03 Januari 2024 | 4 months ago

Kepastian Insentif PNBP Dinanti

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Hingga tahun berganti, evaluasi terhadap mekanisme penetapan biaya hak penggunaan frekuensi atau BHP tak kunjung diselesaikan. Insentif penerimaan negara bukan pajak atau PNBP bagi operator ini dinanti guna menyehatkan industri telekomunikasi nasional

Kini, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) justru berpotensi memperpanjang masa kerja gugus tugas kajian insentif PNBP tersebut.

Gugus tugas yang beranggotakan Kemenkominfo dan pelaku usaha telekomunikasi ini tengah mencari cara guna menyehatkan industri tersebut.

Wakil Ketua Gugus Tugas yang juga Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengatakan bahwa masa kerja Gugus Tugas Kajian Insentif PNBP diperpanjang untuk waktu yang belum diketahui.

Gugus tugas akan menggunakan waktu tersebut guna menyusun data dan laporan yang lebih detail.

“Diperpanjang dan tunggu surat. Berapa lama perpanjangannya belum diketahui,” katanya kepada Bisnis, Selasa (2/1).

Sebelumnya, Kemenkominfo membentuk gugus tugas untuk menciptakan pemerataan akses telekomunikasi, melalui pemberian kebijakan insentif PNBP.

Hal tersebut mengacu pada Surat Keputusan Menkominfo No. 52/2023 tentang Gugus Tugas Kajian Insentif Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Gugus tugas ini nantinya akan menyiapkan rekomendasi kebijakan insentif PNBP sektor telekomunikasi.

Selain itu, gugus tugas tersebut juga akan melakukan identifikasi kendala, serta solusi pemertaan dan peningkatan kualitas layanan jaringan telekomunikasi nasional.

Tugas lainnya adalah melakukan verifikasi dan analisis terhadap usulan insentif agar dasar pemberian insentif pemerintah benarbenar dapat dipertanggungjawabkan dan tetap sasaran.

Secara Industri, rasio regulatory charge biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi terhadap pendapatan kotor operator sudah sangat tinggi yang berkisar 11,4% dan menjadi 13,15% jika termasuk BHP Telekomunikasi dan universal service obligation (USO). Angka tersebut lebih tinggi dari batas sehat, yaitu 5%—10%.

Untuk mengatasi gap tersebut, ATSI mengusulkan reformulasi dan redefi nisi parameter NKC pada formula NIKICB, sehingga besarannya berorientasi pada kesehatan dan keberlangsungan industri.

ATSI juga mengusulkan untuk merasionalisasi rasio regulatory charge BHP frekuensi terhadap pendapatan kotor setiap operator maksimal di bawah 10%, tetapi tidak terbatas menerapkan BHP AF all band flat sampai masa akhir IPFR, penurunan BHP frekuensi existing, penerapan faktor pengurang dengan mempertimbangkan semua biaya belanja modal (capital expenditure/capex) dan belanja operasional (operational expenditure/opex) yang ditanggung oleh operator dan lainnya.

“Dalam pengalokasian spektrum frekuensi baru menggunakan mekanisme evaluasi diharapkan pada penetapan BHP frekuensi nya [menggunakan harga NKICB yang sudah disesuaikan], pemerintah mengedepankan besaran yang terjangkau, sehingga tidak menyebabkan regulatory charge tidak lebih tinggi dari 10%,” tulis ATSI dalam dokumen usulan tersebut.

Di sisi lain, di tengah beban yang tinggi operator seluler juga dihadapkan dengan disrupsi layanan over the top (OTT) yang menggerus pendapatan operator sejalan dengan kebijakan yang dikeluarkan.

PENDAPATAN TERGERUS

Ketua Bidang Infrastruktur Telematika Nasional Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Sigit Puspito Wigati Jarot mengatakan bahwa di tengah proyeksi pasar OTT global yang mencapai US$260 miliar pada 2023, bisnis operator seluler kian tergerus.

OTT, imbuhnya, menghadirkan layanan yang menggerus pendapatan operator seluler, khususnya perihal panggilan suara dan SMS.

Bahkan, kalangan analis juga telah memperkirakan bahwa bisnis OTT masih akan tumbuh 10 kali lipat hingga 2030.

“Pesannya adalah pada 2023, market size OTT baru US$260 miliar itu kita sudah tertekan luar biasa. Sementara itu, hampir semua analis mengatakan ini masih akan tumbuh 10 kali lipat sekitar beberapa tahun depan hingga 2030,” jelasnya.

Sigit menjelaskan bahwa keberadaan OTT di industri telekomunikasi memang sudah terjadi sejak 15 tahun lalu atau pada 2008.

Saat itu, imbuhnya, pertumbuhan bisnis OTT masih kecil. Namun seiring dengan peralihan zaman, OTT tumbuh pesat, khususnya dalam 3 tahun terakhir.

Oleh sebab itu, dia menilai bahwa pemerintah perlu untuk turut mengejar pajak dari OTT seiring dengan potensi besar.

“Dalam 3 tahun terakhir ini, sudah melampaui telekomunikasi, sedangkan pertumbuhan pemain telekomunikasi atau sekitar 5 sampai 6%. OTT terus naik hingga 10 kali lipat,” katanya.

Menurutnya, sejalan dengan pertumbuhan bisnis OTT yang besar, beban yang dipikul operator pun bertambah lantaran mereka harus meningkatkan kapasitas jaringan untuk mengangkut beban lalu lintas data.

Sayangnya, pertumbuhan traffic data tersebut asimetris dengan rata-rata pendapatan yang dibukukan operator dari pelanggan. “Profitabilitas datar-datar saja. Itu sudah disampaikan 6 tahun lalu, dan ini sampai sekarang masih terjadi. Efek gunting penurunan data dibandingkan dengan pendapatan yang dibukukan oleh operator,” jelasnya.

Oleh sebab itu, Mastel menilai pemerintah perlu meninjau ulang formula biaya yang dibebankan kepada operator seluler, terutama formula BHP frekuensi.

Sigit mengungkapkan bahwa BHP frekuensi merupakan beban biaya terberat operator yang harus dibayarkan kepada pemerintah.

“Beban regulasi kepada operator seluler sudah terlampau tinggi, di tengah kondisi industri yang sedang kurang sehat. Sementara itu, porsi yang paling dominan dalam beban biaya regulasi tersebut adalah BHP Frekuensi,” katanya.

Dia menilai bahwa formulasi perhitungan BHP frekuensi yang digunakan saat ini, yakni NKICB terbukti tidak sensitif terhadap perubahan kondisi industri.

Formulasi NKICB terdiri atas perbandingan nilai Indeks Harga Konsumen (IHK), jenis layanan dan manfaat dari masing-masing pita frekuensi, indeks harga dasar pita frekuensi radio, jumlah penduduk per setiap pita spektrum, dan lebarnya pita frekuensi radio.

Menurutnya, jika perhitungan frekuensi masih seperti sekarang ini, pemerintah akan menyalahi tujuan utama adanya BHP frekuensi.

“Tujuan managemen frekuensi yang sumber daya terbatas kan untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya untuk kepentingan masyarakat, bukannya untuk ditarik pajaknya atau retribusinya dalam rupiah,” ujar Sigit.

Kendati demikian, dia mengakui bahwa perombakan formulasi BHP memang tidak gampang dan instan.

Akan tetapi, imbuhnya, industri telekomunikasi yang sedang kritis ini tidak bisa menunggu terlalu lama.

Oleh karena itu, dia mengusulkan agar pemerintah mulai melakukan langkah-langkah insentif penyelamatan, mulai dengan insentif terkait metode lelang, biaya frekuensi, ataupun metode pembayaran.

“Misalnya kalau metode pembayarannya di depan, mungkin bisa sangat membebani, jadi bisa dibuat metode penjadualan yang lebih ringan,” ujarnya.

Sebelumnya, Kemenkominfo mengungkapkan bahwa adanya arget setoran PNBP ke kementerian lain menjadi salah satu alasan nilai BHP frekuensi sulit diturunkan.

Direktur Penataan Sumber Daya Kemenkominfo Denny Setiawan mengungkapkan bahwa apabila angka pendapatan tidak sesuai dengan target yang diberikan, maka anggaran Kemenkominfo akan dipotong.

“Kemenkominfo ini sudah dikasih target PNBP-nya, baik tahun ini ataupun tahun depan. Kalau kami tidak sampai target, budget kami dipotong.

”Ia sempat mengutarakan bahwa permintaan industri operator untuk menurunkan biaya layanan, upfront fee untuk spektrum, dan PNBP sulit dilakukan.