12 Januari 2024 | 3 months ago

Kebijakan Lunak Pajak Usaha Kecil

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) bisa bernapas dengan lega, setelah otoritas pajak merelaksasi ketentuan pelaporan soal pengukuhan status sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).

Relaksasi itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 164/2023 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu dan Kewajiban Pelaporan Usaha untuk Dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pada intinya, regulasi yang diundangkan pada 29 Desember 2023 itu melegalisasi pengukuhan sebagai PKP untuk wajib pajak UMKM yang omzetnya di atas Rp4,8 miliar dilakukan maksimal pada akhir tahun buku.

Regulasi ini berbeda dibandingkan dengan ketentuan yang sebelumnya berlaku, yakni wajib pajak UMKM wajib mengajukan pengukuhan sebagai PKP ketika omzet di ats Rp4,8 miliar pada bulan berikutnya.

"Dengan aturan ini, kami berikan relaksasi menjadi paling lambat akhir tahun buku yang bersangkutan," kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti, Kamis (11/1).

Jika dipahami dengan saksama, relaksasi ini memiliki keuntungan dan kerugian. Keuntungan bagi wajib pajak UMKM, dan kerugian bagi pemangku kebijakan.

Sejalan dengan dilonggarkannya batas waktu pengajuan pengukuhan wajib pajak UMKM sebagai PKP, maka pebisnis tak perlu kelimpungan melakukan penyesuaian di tengah tahun buku.

Sebab, ketika wajib pajak UMKM telah beromzet di atas Rp4,8 miliar per tahun, maka tarif Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5% secara otomatis tak lagi berlaku.

Lantas, wajib pajak tersebut akan dikenai tarif PPh Badan umum yang saat ini sebesar 22% sebagaimana yang saat ini berlaku.

Alhasil, mekanisme penghitungan dan penyesuaian yang dilakukan oleh wajib pajak UMKM lebih mudah dan dilakukan bersamaan dengan dimulainya tahun buku baru.

Di sisi lain, relaksasi pengakuan pengukuhan ini sedikit banyak akan memengaruhi upaya pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan pajak, terutama dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Musababnya, PKP wajib memungut PPN dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terutang, sekaligus menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih besar dari pajak masukan yang bisa dikreditkan.

Selain itu, PKP wajib juga melaporkan penghitungan pajak ke dalam Surat Pemberitahuan atau SPT Masa PPN, serta menerbitkan faktur pajak atas setiap penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak (BKP/JKP).

Dengan demikian, makin tertunda dikukuhkannya wajib pajak UMKM sebagai PKP, makin lambat pula optimalisasi penerimaan yang disetorkan ke negara.

Kalangan pemerhati pajak pun mewantiwanti pemerintah perihal ini. Sebab, relaksasi tersebut memiliki konsekuensi yang tidak bisa diremehkan.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto, mengatakan dengan dimundurkannya batas waktu pengajuan wajib pajak UMKM menjadi PKP akan berdampak pada penerimaan pajak dari PPN.

“Jadi akan ada potensi PPN yang pemungutannya tertunda dibandingkan jika mengacu ketentuan lama,” katanya kepada Bisnis.

Wahyu memahami, kebijakan ini memang memiliki keunggulan dan kekurangan. Dari sisi wajib pajak UMKM tentu ini sangat membantu karena ada banyak proses, tahapan, dan persiapan yang perlu dipenuhi.

Misalnya kemampuan UMKM untuk memiliki kapasitas untuk memenuhi administrasi PPN. Di antaranya memahami cara penghitungan PPN, menyusun faktur pajak, sampai menyampaikan SPT Masa PPN.

Menurutnya, upaya relaksasi ini merupakan bagian dari insentif yang dampaknya bisa lebih baik di kemudian hari, baik terhadap penerimaan pajak maupun pelaku usaha.

“Namun, kebijakan ini harus dibarengi dengan sosialisasi dan pendampingan yang serius agar pelaku UMKM bisa memanfaatkan waktu yang disediakan secara efektif,” ujarnya.

Seirama dengan Wahyu, Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, tak memungkiri adanya risiko yang menimpa penerimaan negara dari kebijakan ini.

Namun menurutnya, risiko tersebut bisa terkelola dengan baik oleh pemerintah. Apalagi, ketika UMKM naik kelas potensi pajak yang bisa dikutip makin besar.

Dia menyarankan, dalam jangka pendek risiko tertundanya penambahan setoran PPN bisa dikompensasi pemerintah dengan melakukan intensifikasi melalui Surat Permintaan Penjelasan atas data dan/atau Keterangan (SP2DK) maupun mekanisme pemeriksaan lainnya.

“Dalam konteks ini, otoritas pajak dapat melakukan trade-off dengan industri lainnya yang sudah menjadi PKP dengan cara intensifi kasi PPN melalui SP2DK dan/atau pemeriksaan,” jelasnya.

Prianto meyakini, pemerintah telah mengkalkulasi terukurnya risiko tersebut sehingga relaksasi tetap diberikan kepada wajib pajak UMKM.

Apalagi, sesuai dengan pertimbangan PMK No. 164/2023, tujuan penerbitan beleid ini bukan untuk tax collection atau pengumpulan pajak maupun atau fungsi budgetair dalam konteks Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Tujuan utama regulasi tersebut adalah untuk memberi kemudahan ke PKP baru melalui pelonggaran pengukuhan PKP, serta memberikan kepastian hukum.

“PMK tersebut memberikan panduan bagi otoritas pajak dan PKP di dalam menjalankan kewajiban PPN-nya,” katanya.

Harus diakui, kebijakan baru ini membuktikan bahwa pemerintah memberikan perlakuan khusus kepada wajib pajak UMKM untuk terus mengembangkan bisnisnya sehingga dapat naik kelas. Akan tetapi, perlu pula dipertimbangkan konsekuensi yang muncul dari regulasi tersebut.

Sepanjang pemerintah mampu menggali penerimaan untuk menambal potensi yang tertunda dari relaksasi ini, maka perpanjangan batas waktu pengajuan pengukuhan PKP tak jadi soal.

Problem akan muncul tatkala pemangku kebijakan gagal mengoptimalkan penerimaan dari sektor lain sehingga kebijakan yang ditelurkan justru membuat pemerintah kelimpungan