08 Januari 2024 | 3 months ago

Pengaman Baru Darurat Ekonomi

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Pandemi Covid-19 hingga gejolak eksternal yang mengangkat infl asi dalam beberapa tahun terakhir dijadikan pelajaran betul oleh pemerintah. Instrumen anyar untuk menangani darurat ekonomi pun diterbitkan.

Skenario soal penanganan darurat ekonomi tertuang dalam PP No. 1/2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional yang menjadi aturan turunan dari UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau HKPD.

Dalam beleid yang diundangkan 2 Januari 2024 tersebut, pemerintah menetapkan empat mekanisme penanganan atau pengendalian ketika ekonomi dalam kondisi darurat.

Pertama, melaksanakan pengutamaan penggunaan (refocusing) dan realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Kedua, mengarahkan pengutamaan penggunaan (refocusing) dan realokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), serta melakukan perubahan penggunaan APBD.

Ketiga, menetapkan penyesuaian atas kumulatif defisit APBD dengan memperhatikan defisit APBN. Keempat, menetapkan penyesuaian batas rasio pembiayaan utang daerah atau produk domestik bruto (PDB).

“Yang dimaksud dengan kondisi darurat adalah memburuknya kondisi ekonomi makro dan keuangan yang menyebabkan fungsi dan peran APBN dan APBD tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien,” tulis penjelasan PP No. 1/2024 yang dikutip Bisnis.

Ada tiga indikator ketika ekonomi dinyatakan dalam kondisi darurat. Pertama, proyeksi pertumbuhan ekonomi di bawah asumsi dan deviasi asumsi dasar ekonomi makro lainnya secara signifikan.

Kedua, proyeksi penurunan pendapatan negara/daerah dan/atau meningkatnya belanja negara/daerah secara signifikan.

Ketiga, adanya ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan.

Dalam kaitan ini, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, memandang disusunnya regulasi ini tak lepas dari beratnya tekanan ekonomi yang telah dialami oleh Indonesia, mulai dari inflasi, efek kenaikan suku bunga acuan, serta dampak perang baik di Eropa Timur maupun Timur Tengah.

Kendati demikian, dia menyarankan kepada pemerintah untuk lebih memerinci kriteria daerah yang memiliki keleluasaan tinggi untuk dilakukan perubahan belanja ketika ekonomi dalam kondisi darurat.

“Perlu disusun karakteristik dan kriterianya. Memang kebijakan ini sejalan untuk menjawab dinamika global, tetapi perlu dipertimbangkan kapasitas fiskal daerah,” katanya kepada Bisnis, Minggu (7/1).

Armand menambahkan, idealnya kebijakan ini tidak diberlakukan kepada seluruh daerah. Menurutnya, hanya daerah dengan kapasitas fiskal yang cukup solid dapat dilibatkan untuk menangkal darurat ekonomi.

Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet, mengatakan tantangan ada pada konsistensi pemerintah daerah (pemda) dalam menjalankan arahan pemerintah pusat.

Apalagi, pemda biasanya memiliki arah dan rencana kerja serta pembangunan yang tidak sejalan dengan program nasional.

“Komunikasi antara daerah dan pusat seharusnya lebih intensif dan kebijakan atau aturan turunan UU HKPD juga perlu mengakomodir hal tersebut,” katanya.

Yusuf menambahkan, aspek pengawasan menjadi penting agar daerah bisa menjalankan arahan pemerintah pusat di tengah terbatasnya ruang fiskal pascapandemi Covid-19.

KEMANDIRIAN FISKAL

Sementara itu, kemandirian fiskal daerah berada di persimpangan. Di satu sisi, pemda dituntut untuk meningkatkan pendapatan guna meminimalisir ketergantungan transfer pemerintah pusat, sementara di lain sisi raja lokal juga diminta untuk menebar insentif bagi pelaku usaha.

PP No. 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah atau PDRD, memberikan ruang bagi pemda untuk mengoptimalisasi penerimaan sehingga mampu mencapai target rasio pajak daerah secara nasional sebesar 3%.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio pajak daerah secara nasional pada 2022 lalu hanya 1,3%. Artinya, butuh upaya ekstra untuk bisa merealisasikan target rasio pajak hingga mencapai angka 3%.

Namun di sisi lain, pemda juga dituntut untuk memberikan insentif dengan longgar kepada investor termasuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang pasti memengaruhi kemandirian fiskal.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kemudahan berusaha secara merata serta melinierkan program daerah dengan pemerintah pusat, utamanya soal perizinan, investasi, serta kemudahan berusaha. Inilah kemudian yang menimbulkan problematika di daerah.

Direktur Pendapatan Daerah Ditjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Hendriwan, mengatakan insentif daerah untuk investor diberikan dalam bentuk pengurangan atau keringanan pajak, hingga penghapusan sanksi denda.

Stimulus itu diberikan dengan mempertimbangkan efek yang dimunculkan dari aktivitas penanaman modal yang dilakukan oleh pelaku usaha. “Harus ada insentif fiskal daerah kepada pelaku usaha,” katanya.