10 Januari 2024 | 3 months ago

Rintangan Baru Ekonomi Bali

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Persoalan penghambat laju pemulihan pariwisata Bali tak kunjung berhenti. Masalah kemacetan dan sampah belum terselesaikan, kini para pebisnis di Pulau Dewata menghadapi tantangan baru akibat diberlakukannya Pajak Berusaha dan Jasa Tertentu.

Bahkan, Pemperintah Provinsi (Pemprov) Bali juga telah menyatakan bahwa masuknya usaha SPA dalam Pajak Berusaha dan Jasa Tertentu (PBJT) tidak tepat.

Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Tjok Bagus Pemanyun. Dia menilai bahwa kebijakan itu tidak tepat lantaran usaha wellness spa bukan bagian usaha hiburan yang mewah melainkan bagian dari budaya Pulau Dewata yang sudah ada sejak lama.

Dia menjelaskan bahwa usaha spa sudah dijalani oleh masyarakat Bali sejak lama, dan telah menjadi bagian dari pariwisata Bali lantaran diminati oleh wisatawan nusantara maupun mancanegara.

“Kami menginginkan spa ini tidak disamakan dengan hiburan. Di Bali kan berbasis budaya. Makanya ada Balinese Spa Tradisional yang terkenal. Bahkan terapis kami sampai ke luar negeri,” jelasnya, Selasa (9/1).

Pemprov Bali juga telah menerima aduan dari para pelaku usaha spa yang keberatan dengan pajak sebesar 40%.

Tjok Bagus menyebut bahwa pihaknya akan menindaklanjuti aduan tersebut dengan melakukan kajian komprehensif terkait usaha spa di Bali sehingga pemerintah pusat memiliki pertimbangan dan landasan yang kuat untuk meninjau ulang Undang-Undang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) yang memayungi PBJT.

Data Pemprov Bali menunjukkan bahwa jumlah pelaku usaha spa di Bali mencapai 963 pebisnis. Dari jumlah itu, imbuhnya, sebagian pelaku usaha spa tradisional, bukan pelaku usaha besar seperti usaha hiburan.

Jika pemberlakuan PBJT dipukul rata, imbuhnya, maka dikhawatirkan akan berdampak ke lapangan kerja lantaran meningkatnya harga jasa spa bakal naik tinggi yang akan memberatkan konsumen.

Tjok Bagus memandang bahwa pengenaan PBJT ini juga bertolak belakang dengan target pemerintah yang membebani Bali dengan target 7 juta wisatawan pada tahun ini.

“Adanya spa tradisional dan hiburan juga salah satu alasan wisatawan berkunjung ke Pulau Dewata,” katanya.

Sementara itu, para pebisnis Bali memandang bahwa pengenaan PBJT sebesar 40% tidak masuk akal dan berpotensi membuat pengusaha melakukan tindakan diluar aturan untuk menghindari pajak.

Pemilik Get Up—salah satu pusat hiburan di Denpasar—I Gede Sudiantara menjelaskan bahwa tingginya tarif PBJT itu sudah diluar kewajaran dan dinilai akan menekan lapangan usaha yang sedang dalam tahap recovery.

“Menurut kami ini irasional, bagaimana bisa perusahaan membayar pajak 40% dari omzet yang didapat. Kami harus menjual berapa ke konsumen,” katanya.

Menurutnya, pengenaan pajak ini juga berisiko membuat investor angkat kaki dari Indonesia, khususnya dari Bali. Padahal lapangan usaha hiburan merupakan salah satu andalan Bali untuk mendatangkan wisatawan.

Sudiantara berharap pemerintah dapat meninjau ulang peraturan tersebut.

“Jika beban usaha ditambah dengan pajak yang begitu tinggi, tentu akan berimbas pada perekonomian masyarakat luas yang terkait dengan industri hiburan maupun spa. Siapa yang mau berbisnis dengan pajak yang tinggi,” katanya.

Adapun, naiknya besaran pajak wellness spa dari 15% menjadi 40% itu termuat dalam pasal 58 ayat 2 tentang pajak barang dan jasa tertentu UU HKPD. Aturan ini dinilai bakal mengusik pemulihan ekonomi Bali yang sudah dipenuhi sekelumit persoalan.

Pengamat Ekonomi Universitas Pendidikan Nasional Bali Ida Bagus Raka Suardana menjelaskan bahwa para pelaku usaha spa banyak yang kaget mereka masuk dalam kategori PBJT 40% di UU HKPD.

Padahal, imbuhnya, industri ini tidak sebesar industri hiburan seperti klub dan karaoke.

Dia menilai bahwa kurangnya sosialisasi dan pelibatan pelaku usaha yang menjadi objek dalam beleid itu membuat pengusaha kaget dan langsung protes.

“Yang jelas ini memberatkan wellness spa. Kan baru satu tahun pariwisata bangkit di Bali, itu juga belum pulih sepenuhnya. Pajak 40% otomatis akan menaikkan harga, misalnya harga spa awalnya Rp600.000, menjadi Rp1 juta. Itu kan jauh sekali naiknya, karena pajaknya Rp400.000. Sementara pelaku usaha juga harus membayar gaji, dan biaya lainnya,” jelasnya, Senin (8/1).

Dia menilai bahwa Pemprov Bali harus mengakomodir keberatan para pelaku usaha dengan membawa aspirasi mereka ke pemerintah pusat, sehingga aturan tersebut bisa ditinjau ulang dan tidak diberlakukan dengan tergesa–gesa.

GUGATAN

Pada perkembangan lain, Asosiasi usaha spa melakukan permohonan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pasal 55 ayat 1 dan pasal 58 ayat 2 UU HKPD yang memasukkan usaha spa sebagai objek PBJT 40%.

Dua asosiasi yang melakukan gugatan yakni Perkumpulan Pengusaha Husada Tirta Indonesia yang dulu bernama Asosiasi Spa Indonesia (ASPI) dan Perkumpulan Asosiasi Terapis Spa Indonesia yang dulu bernama Asosiasi Spa Terapis Indonesia (ASTI).

Gugatan itu telah dilayangkan ke MK pada 3 Januari 2023. Dalam pokok permohonannya, para pemohon meminta MK melakukan pengujian UU No.1/2022 tentang HKPD, khususnya aturan tentang PBJT yang memasukkan spa sebagai objek pajak 40%, atau disamakan dengan industri hiburan seperti klub dan karaoke.

Ketua Umum Perkumpulan SPA Terapis Indonesia Mohammad Asyhadi menjelaskan bahwa alasan mendasar melakukan uji materi ke MK adalah tidak adanya kajian akademik dari masuknya usaha SPA sebagai objek pajak PBJT.

Selain itu, imbuhnya, asosiasi spa dan pengusaha yang terkait dengan spa tidak dilibatkan sama sekali oleh pemerintah maupun DPR dalam menyusun aturan itu.

“Kami tidak dilibatkan sama sekali oleh pemerintah maupun DPR. Kemudian dari penelusuran kami, tidak ada kajian akademik yang menjadi landasan aturan ini. Itu yang menyebabkan kami mengambil langkah untuk ke MK,” jelasnya, saat dihubungi Bisnis, Selasa (9/1).

Dia menilai bahwa tarif 40% pada PBJT bakal mematikan usaha spa lantaran harga jasa spa otomatis akan makin tinggi yang bakal mengurangi minat masyarakat melakukan terapi kesehatan spa.

Pelaku usaha spa, imbuhnya, juga akan makin terbebani dengan pajak yang besar. Pasalnya, selain PBJT 40%, pelaku usaha juga tetap membayar pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 11%, pajak penghasilan badan (PPh) 25%, PPh pribadi selaku pengusaha sebesar 5%—35%, tergantung penghasilan kena pajak atau PKP.

Bahkan, ada juga pajak bumi bangunan yang tergantung luas lahan dan bangunan tempat usaha, pajak pembangunan 1 atau PB 1 yang dikenakan 10% atas penjualan bila ada restoran, kemudian PPh 21 atas karyawan yang dipotong dari gaji karyawan, yang mana bersumber dari pendapatan perusahaan.

“Jadi kalau ditotal kami harus membayar pajak sebesar 67%, sementara gaji karyawan saja 20%, kalau dihitung dari laba kotor,” jelasnya.