28 Desember 2023 | 4 months ago

Rasio Pajak & Analogi ‘Berburu Di Kebun Binatang’

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Analogi berburu di kebun binatang itu digunakan oleh cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka untuk menggambarkan pentingnya peningkatan tax ratio. Pasangan nomor urut 2 ini menyampaikan gagasan untuk meningkatkan rasio pajak pada level 23%.

Rasio pajak merujuk pada perbandingan penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) suatu negara. Indikator tax ratio digunakan untuk mengukur kinerja penerimaan pajak suatu negara.

“Kita ini tidak ingin berburu dalam kebun binatang, kita ingin memperluas kebun binatangnya, kita tanami, binatang kita gemukkan, artinya membuka dunia usaha baru,” jelas Gibran dalam debat cawapres, Jumat, (22/12).

Terlepas dari riuh rendah reaksi publik atas analogi Gibran itu, harus diakui bahwa tax ratio Indonesia tergolong rendah. Beragam upaya meningkatkan rasio pajak dalam dua dekade terakhir nampak belum membuahkan hasil yang diinginkan.

Hal ini menimbulkan tanya, benarkah menaikkan tax ratio itu semudah analogi berburu di kebun binatang? 

Untuk menjawab pertanyaan itu, ada baiknya sejenak melihat tren rasio pajak nasional pada dua dekade terakhir. Nyatanya, menaikkan rasio pajak bukan perkara mudah.

Rasio pajak Indonesia terhadap PDB dalam dua dekade terakhir bahkan tidak pernah menyentuh 14%. Alih-alih bertumbuh, rasio pajak Indonesia justru landai baik pada era pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) maupun Joko Widodo (Jokowi).

Pada 10 tahun pemerintahan SBY, rasio pajak tertinggi berada pada level 13,31% pada 2008. Adapun, level terendahnya pada era SBY ialah 10,54% yang terjadi pada 2010.

Era pemerintahan Jokowi bahkan lebih rendah, tidak pernah menyentuh 11%. Padahal pada periode ini terdapat sejumlah program pengampunan pajak guna memperluas cakupan penerimaan pajak.

Rasio pajak 9 tahun Presiden Jokowi paling tinggi hanya pada level 10,85% pada 2014, dan paling rendah 8,33% pada 2020 lalu.

Target tax ratio 2024, atau tahun terakhir pemerintah Jokowi, yang dipatok pemerintah pada level 10%–10,2% juga dinilai sulit tercapai oleh DPR RI. Anggota Komisi XI DPR Misbakhun mengatakan bahwa target rasio pajak itu menjadi tugas berat pemerintah jika tidak ada langkah baru dalam upaya meningkatkan pajak.

“Kalau strategi masih sama, saya yakin enggak, [target itu] berat,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (12/12).

Mengacu Peraturan Presiden No. 52/2023 tentang Rencana kerja Pemerintah 2024, tax ratio ditargetkan sebesar 10%–10,2% pada 2024. Target yang dikatakan berat tersebut, bahkan lebih rendah dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 di angka 10,7%–12,3%.

Merujuk pada Laporan Tahunan Direktorat Jenderal Pajak 2022 yang baru terbit pada awal Desember 2023, rasio pajak 2024 hanya disasar 8,59%–9,55%.

Misbakhun menilai penggunaan teknologi yang belum optimal menjadi tantangan dalam peningkatan penerimaan yang bersumber dari pajak dan cakupan pajak.

“Pekerjaan untuk melaksanakan tax coverage kita masih terlalu banyak form dan manual. Ini masalah strategi dan aplikasi di lapangan,” tuturnya.

Menurutnya, sistem pajak tidak boleh keluar dari sistem sosial masyarakat. Bila mana masyarakat enggan untuk membayar pajak, pemerintah harus jemput bola untuk menjangkau para wajib pajak.

Hal yang kemudian juga menjadi masalah, Misbakhun melihat untuk negara dapat aktif, perlu teknologi penyederhanaan pelaporan pajak.

“Mengaktifkan peran negara harus dengan teknologi. [wajib pajak] harus dipaksa patuh dengan teknologi. Apakah saat ini pajak bisa meng-capture sistem perbankan? Kita hanya punya dapat akses manual seperti saldo, bagaimana dengan aktivitasnya? Itu yang jadi persoalan,” ungkapnya.

Seperti diketahui, pemerintah akan mengimplementasikan core tax system dan pemadanan NIK dengan NPWP. Rencana tersebut baru akan terlaksana pada 1 Juli 2024, atau mundur 6 bulan dari rencana awal per 1 Januari 2024.

NEGARA MAJU

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025—2045, pemerintah bahkan mematok target tax ratio di level 18%—20%, selaras dengan estimasi Asean Development Bank (ADB) bahwa optimal tax ratio di Indonesia sebesar 18%.

Pertumbuhan tax ratio itu disebut-sebut menjadi salah satu syarat Indonesia bisa menjadi negara maju. Sejumlah kalangan menilai, rasio pajak paling kecil yang wajib dicapai Indonesia ialah 12,88% agar lepas dari middle income trap dan menjadi negara maju.

Head of Mandiri Institute Teguh Yudo Wicaksono menyampaikan bahwa mengacu pada data Dana Moneter Internasional (IMF), rasio pajak yang sehat penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, paling kecil 12,88%.

“Tax to GDP [gross domestic product/PDB] yang dibutuhkan oleh suatu negara agar pertumbuhan bisa akselerasi, maka ekonomi harus tumbuh di atas 5% atau dengan target 2045, pertumbuhan harus 6%–7%. Setidaknya tax to GDP 12,88% atau lebih tinggi,” katanya beberapa waktu lalu.

Staf Khusus Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal menjelaskan pemerintah sedang melakukan reformasi perpajakan untuk tujuan meningkatkan hal tersebut.

Hal yang menjadi kunci, katanya, reformasi ini perlu waktu dan tidak terburu-buru dalam implementasinya.

“Ada jangka tertentu yang bisa kita siapkan, kami berharap ada kajian internal terkait dampak dari reformasi. Sekaligus mempermudah memberikan pengawasan sehingga dengan kepatuhan sukarela bisa meningkat. Setidaknya tax ratio kita bisa sustainable di 15%,” katanya.

Founder & Managing Partner DDTC Fiscal Research & Advisory Darussalam berpendapat agenda reformasi pajak yang sedang pemerintah lakukan memiliki potensi untuk mengerek tax ratio hingga 5%

Reformasi administrasi setidaknya memberikan tambahan tax ratio sebesar 1,5% sementara reformasi kebijakan menyumbang tambahan 3,5%. Dengan demikian total potensi kenaikan tax ratio secara keseluruhan mampu mencapai 5%.

“Kalau kita konsisten, insyaallah 5% kita dapat,” katanya.