12 Januari 2024 | 3 months ago

Implementasi Terganjal Aturan Teknis

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Skema pajak minimum global yang telah disepakati oleh 140 negara termasuk Indonesia resmi berlaku 1 Januari 2024. Namun, hingga detik ini pemerintah masih belum merampungkan instrumen hukum yang menjadi pijakan dari skema pajak baru itu.

Sejatinya, pemerintah telah memiliki regulasi yang bisa mengakomodasi substansi dalam skema pajak dalam Pilar 2: Global antiBase Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR).

Dasar itu adalah UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan PP No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.

Hanya saja, hingga detik ini aturan teknis di bawahnya, yakni Peraturan Menteri Keuangan, tak kunjung dirilis.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, saat ini otoritas fiskal tengah menyusun regulasi dalam bentuk peraturan menteri sebagai dasar dari implementasi pajak minimum global.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti menjelaskan bahwa pemerintah sepenuhnya siap untuk mengikuti konsensus yang difasilitasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) itu.

“Saat ini sedang disusun aturan pelaksanaannya berupa Peraturan Menteri Keuangan,” katanya kepada Bisnis, belum lama ini.

Sekadar mengingatkan, pajak minimum global bertarif 15% dan dikenakan kepada perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto di atas 750 juta euro per tahun.

Potensi bertambahnya penerimaan yang bisa dikantongi oleh seluruh negara dalam skema ini cukup signifikan.

OECD dalam laporan terbarunya yang dirilis 9 Januari 2024 mencatat, total potensi penerimaan tambahan dari implementasi pajak minimum global senilai US$155 miliar—US$192 miliar per tahun.

Akan tetapi, dalam jangka pendek Indonesia kemungkinan besar belum akan diuntungkan dengan implementasi pajak tersebut.

Menurut OECD, yurisdiksi yang mendapatkan berkah terlebih dahulu adalah negara suaka pajak.

Pasalnya, kawasan yang selama ini menerapkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan amat rendah itu mendapatkan penerimaan tambahan seiring dengan lebarnya jarak antara tarif pajak yang lama dengan konsensus sebesar 15%.

Negara tersebut di antaranya Irlandia, Belanja, Kepulauan Virgin Inggris, Swiss, Singapura, serta negara pusat investasi lainnya.

Head of Tax OECD Manal Corwin, mengatakan meski negara pusat investasi mendapatkan durian runtuh dalam jangka pendek, pada masa mendatang berkah tersebut akan memudar.

Hal itu disebabkan oleh keputusan dunia usaha yang akan mengalkulasi ulang kebijakan penanaman modalnya menyusul berlakunya tarif global.

Di sisi lain, pemberian insentif yang acapkali menjadi pemanis investasi tak lagi bisa dilakukan, lantaran kontradiktif dengan esensi pajak minimum global yang mengusung kesetaraan dan keadilan pajak.

“Kuncinya adalah keputusan yang diambil dunia usaha, karena insentif untuk investasi berkurang dengan adanya pajak minimum global,” ujarnya, Kamis (11/1).

Sejalan dengan diimplementasikannya skema baru ini, menurutnya investasi tak lagi ditentukan oleh banyaknya insentif fiskal atau tarif pajak korporasi yang rendah.

Sebaliknya, keputusan penanaman modal akan lebih bertumpu pada faktor krusial lain, terutama kondisi ketenagakerjaan domestik serta ketersediaan infrastruktur penunjang.

Sementara itu, implementasi pajak minimum global di Indonesia memang penuh dinamika.

Selain karena aturan teknis yang tak kunjung terbit, pemerintah juga memutuskan untuk mempertahankan insentif PPh Badan pada tahun ini dalam bentuk tax holiday dan tax allowance.

Padahal, jika insentif tetap tersaji saat Pilar 2 dieksekusi maka pemerintah berisiko kehilangan hak pemajakan.

Hal itu disebabkan oleh ketentuan Pilar 2 yang memberikan kewenangan kepada negara asal korporasi untuk memungut pajak jika negara pasar memberikan insentif sehingga tarif yang dibayarkan di bawah 15%.

United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dalam laporan berjudul Global Minimum Tax and Investment Treaties: Exploring Policy Options yang dirilis beberapa waktu lalu, menuliskan skema insentif di tengah implementasi Pilar 2 bakal memicu sengketa investasi.

Pasalnya, pajak minimum global disusun dengan tujuan menumpas perang tarif yang selama ini acapkali diterapkan oleh negara berkembang. Dengan kata lain, insentif PPh tak lagi relevan ketika skema itu diterapkan.

Tak hanya itu, UNCTAD juga memandang insentif tertentu misalnya yang berlaku di kawasan ekonomi khusus juga bertentangan dengan esensi dari solusi pajak global itu.

Ekonom UNCTAD Hamed El-Kady mengatakan pemerintah termasuk Indonesia perlu menilai kembali dan menyempurnakan insentif PPh Badan untuk memastikan perlakuan yang adil bagi perusahaan asing dan lokal.

“Ini juga tentang menjaga koherensi antara kebijakan pajak dan investasi global,” katanya.

Dia menyarankan kepada pemerintah untuk mengalihikan skema insentif dari yang sebelumnya berbasis penghasilan ke keringanan pada sektor pabean sehingga mampu meringankan beban produksi.