04 Januari 2024 | 4 months ago

Fakta Pahit Kinerja Cukai 2023

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Rezim cukai rokok tinggi bak senjata makan tuan. Alih-alih menekan prevalensi, kebijakan tak populis ini justru merugikan pemerintah dalam bentuk penggerusan penerimaan negara.

Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok terbilang amat agresif, dan kenaikannya berada di dua digit.

Pada 2020, CHT secara rata-rata naik 23,2%, kemudian 12,5% pada 2021, 12% pada 2022, serta 10% yang berlaku pada tahun lalu dan tahun ini.

Memang, kebijakan cukai rokok muliyears memberikan kepastian bagi pelaku industri, karena tak harus dibuat waswas dengan kebijakan yang penuh ketidakpastian setiap pengujung warsa.

Akan tetapi, situasi ekonomi tampaknya tak mendukung kebijakan tersebut. Tekanan inflasi, serta dampak naiknya harga bahan bakar minyak (BBM) memukul daya beli masyarakat.

Pada saat bersamaan, harga jual produk hasil tembakau makin mahal. Alhasil, pergeseran konsumsi pun terjadi, yakni masyarakat berpindah dari produk hasil tembakau golongan dengan tarif tinggi ke golongan dengan tarif lebih murah.

Selisihnya pun amat jauh. Sigaret Kretek Mesin (SKM) Golongan I, misalnya yang tarif cukai per batangnya pada tahun lalu Rp1.101, sedangkan SKM Golongan II hanya Rp669. Kemudian, Sigaret Putih Mesin (SPM) Golongan I yang tarif cukai per batangnya pada tahun lalu Rp1.193, sedangkan SPM Golongan II hanya Rp710.

Adanya pergeseran itu pun terbukti dari data Kementerian Keuangan yang mencatat adanya penurunan produksi Golongan I mencapai 14%, sedangkan produksi Golongan II justru naik 11,6%, dan Golongan III melesat 28,2%.

Jika dicermati dengan saksama, pertumbuhan produksi Golongan II dan Golongan III jauh lebih tinggi dibandingkan dengan penurunan produksi Golongan I yang menandakan adanya gelombang pergeseran yang cukup masif.

Pada akhirnya, kas negara pun harus terkena imbasnya yang ditandai dengan penurunan penerimaan CHT dalam postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023.

“Penerimaan cukai menurun dampak kebijakan pengendalian konsumsi rokok dan menjaga keberlangsungan tenaga kerja industri rokok,” tulis Laporan Realisasi APBN 2023 Kementerian Keuangan.

Sekadar mengingatkan, kebijakan cukai rokok mengusung empat aspek penting, yakni pengendalian, tenaga kerja, penerimaan negara, dan pengawasan.

Jika menilik data realisasi APBN tersebut, tampaknya keempat unsur itu hampir tak berhasil diamankan oleh pemangku kebijakan.

Pertama, dari sisi pengendalian, faktanya produksi rokok Golongan I dan Golongan II justru meningkat yang menandakan permintaan konsumen masih cukup tinggi.

Kedua, tenaga kerja yang justru dihadapkan dengan bayang-bayang kecemasan soal masa depan lantaran turunnya produksi Golongan I yang mencakup produsen-produsen jumbo di Tanah Air.

Ketiga, penerimaan negara yang jelas langsung tersengat dengan turunnya realisasi penerimaan cukai sebesar 2,24% menjadi Rp221,8 triliun pada tahun lalu dan gagal mencapai target APBN 2023.

Keempat, pengawasan yang sudah tampak jelas penuh dengan tantangan. Musababnya, makin tingginya tarif CHT selalu diikuti dengan kian semaraknya peredaran rokok ilegal.

Memang, penerimaan cukai juga berasal dari etil alkohol dan MMEA. Namun, faktanya hasil tembakau menyumbang hampir keseluruhan dari penerimaan cukai nasional.

Pemerintah pun seolah mengabaikan fakta tersebut dengan tetap bergerak agresif menggunakan tarif sebagai satu-satunya instrumen untuk menekan prevalensi. “Kami akan melanjutkan kebijakan penyesuaian tarif CHT [pada APBN 2024] yang telah ditetapkan sejak 2022,” kata Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani.

Sesungguhnya, pemerintah tak menampik adanya keterbatasan efektivitas dari rezim cukai tinggi terhadap pola konsumsi atau prevalensi.

EVALUASI

Bisnis mencatat, medio tahun lalu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sempat mengungkapkan rencana evaluasi strategi soal cukai rokok. Dasar dari gagasan itu adalah kurang maksimalnya peran instrumen tarif untuk megendalikan konsumsi.

Namun tampaknya keberhasilan dalam mempercepat konsolidasi fiskal melahirkan lena yang pada akhirnya menidurkan pemangku kebijakan untuk mengevaluasi skema tarif cukai rokok.

Sementara itu, kalangan ekonom memandang pemerintah sejatinya amat kelimpungan untuk mendulang penerimaan dari cukai. Sebab sejauh ini hanya ada tiga jenis cukai yang dipungut, yakni rokok, etil alkohol, dan MMEA.

Dari ketiganya, rokok menjadi tumpuan, sehingga ketika terjadi dinamika yang merugikan industri maka akan turut menekan penerimaan negara.

Ada dua usulan yang disampaikan pemerhati cukai untuk menjaga penerimaan. Pertama, mempercepat penyusunan Peta Jalan Pengelolaan Produk Hasil Tembakau. Kedua, menyegerakan ekstensifikasi barang kena cukai.

Ekonom Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Andry Satrio menyarankan kepada pemerintah untuk menentukan arah dari peta jalan tersebut.

Apabila Indonesia hendak mengikuti tren banyak negara yang berupaya memberangus konsumsi rokok, tentu ini akan memiliki efek yang besar dan patut dipertimbangkan. Selain itu, pemerintah juga wajib menyediakan ladang penghasilan petani tembakau untuk menjaga daya beli, konsumsi, serta keberlanjutan ekonomi.

“Masing-masing memiliki keterikatan dan ini cukup sulit karena akan masuk pada tataran politik. Inilah yang menyebabkan pembahasan IHT selalu terhenti,” ujarnya.

Pemerhati Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan, seharusnya pungutan atas cukai baru dilakukan sejak 2 tahun lalu, tepatnya setelah implementasi UU No. 7/2021.

Pasalnya, regulasi sapu jagat di bidang perpajakan itu turut memuat substansi soal penambahan pungutan cukai baru, sehingga dijadikannya plastik dan MBDK sebagai objek cukai memiliki legalitas, serta momentum yang kuat. “Saat itu menjadi momentum paling tepat untuk melakukan ekstensifikasi barang kena cukai.

”Cukai rokok selalu penuh polemik. Banyaknya aspek yang terlibat turut mengiringi kuatnya tarik ulur kepentingan antarpihak.

Prevalensi acapkali menjadi dalih pemangku kebijakan dan kelompok aktivis untuk membatasi eksistensi IHT yang memiliki rantai tata niaga dan industri amat panjang.

Ada petani tembakau, pekerja pabrik, distributor kecil, toko ritel, hingga toko kelontong. Belum lagi untuk cengkeh yang juga memiliki andil besar dalam IHT, sehingga perlu pula diperhatikan.

Meski menyadari adanya empat aspek, sejauh ini arah kebijakan hanya berfokus ke satu isu yakni pengendalian. Buktinya, pemerintah selalu mengatrol tarif dengan tinggi meski menyadari adanya konsekuensi yang berat.

Jadi, otoritas terkait pun perlu menimbang ulang arah kebijakan cukai dengan memberikan keadilan bagi seluruh aspek yang menjadi pertimbangan. Pengendalian, tenaga kerja, penerimaan negara, dan pengawasan