05 Januari 2024 | 4 months ago

Jalan Pintas Pungutan Cukai

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Luputnya target penerimaan cukai pada tahun lalu, serta makin tak tentunya ekstensifikasi, mendorong pemangku kebijakan untuk memanfaatkan berbagai peluang yang terbuka.

Utak-atik tarif barang kena cukai (BKC) pun dilakukan, baik untuk hasil tembakau (HT) atau rokok, etil alkohol (EA), minuman mengandung etil alkohol (MMEA), maupun konsentrat yang mengandung etil alkohol (KMEA).

Soal tarif rokok yang naik 10%, pelaku industri tak heran mengingat ketentuan itu diputuskan sejak 2022.

Namun, soal cukai alkohol beda hal. Keputusan yang tiba-tiba ini memberikan hentakan kepada dunia usaha. Apalagi, kenaikan tarif cukai alkohol tak dilakukan setiap tahun.

Berdasarkan data Ditjen Bea Cukai, kenaikan tarif MMEA untuk Golongan B dan C terakhir kali pada 2014, sedangkan Golongan A pada 2018.

Besaran kenaikan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 160/2023 tentang Tarif Cukai Etil Alkohol, Minuman yang Mengandung Etil Alkohol, dan Konsentrat yang Mengandung Etil Alkohol, berlaku per 1 Januari 2024.

Tentu kenaikan tarif ini akan menambah penerimaan negara dari sektor cukai. Namun yang perlu dicermati, sumbangsih cukai alkohol terhadap total penerimaan cukai sangat mini.

Sekadar memberi gambaran, target total cukai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 senilai Rp246,07 triliun. Dari jumlah itu, EA hanya Rp104,28 miliar dan MMEA Rp9,33 triliun. Sumber utama penerimaan cukai ada pada rokok yang pada 2024 ditargetkan Rp230,4 triliun. Alhasil, kenaikan tarif cukai alkohol pun tak akan berpengaruh signifikan.

Di sisi lain, setoran cukai rokok terbilang ngos-ngosan karena pada tahun lalu pun gagal mencapai target. Pemicunya tarif terlalu tinggi sehingga terjadi migrasi konsumsi dari rokok golongan bertarif mahal ke golongan bertarif murah. (Bisnis, 4/1).

Sementara itu, ekstensifikasi BKC yang tertuang dalam APBN sejak delapan tahun lalu selalu gagal dieksekusi, meski Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah memberikan lampu hijau sejak 2020 silam.

Ekstensifikasi yang dimaksud adalah pengenaan cukai untuk produk plastik dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Potensi penerimaan dari keduanya pun jauh lebih besar dibandingkan dengan cukai alkohol.

Mengacu data Ditjen Bea dan Cukai yang diperoleh Bisnis, potensi penerimaan cukai plastik dan MBDK mencapai Rp13,52 triliun per tahun.

Apalagi, pemerintah sejatinya telah memiliki skema atas penentuan barang dan mekanisme pungutan baik untuk plastik maupun MBDK.

Misalnya untuk kantong belanja plastik, yang dikenai cukai adalah kantong kresek dengan ketebalan hingga 75 mikron. Kemudian soal MBDK, skema tarif yakni Rp650/liter.

Saat dihubungi Bisnis, otoritas kepabeanan dan cukai menampik bahwa kenaikan tarif cukai alkohol disebabkan oleh macetnya ekstensifikasi.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, mengatakan kenaikan tersebut dilakukan sebagai bagian dari pembaruan tarif. Selain itu, volume produksi khusus untuk MMEA terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.

"Karena sistem tarif cukai spesifik, jadi tarifnya harus disesuaikan secara berkala agar tidak tergerus inflasi," katanya kepada Bisnis, Kamis (4/1).

Dia menambahkan, perubahan kebijakan ini telah melalui proses panjang dan melibatkan sejumlah pihak terkait, termasuk dunia usaha.

"Public hearing telah dilakukan kepada pengusaha pabrik dan importir MMEA, internalisasi juga sudah dilakukan," tegasnya.

Sementara itu, kalangan pelaku usaha dan pemerhati perpajakan menyarankan pemerintah untuk menggali potensi penerimaan cukai dari sektor lain. Jika ekstensifi kasi tidak dilakukan maka hanya bisa mengandalkan sumber yang ada.

Anggota Internastional Spirits and Wine Association (ISWI) Dendy A. Borman, mengatakan kebijakan itu bakal memengaruhi pengusaha. Saat ini asosiasi masih mengestimasi penurunan omzet dari kebijakan tersebut.

Direktur Keuangan dan Sekretaris Perusahaan PT Hatten Bali Tbk. (WINE) Ketut Sumarwan, menambahkan perseroan harus mengeluarkan modal kerja lebih besar untuk pembelian pita cukai. Seturut dengan kenaikan biaya produksi, kenaikan harga penjualan juga berpeluang meningkat. "Serta adanya kenaikan HPP [Harga Pokok Penjualan] walau tidak sebesar kenaikan cukai."

Direktur Utama PT Lovina Beach Brewery Tbk. (STRK) Bona Budhisurya, menilai penyesuaian tarif membuat minuman beralkohol produksi lokal memiliki banderol yang lebih mahal.

Adapun, pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar, memandang optimalisasi penerimaan melalui kenaikan tarif MMEA merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan penerimaan.

Di sisi lain, masih ada ketidakpastian dalam implementasi ekstensifikasi BKC, termasuk besarnya risiko politik. "Jadi wajar jika opsi optimalisasi penerimaan cukai MMEA menjadi pilihan, tidak dapat ditawar," katanya. (Maria Elena/Ni Luh Anggela/Dionisio Damara)