15 Januari 2024 | 3 months ago

Janji Manis Kerek Tax Ratio

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Strategi untuk mendongkrak rasio perpajakan alias tax ratio menjadi isu yang terus dipoles oleh tiga calon presiden untuk meraih suara dunia usaha. Sayangnya, siasat serta argumentasi soal itu masih amat normatif.

Padahal, dunia usaha amat menanti siasat kandidat untuk mengatrol rasio pajak. Sebab jika tak ada strategi konkret dan target rasional, lagi-lagi pemerintah berburu di kebun binatang.

Artinya, optimalisasi penerimaan hanya berfokus pada pelaku usaha yang selama ini sudah tertib dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.

Celakanya, tak ada kiat baru yang diusulkan calon presiden (capres) untuk mendulang penerimaan pajak. Parahnya lagi, angka sasaran sangat ambisius bahkan terkesan utopis.

Capres nomor urut 01 Anies Baswedan, misalnya, yang menargetkan tax ratio 16% dengan trik andalan membentuk Badan Penerimaan Negara. Isu lama yang terus digoreng tatkala berbicara soal penerimaan pajak.

Kemudian capres nomor urut 02 Prabowo Subianto, menyasar tax ratio sebesar 18%, melalui penambahan jumlah pembayar pajak alias perluasan basis pajak.

Capres nomor urut 03 Ganjar Pranowo, tidak menyebutkan target soal tax ratio, dan hanya mengatakan soal ekstensifikasi dan intensifikasi untuk memacu pajak.

Upaya lain yang disiapkan ketiga capres itu pun terkesan tak ada yang baru. Misalnya, penguatan digitalisasi hingga efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah sampai detik ini.

Pembentukan badan khusus pun bukan hal baru. Selalu muncul dalam pembahasan revisi regulasi perpajakan, bahkan acapkali digulirkan dalam banyak dapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama otoritas pajak.

Lantas, bagaimana soal peluang pencapaian target tax ratio dari para capres itu?

Bisa dibilang hampir mustahil untuk mewujudkan tax ratio 16% atau 18%. Tahun lalu saja, realisasi tax ratio hanya 10,21% terhadap produk domestik bruto (PDB), sementara pada 2022 hanya 10,39%.

Faktanya, pada 2022 ada banyak momentum yang mendukung optimalisasi penerimaan pajak. Di antaranya pulihnya ekonomi dari pandemi Covid-19, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 11%, Program Pengungkapan Sukarela (PPS) alias Tax Amnesty Jilid II, serta windfall komoditas.

Acuan yang digunakan oleh negara dalam menghitung rasio perpajakan adalah dalam arti luas, yakni menjumlahkan penerimaan pajak, bea dan cukai, serta penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumber daya alam (SDA).

Sementara itu, dalam penghitungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menjadi standar global, selain pajak, bea dan cukai, serta PNBP SDA, tax ratio juga menggunakan penerimaan daerah serta iuran jaminan sosial sebagai penghitung.

Tax ratio Indonesia dalam skema OECD ini jauh lebih terpuruk, yakni lima terbawah se-Asia Pasifik berdasarkan realisasi penerimaan pada 2021 silam yakni 10,9%. Indonesia hanya unggul dari Vanuatu, Bhutan, Pakistan, dan Laos.

Belum lagi ada aneka faktor yang membayangi optimalisasi tax ratio, terutama dalam konteks ketidakpastian global yang sedikit banyak memengaruhi aktivitas ekonomi.

Kalangan pakar pajak pun memandang upaya untuk mengatrol tax ratio tak mudah, baik pada tahun ini maupun warsawarsa mendatang.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan tax ratio selalu dibayangi dengan turbulensi ekonomi, ketidakpastian, hingga multitafsir regulasi di dalam negeri. “Ketidakpastian dari ketegangan geopolitik dan ambiguitas regulasi perpajakan yang makin kompleks,” katanya kepada Bisnis, Minggu (14/1).

Prianto mengatakan, penetapan suatu target yang belum terjadi akan menggunakan asumsi dan datadata historis. Asumsi tersebut biasanya terbagi menjadi tiga kelompok, yaitu optimis, moderat, dan pesimis.

Masing-masing pun memerlukan strategi, regulasi, serta mitigasi risiko ketika ekonomi terjadi turbulensi sehingga angka sasaran yang berpeluang tercapai lebih terukur.

Direktur Program Institute of Development on Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti mengatakan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi masih di kisaran 5%, realisasi tax ratio berada pada kisaran 9%—10%.

“Kalau pertumbuhan ekonomi meningkat minimal 5% saja maka rasio pajak tetap [9%—10%] itu sudah bagus,” katanya.

Menurutnya, pemerintah perlu melakukan dua perbaikan fundamental untuk memperbaiki kinerja rasio perpajakan pada tahun ini.

Pertama, menerapkan single identity number sehingga tidak akan ada inpidual yang lolos dari pajak. Kedua, pemberian sanksi yang tegas terhadap wajib pajak yang melakukan penghindaran.

Pekerjaan rumah para capres soal pajak memang sangat berat. Apalagi hampir tidak ada momentum yang bisa mendorong penggelembungan setoran pajak.

Program pengampunan pajak berakhir, komoditas termoderasi, perdagangan dunia alias ekspor pun penuh dengan kewaspadaan. Masingmasing itu akan menekan kinerja pajak, PNBP SDA, serta bea dan cukai.

Capres pun harus rasional. Tak perlu target muluk karena angka-angka yang disebutkan hampir mustahil untuk digapai.

Hal yang diperlukan dunia usaha dan pelaku ekonomi adalah strategi konkret untuk mendulang penerimaan tanpa menambah beban baru bagi wajib pajak