17 Januari 2024 | 3 months ago

Pemda Diminta Tunda Pajak Spa 40%—75%

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia menyarankan kepada pemerintah daerah untuk menunda pemberlakuan pajak hiburan khusus sebesar 40%—75% karena bisa memicu pengurangan karyawan.

Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sutrisno Iwantono menyampaikan bahwa pengenaan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yaitu diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebesar 40%—75% per 5 Januari 2024 memberatkan dunia usaha.

“Saran kami jangan dulu diberlakukan, tinjau ulang, kami minta untuk pemda [pemerintah daerah] bisa lebih bijak,” katanya kepada Bisnis, Selasa (16/1).

Dia memahami kebijakan pajak itu dapat memperluas fiskal daerah, tetapi jika pajak berlaku maka harga ke konsumen yang akan mahal dan berdampak pada berkurangnya permintaan.

“Sebenarnya dengan model begitu, pendapatan dari pemerinta pun juga belum tentu tercapai karena yang memanfaatkan jasa itu kan jadi sedikit,” ujar Sutrisno.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta Diana Dewi juga menilai kebijakan penaikan pajak hiburan, tidak tepat dilakukan pada 2024. Alasannya, kondisi iklim bisnis masih dalam tahap pemulihan.

“Hanya demi menaikkan pendapatan asli daerah, Pemprov DKI terkesan menutup mata terhadap kondisi korporasi dan pelaku bisnis,” kata Dewi kepada Bisnis.

Dia menerangkan bahwa kondisi berbagai lini bisnis, termasuk sektor jasa hingga pariwisata masih belum pulih total pascapandemi Covid-19 selama hampir 3 tahun.

Adapun, Diana menyebut ada berbagai sektor usaha yang baru efektif bergeliat dalam setahun terakhir. Meskipun, masih dihadapi berbagai tantangan panasnya kondisi geopolitik, perang Rusia-Ukraina dan Israel-Hamas yang membuat perekonomian dalam negeri belum sepenuhnya stabil.

“Sekitar November 2023, pada pengusaha diperhadapkan pada desakan menaikkan upah para pekerja, tiba-tiba di awal 2024, sudah keluar aturan itu,” ujarnya.

Kondisi ini membuat pelaku usaha terimpit berbagai tekanan. Apalagi, tahun politik 2024 diprediksi mengakibatkan goncangan perekonomian nasional.

Bila pemerintah bijaksana, dia menilai regulasi tersebut tidak dikeluarkan saat ini, melainkan menunggu kondisi stabil.

“Saat ini saja, daya beli masyarakat sudah menurun, belum kembali pada kondisi seperti sebelum pandemi. Kenaikan tarif pajak tentu akan memberatkan para pelaku usaha,” tuturnya.

Wakil Ketua Umum (WKU) Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah Sarman Simanjorang menegaskan bahwa kenaikan pajak hiburan menjadi kado yang kurang baik bagi pelaku usaha di awal 2024.

Menurutnya, kenaikan itu dilakukan pada waktu yang tidak tepat karena pengusaha di industri pariwisata baru saja bangkit dari hantaman pandemi Covid-19.

Sarman menyatakan bahwa arus kas pengusaha di daerah belum pulih sepenuhnya. “Menurut hemat kami, ini pajak hampir 100%, kenapa tidak angka yang rasional aja seperti yang diberlakukan sebelumnya, jadi antara 15%—25% misalnya, itu hal yang masih wajar dan saya rasa tidak jauh beda dengan negara tetangga kita yang lain,” ujarnya kepada Bisnis.

Untuk itu, dia meminta pemerintah untuk menunda penerapan tarif pajak hiburan 40%—75%.

Keluhan yang sama juga disampaikan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi. Dia menilai besaran pajak hiburan yang ditetapkan pemerintah terlalu tinggi. Dia mengusulkan kenaikan pajak hiburan merujuk pada besaran angka infl asi di masingmasing daerah.

“Paling tidak kenaikannya merujuk pada besaran angka inflasi di masing-masing kota/kabupaten,” kata Tulus kepada Bisnis.

Dia juga mengkritisi soal usaha spa yang dikenakan pajak hiburan. Menurutnya, usaha spa tidak pantas dikenakan pajak yang besar. “Masa orang mau sehat dikenakan pajak tinggi,” ujarnya.

Dia berharap pemerintah menunda pemberlakuan pajak hiburan itu mengingat kondisi ekonomi nasional yang belum pulih pascapandemi Covid-19.

Selain itu, pemerintah diminta untuk menjelaskan secara adil dan transparan alasan ditetapkannya pajak maksimal 75% untuk jasa hiburan. “Apakah ini murni untuk pendapatan [negara] atau tujuan lain,” ujarnya.

INSENTIF DAERAH

Sementara itu, Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan Lydia Kurniawati Christyana menyatakan pemerintah mempertimbangkan pemberian insentif ke pengusaha seperti tercantum dalam Undang-Undang (UU) No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Dia menilai pemerintah pusat memberikan ruang kepala daerah untuk memberikan insentif fiskal.

“Insentif fiskal berupa pengurangan, keringanan, pembebasan, penghapusan pokok pajak atau pokok retribusi yang ditetapkan oleh kepala daerah dan menjadi kewenangan kepala daerah,” jelasnya dalam Media Briefing, Selasa (16/1).

Berdasarkan Ayat (1) Pasal 101 UU HKPD, Lydia menyampaikan gubernur/bupati/wali kota boleh memberikan fasilitas pajak dan retribusi dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.

Untuk tata cara pemberian insentif diatur dalam Pasal 99 Peraturan Pemerintah (PP) No. 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dengan insentif bisa diajukan secara inpidu per wajib pajak jika keberatan dengan tarif yang telah diatur kepala daerah.

Menurutnya, kepala daerah bisa memberikan insentif fiskal dengan tak mengutip minimal 40% jika ada pelaku usaha keberatan. “Namun, jika kepala daerah melihat kondisi sosial ekonomi memang memerlukan perlakuan khusus, maka insentif fiskal bisa diberikan secara massal,” ujarnya.

Terkait dengan UU No.1/2022, Lydia juga mengungkapkan bahwa mayoritas pajak hiburan secara umum justru turun menjadi paling tinggi sebesar 10%.

“Yang semula dalam UU No. 28/2009 maskimal 35% dan dengan UU ini [HKPD] turun ke 10%,” ungkapnya.

Dia menekankan bahwa tarif pajak hiburan sebesar 75% bukan hal baru, melainkan telah diterapkan pada UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Dalam Pasal 45 UU No. 28/2009, tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%.

Khusus untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75%. Khusus hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif pajak hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.

Dengan berlakunya UU No. 1/2022, tarif PBJT atas makanan dan/atau minuman, jasa perhotelan, jasa parkir, dan jasa kesenian dan hiburan, ditetapkan sebesar 10%. Namun, UU HKPD juga menetapkan tarif pajak 40% hingga 75% berlaku pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.

Lidya juga mengungkapkan, dari 436 pemerintah daerah, terdapat 177 daerah yang telah menggunakan tarif di rentang 40% hingga 75% dengan dasar UU No. 28/2009. (Maria Elena)