemerintah untuk memulihkan hak tagih negara, termasuk dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang tak dimungkiri performanya masih amat terbatas karena satuan tugas (Satgas) yang mengalami banyak kesulitan.

Hambatan itu bukan saja karena perangkat hukumnya yang masih lemah, tetapi juga belum ada perangkat hukum yang mengatur kerjasama dengan negara lain untuk perampasan aset hasil kejahatan.

“Inilah kemudian yang menjadi urgensi dari UU Perampasan Aset. Tetapi, memang sulit karena prosesnya di DPR,” kata pakar hukum tata negara Bivitri Susanti kepada Bisnis.

Hingga saat ini, Satgas BLBI baru berhasil menguasai aset senilai Rp34,6 triliun dari total target senilai Rp110 triliun. Artinya, kinerja satgas baru mencapai 31,3% dari target yang ditetapkan.

Persoalannya, masa kerja Satgas BLBI hanya berlaku sampai dengan akhir tahun ini.

Sementara itu, usulan perpanjangan yang disampaikan ke Presiden Joko Widodo masih belum mendapatkan lampu hijau hingga saat ini.

Satgas BLBI pun berharap masa tugas diperpanjang setidaknya hingga pergantian pemerintahan pada Oktober tahun depan.

Bivitri menambahkan, seharusnya DPR bisa mempercepat pembahasan RUU tersebut sehingga bisa langsung dioptimalisasi untuk memulihkan hak tagih negara.

“Sampai sekarang tertahannya karena partai-partai mereka sendiri tidak mau,” katanya.

Sesungguhnya, RUU tersebut memang memiliki taji yang kuat untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan ekonomi.

Pasalnya, perampasan aset dilakukan tanpa harus menunggu pembuktian adanya tindak pidana di pengadilan. Hal ini berbeda dibandingkan dengan mekanisme perampasan yang saat ini berlaku.

Sekadar informasi, beberapa ketentuan pidana di Indonesia sudah mengatur mengenai kemungkinan untuk menyita dan merampas hasil dan instrumen tindak pidana.

Namun, berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, perampasan hanya dapat dilaksanakan setelah pelaku tindak pidana terbukti di pengadilan secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana.

Padahal, terdapat berbagai kemungkinan yang dapat menghalangi penyelesaian mekanisme penindakan tersebut.

Misalnya tidak ditemukannya atau meninggalnya atau adanya halangan lain yang mengakibatkan pelaku tindak pidana tidak bisa menjalani pemeriksaan.

Inilah kemudian yang menjadikan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menjadi sangat penting untuk segera disahkan.