10 Januari 2024 | 3 months ago

Pemda Tak Bisa Memungut Pajak

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Upaya pemerintah pusat dalam membantu pendalaman kapasitas fiskal daerah menghadapi kendala. Optimalisasi penerimaan untuk menguatkan kemandirian fiskal terganjal oleh masih banyaknya daerah yang belum menyelesaikan regulasi soal pajak dan retribusi.

Padahal, UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau HKPD mengamanatkan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk segera menyusun Peraturan Daerah (Perda) Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD).

Musababnya, Perda PDRD yang disusun berdasarkan UU No. 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah hanya berlaku sampai 2 tahun sejak diundangkannya UU HKPD pada 5 Januari 2022.

Dengan demikian, ketentuan PDRD dalam UU No. 28/2009 tak lagi berlaku pada tahun ini, tepatnya sejak 5 Januari lalu. Sebagai gantinya, skema PDRD harus mengacu kepada UU HKPD.

Apabila pemda tak melakukan amanat regulasi tersebut, maka daerah tak akan mendapatkan setoran, sehingga kinerja penerimaan asli daerah (PAD) pun bakal terjun bebas.

Penyebabnya adalah tidak adanya legalitas dari pejabat di daerah untuk melakukan pungutan, baik pajak maupun retribusi. Perda yang lama kedaluwarsa, sedangkan perda baru belum sepenuhnya dituntaskan.

Celakanya, hingga saat ini masih banyak pemda yang belum menyelesaikan mekanisme penyusunan, serta sinkronisasi Rancangan Perda soal PDRD tersebut.

Saat dihubungi Bisnis, Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman tak memberikan pernyataan soal jumlah pemda yang sampai detik ini belum menuntaskan Perda PDRD terbaru.

Namun, berdasarkan data Ditjen Perimbangan Keuangan per 28 November 2023, dari 522 daerah yang ada tercatat sebanyak 168 pemda belum menyelesaikan seluruh tahapan Rancangan Perda PDRD.

Secara terperinci, 121 pemda belum menyampaikan permohonan evaluasi kepada Menteri Keuangan, 44 pemda menyampaikan permohonan namun kurang lengkap, dan 3 pemda dikembalikan permohonannya namun belum menyampaikan kembali.

Adapun, batas maksimal evaluasi Raperda PDRD tersebut pada 10 Desember 2023.

Terbatasnya PAD karena nihilnya legalitas itu kemudian akan mengganggu perencanaan belanja wajib Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), di antaranya pendidikan, infrastruktur, dan belanja wajib lainnya.

Direktur Pendapatan Daerah Ditjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Hendriwan mengatakan, esensi dari UU HKPD adalah untuk penguatan PAD, sehingga bisa meminimalisir transfer dari pemerintah pusat.

“Perda PDRD adalah dasar untuk memungut pajak dengan efisien. Kalau perda belum jadi pajak tidak bisa dipungut,” katanya, beberapa waktu lalu.

Dia menambahkan, Perda PDRD tidak hanya mengatur soal mekanisme, serta tarif pajak dan retribusi di daerah, juga skema pemberian insentif dalam rangka meningkatkan kemudahan berusaha dan investasi.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman mengatakan, ada dua faktor yang menghambat penyusunan Perda PDRD.

Pertama, menentukan formulai yang tepat terkait dengan kebijakan pajak dan retribusi daerah yang sesuai dengan konteks lokal. Terutama dalam rangka menyeimbangkan fungsi budgeter dan regulerend dari kebijakan fiskal tersebut.

Kedua, eksekutif dan legislatif masih membahas atau belum menemukan kata sepakat, sehingga pembahasan Raperda PDRD butuh waktu lebih lama.

“Kali ini memang cukup berat, karena mereka harus menetapkan kebijakan PDRD dalam satu perda saja, tidak boleh terpisah-pisah,” katanya, Selasa (9/1).

Meski demikian, Armand memandang sejatinya UU HKPD tidak secara signifikan mengerek penerimaan daerah.

Sebab, mayoritas substansi skema serta tarif soal pajak dan retribusi tak berubah dibandingkan dengan beleid sebelumnya, yakni UU No. 28/2009.

Tercatat hanya ada dua poin yang sepenuhnya baru, yakni opsen pajak dan pajak alat berat (PAB) yang kesemuanya pun memiliki kans untuk dilakukan restitusi alias pengembalian.

“Persoalan terbesar sekarang adalah kemandirian fiskal daerah, karena memang pendapatan asli daerah dari pajak di daerah masih kecil,” katanya.

Arman menambahkan, beleid ini hanya akan menambah PAD untuk kawasan tertentu, terutama daerah yang lebih maju dari sisi perdagangan dan jasa.

Oleh karena itu, Arman menilai kebijakan harus dibuat agar daerah mampu menarik investasi dan bisa meningkatkan pertumbuhan sektor-sektor utama pengungkit ekonomi dalam rangka memperkuat PAD.

“Karena sebenarnya tarif dan objek pajak masih sama dengan UU No. 28/2009, kecuali dengan adanya opsen dan penambahan baru pajak alat berat,” ujarnya.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menambahkan, pemerintah pusat perlu melakukan pengawasan secara ketat soal implementasi PDRD yang baru.

Pasalnya, regulasi yang disusun oleh perda juga tak hanya memperhatikan optimalisasi penerimaan di daerah, melainkan juga pemberian insentif kepada dunia usaha.

Dalam rangka menguatkan kapasitas fiskal daerah, dia menyarankan agar pemerintah pusat memberikan batasan waktu pemberian insentif, termasuk mempertimbangkan kemampuan masing-masing daerah.

Sehingga, ketika perekonomian sudah pulih, insentif pajak dan retribusi dicabut, pemerintah mendapatkan tambahan penerimaan.

“Konsekuensi logisnya adalah PAD [pendapatan asli daerah] meningkat, dan pemerintah mampu mewujudkan kemandirian fiskal,” katanya.