03 Januari 2024 | 4 months ago

Hilangnya Momentum Pemacu Tax Ratio

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Otoritas fiskal tengah menikmati euforia lantaran berhasil menembus target penerimaan pajak dalam tiga warsa berturut-turut. Akan tetapi, ada sedikit ironi dalam capaian fiskal sepanjang tahun lalu, yakni turunnya rasio perpajakan.

Harus diakui, setoran dari sumber yang berkontribusi menggerakkan rasio perpajakan alias tax ratio pada tahun lalu berhasil membukukan kinerja yang cukup positif.

Baik pajak, kepabeanan dan cukai, hingga penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA).

Pajak, misalnya yang berhasil menembus 102,8% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 sebagaimana tertuang dalam Perpres No. 75/2023. Demikian pula dengan PNBP yang mencapai 117,5% dari target.

Adapun, kepabeanan dan cukai tercatat hanya mampu merealisasikan penerimaan 95,4% dari target. Meski demikian, angka itu tak bisa dibilang buruk, karena berhasil mencapai di atas 95%.

Hal yang menjadi persoalan, tax ratio justru terpangkas. Kementerian Keuangan mencatat, tax ratio pada tahun lalu hanya 10,21%, lebih rendah dibandingkan dengan 2022 yang mencapai 10,39%.

Ada dua fenomena yang bisa dicermati dari fakta rasio perpajakan ini. Pertama, hilangnya momentum tak berulang, seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Kedua, peningkatan produk domestik bruto (PDB) yang signifikan, sehingga meski penerimaan pajak lebih tinggi tetapi rasio perpajakan justru lebih rendah. Masing-masing pun menyisakan hal yang patut dikritisi. Soal PPS, misalnya otoritas fiskal pun tak memungkiri besarnya pengaruh program pengampunan dalam memacu tax ratio.

Menurut data Kementerian Keuangan, tax ratio 2022 dengan menganulir penerimaan dari PPS sebesar 10,08%. Artinya, PPS memberikan sumbangsih yang tak bisa dianggap remeh, yakni 0,31%.

Artinya, momentum tak berulang itu menjadi mesin yang menggerakkan laju rasio perpajakan lebih kencang.

Kemudian, menanjaknya nilai PDB yang membatasi kenaik­an rasio perpajakan. Dalam kondisi ini, jelas otoritas pajak kurang maksimal dalam melakukan pungutan.

Pasalnya, membengkaknya nominal PDB menggambarkan adanya geliat ekonomi yang lebih aktif, sehingga nilai dari aktivitas perekonomian pun meningkat. Secara otomatis, potensi pajak yang bisa dipungut juga lebih tinggi.

Jika laju PDB lebih signifikan dibandingkan dengan penerimaan pajak, maka ada banyak aktivitas ekonomi yang belum masuk ke dalam radar fiskus.

“Ini realisasi sementara,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, saat memaparkan hasil APBN 2023, Selasa (2/1).

Jika dipahami lebih jauh, sejatinya ada beberapa faktor pemberat yang menahan laju rasio perpajakan sepanjang tahun lalu di luar faktor tak berulang PPS.

Dari sektor pajak dan PNBP SDA, tekanan muncul dari moderasi harga komoditas yang acapkali dikeluhkan oleh pemangku kebijakan karena menekan penerimaan.

Ini pun bukan pepesan ‘kosong’ belaka, mengingat komoditas SDA terutama migas tak jarang menjadi juru selamat penerimaan negara. Situasi itu juga memengaruhi penerimaan dari pabean.

Pertambangan pun menjadi sektor terbesar yang menjadi penyumbang setoran Pajak Penghasilan (PPh) Badan sepanjang tahun lalu, sehingga pelemahan komoditas juga berpengaruh ke kinerja pajak.

“Untuk penerimaan PPh Badan terbesar pertambangan, kemudian industri pengolahan, jasa keuangan, perdagangan,” kata Dirjen Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo.

Adapun, kinerja cukai jauh lebih terpuruk lantaran tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang makin tinggi, sehingga menekan daya beli.

PERALIHAN KONSUMSI

Tak pelak, terjadi peralihan konsumsi dari produk golongan bertarif tinggi ke golongan bertarif rendah yang harga jualnya lebih murah.

Alih-alih menekan prevalensi, tarif mencekik CHT justru menggerus penerimaan cukai karena terpangkasnya setoran dari pabrikan besar.

Dalam kaitan ini, Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Ke­uangan Askolani memandang, institusinya akan terus mencermati dinamika ekonomi terkini dalam merumuskan aneka kebijakan untuk memacu penerimaan.

“Kami akan mengkaji ulang kebijakan cukai 2024,” ujarnya.

Sekadar informasi, rasio pajak di Indonesia dihitung dengan mengacu pada tiga sumber penerimaan, yakni pajak, bea dan cukai, serta PNBP SDA alias rasio pajak dalam arti luas.

Dengan demikian, tax ratio idealnya bisa lebih tinggi mengingat banyaknya sumber yang menjadi faktor.

Kalangan pemerhati pajak dan ekonom pun memandang, idealnya capaian tax ratio pada tahun lalu lebih tinggi dibandingkan dengan warsa sebelumnya, mengingat ekonomi yang telah sepenuhnya normal.

Hal itu ditandai dengan ditiadakannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), transisi menuju endemi pada medio tahun ini, hingga aktivitas sektor riil yang menggeliat.

Direktur Program Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 5%, seharusnya pemerintah bisa mewujudkan tax ratio setara dengan 2022.

“Kalau pertumbuhan ekonomi meningkat minimal 5% saja, maka rasio pajak tetap itu sudah bagus,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah perlu melakukan dua perbaikan fundamental untuk memperbaiki kinerja rasio perpajakan pada tahun ini.

Pertama, menerapkan single identity number sehingga tidak akan ada inpidual yang lolos dari pajak. Kedua, pemberian sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang melakukan penghindaran.

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono memandang, salah satu kendala dalam mengakselerasi rasio perpajakan adalah regulasi.

Menurutnya, saat ini ada banyak regulasi di bidang perpajakan, termasuk aturan turunan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang masing-masing masih memiliki celah.

“Ada faktor ambiguitas karena peraturan pajak yang diproduksi pemerintah makin kompleks,” ujarnya.

Publik patut bertepuk tangan dengan kencang karena keberhasilan pemerintah menjaga penyehatan APBN dengan amat cermat setelah terimpit pandemi Covid-19 dan lesatan inflasi.

Namun, masyarakat juga layak berteriak lantang mengkritisi kemampuan fiskus dalam memungut pajak sesuai dengan perkembangan ekonomi. Sepanjang rasio perpajakan tak melesat, seberapa pencapaian penerimaan pajak pun makin terlihat tak sehat karena tak ada upaya ekstra untuk mendulang penerimaan.