09 Januari 2024 | 3 months ago

Setoran Optimal dari Daerah

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, PALEMBANG — Sejumlah provinsi mencatatkan performa penerimaan pajak yang cukup apik sepanjang tahun lalu. Performa ciamik ini tak lepas dari pemulihan industri dan perdagangan di berbagai daerah, selepas tertahan pada masa pandemi Covid-19.

Sumatra Selatan, misalnya yang mencatatkan performa gahar penerimaan negara sepanjang tahun lalu dari perpajakan.

Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Provinsi Sumatra Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung (SumselBabel) melaporkan telah mencapai target penerimaan di seluruh unit kerja pada 2023.

Kepala Kanwil DJP SumselBabel Tarmizi menjelaskan bahwa target penerimaan APBN 2023 sebesar Rp20,43 triliun, dan target penerimaan Peraturan Presiden (Perpres) No. 75/2023 sebesar Rp20,74 triliun.

Dari target itu, imbuhnya, capaian SumselBabel sepanjang 2023 yakni penerimaan bruto sebesar Rp23,61 triliun, dan penerimaan neto sebesar Rp21,81 triliun.

“Secara persenan itu 106,8% dari target APBN, dan 105,2% dari target Perpres No. 75/2023,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (8/1).

Dia memerinci bahwa penerimaan pajak berdasarkan masing-masing jenis terdiri atas Pajak Penghasilan (PPh) sebesar Rp9,59 miliar, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Rp9,52 miliar, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) P5L Rp2,47 miliar, dan Pajak lainnya sebesar Rp221,55 miliar.

Sementara itu, imbuhnya, apabila dilihat dari empat sektor dalam kegiatan usaha di Kanwil DJP SumselBabel, maka penerimaan pajak adalah sektor industri pengolahan sebesar Rp2,9 miliar, sektor administrasi pemerintahan dan jaminan sosial wajib Rp3,60 miliar, sektor pertambangan dan penggalian sebesar Rp4,07 miliar.

Adapun, Tarmizi menyebut bahwa sektor dengan kontribusi terbesar adalah perdagangan besar dan eceran yang penerimaan pajaknya mencapai Rp4,70 miliar.

“Dari empat sektor kegiatan usaha yang memberi kontribusi dominan, yakni dari sektor perdagangan besar dan eceran,” katanya.

Tak hanya Kanwil DJP SumselBabel, performa penerimaan pajak di Kanwil DJP Sumatra Utara I (Sumut I) juga mampu mencapai 102,35% dari target yang telah ditetapkan.

Kepala Kanwil DJP Sumut I Arridel Mindra mengatakan bahwa penerimaan DJP Sumut I pada 2023 mencapai Rp27,78 triliun.

“Jumlah ini lebih dari yang ditarget Perpres No.75/2023, sebesar Rp27,14 triliun,” katanya, akhir pekan lalu.

Dia memaparkan bahwa ada tiga sektor sumber penerimaan terbesar yang mendominasi oleh penerimaan pajak Kanwil DJP Sumut I.

Pertama, sektor Industri Pengolahan dengan kontribusi sebesar 34,74% atau Rp9,65 triliun.

Kedua, sektor Perdagangan Besar dan Eceran serta Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor sebesar 30,13% atau Rp8,37 triliun.

Ketiga, sektor Administrasi Pemerintahan dan Jaminan Sosial Wajib sebesar 8% atau Rp2,22 triliun.

“Kalau berdasarkan jenis pajaknya, kontributor terbesar kinerja penerimaan Kanwil DJP Sumut I adalah PPN Dalam Negeri sebesar 30,67% atau Rp8,52 triliun. Lalu ada PPh Pasal 25/29 Badan berkontribusi sebesar 27,5% atau Rp7,64 triliun, dan PPN Impor berkontribusi sebesar 12,13% atau Rp3,37 triliun,” jelasnya.

Sementara itu, penerimaan pajak di Kanwil DJP Jatim III juga berhasil menembus Rp32,86 triliun pada tahun lalu, atau 102,16% dari target yang ditetapkan sebesar Rp32,17 triliun.

Kepala Kanwil DJP Jawa Timur III Farid Bachtiar mengatakan bahwa capaian sebesar itu berarti tumbuh sebesar 8,31% secara tahunan (year-on-year/YoY)

“Jika struktur capaian penerimaan pajak dilihat berdasarkan jenis pajaknya, maka PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBm) mencatatkan porsi penerimaan tertinggi sebesar 64,11%,” ujarnya, akhir pekan lalu.

Menurutnya, dari capaian penerimaan pajak tersebut, porsi penerimaan pajak yang terbesar diperoleh dari sektor industri pengolahan dengan realisasi sebesar Rp22,8 triliun atau tumbuh sebesar 16,08% YoY.

Oleh karena itu, dia mengapresiasi seluruh jajaran pegawai dan wajib pajak yang telah berkontribusi terhadap pencapaian itu.

Dia menilai bahwa keberhasilan tersebut tak lepas dari hasil kerja keras dan dedikasi tinggi seluruh pegawai di lingkungan Kanwil DJP Jawa Timur III.

“Saya mengucapkan terima kasih kepada seluruh pegawai dan wajib pajak yang telah bekerja sama untuk mencapai target ini,” jelasnya.

Farid menambahkan bahwa tahun ini merupakan tahun yang penuh tantangan. Oleh karena itu, pihaknya menyiapkan strategi baru dalam pengawasan kepatuhan.

Tujuan strategi anyar ini, imbuhnya, adalah untuk meningkatkan tax base, produktivitas sumber daya manusia (SDM), dan mendorong peningkatan kepatuhan wajib pajak.

“Situasi yang akan kita hadapi pada 2024 tentu membutuhkan daya tahan atau resiliensi dan semangat dari semua pihak untuk mendorong kinerja organisasi dan SDM di wilayah kerja Kanwil DJP Jatim III agar dapat berjalan dengan baik dan berintegritas,” katanya.

Di sisi lain, Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Joko Budi Santoso menilai bahwa capaian positif terkait penerimaan pajak tersebut mengindikasikan bahwa perekonomian telah pulih dan diimbangi oleh daya beli masyarakat yang terjaga.

Menurutnya, bergeraknya sektor-sektor industri dan terbukanya lapangan kerja memberikan multiplier effect pada penerimaan pajak.

Selain itu, imbuhnya, kemudahan layanan perpajakan yang terus meningkat, baik layanan secara daring maupun layanan luring di kantor pajak, juga menjadi pendorong kepatuhan wajib pajak dalam menunaikan kewajiban perpajakan.

“Hal yang tak kalah penting adalah citra positif yang terus dijaga oleh Kementerian Keuangan dari ulah negatif oknum-oknum perpajakan juga berdampak pada kepercayaan masyarakat pada institusi ini yang terjaga,” jelasnya.

PAJAK WELLNESS

Pada perkembangan lain, pelaku usaha dan pariwisata di Bali mengeluhkan kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) menjadi 40% terlalu ekstrem, dan memberatkan pelaku usaha yang masuk dalam kategori PBJT.

Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya menjelaskan bahwa kebijakan tersebut kurang tepat dan kurang sosialisasi, karena menyamaratakan besaran pajak spa dengan pajak hiburan seperti klub malam dan tempat karaoke.

Padahal, imbuhnya, usaha-usaha tersebut memiliki segmen konsumen yang berbeda.

Menurutnya, spa berada di bawah naungan PHRI lantaran banyak usaha spa satu paket dengan hotel.

Suryawijaya memandang bahwa kenaikan dari 15% menjadi 40% merupakan kebijakan yang ekstrem dan bisa mematikan usaha spa.

“Masa dari 15% menjadi 40%. Ini kalau kenaikan, iya pelan-pelan. Jangan terburu-buru. Jadi jangan kagetin usaha, dan itu akan mematikan usaha, itu ekstremnya. Hati-hati kita kan baru recovery namanya ini baru sembuh dari pandemi Covid,” jelasnya, Senin (8/1).

Selain itu, PHRI Bali juga merasa tidak dilibatkan dalam penyusunan kenaikan pajak tersebut. Padahal, Pulau Dewata merupakan wilayah yang paling banyak memiliki usaha spa dibandingkan dengan lainnya.

Bahkan, ia juga menilai bahwa kebijakan tersebut juga dinilai kurang sosialisasi, sehingga banyak pengusaha spa yang kaget dan tidak paham latar belakang pemerintah menaikan pajak hingga 40%.

Suryawijaya mengaku bahwa banyak pelaku usaha spa yang sudah mengadu ke PHRI dan menyatakan keberatan terkait dengan kebijakan tersebut.

Oleh karena itu, PHRI mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kenaikan pajak 40% tersebut lantaran berpotensi mematikan usaha wellness spa yang mulai tumbuh di Bali.

Apalagi, imbuhnya, Bali kini juga tengah berusaha mengangkat potensi pariwisata wellness spa dengan menghadirkan spa berbasis kearifan lokal Bali.

“Kami mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan tersebut. Jadi kalau usaha spa tutup semua akan menambah pengangguran di Bali. Kenaikan pajak akan menyebabkan kenaikan harga, jika itu tidak ada pemasukan, spa akan tutup,” jelasnya.