18 Januari 2024 | 3 months ago

Sejuta Akal Si Raja Lokal Daerah

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Rupa-rupa tingkah penguasa di daerah dalam memanfaatkan celah untuk mendulang penerimaan. Berbagai cara pun dihalalkan untuk menggali potensi pendapatan meski tidak ada pijakan regulasi yang kuat.

UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau HKPD, pun diakali dengan dalih penguatan fiskal daerah. Aksi akal-akalan itu dilakukan dengan menetapkan pungutan pajak atau retribusi terhadap objek yang sejatinya tak termuat dalam UU HKPD.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, beberapa pemerintah daerah (pemda) melakukan improvisasi regulasi untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) baru yang tak diatur dalam UU HKPD.

Menariknya, legalitas pungutan tersebut tidak dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (perda), melainkan peraturan kepala daerah (perkada).

Salah satu objek pajak yang masuk ke dalam rancangan perkada di daerah tertentu adalah pungutan atas jasa perhotelan dari kapal wisata alias live on board, serta pajak menginap di kapal wisata.

Padahal, objek tersebut tidak termasuk dalam pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang diatur dalam UU HKPD dan berlaku per 5 Januari tahun ini.

“Jasa ini tidak diatur di UU HKPD, atau berada di luar daftar objek jasa perhotelan di UU HKPD,” kata sumber Bisnis yang terlibat dalam evaluasi aturan PDRD, Rabu (17/1).

Dalam UU HKPD, substansi soal PDRD memang disederhanakan yakni menjadi PBJT yang mencakup lima objek.

Pertama, makanan dan/atau minuman. Kedua, tenaga listrik. Ketiga, jasa perhotelan. Keempat, jasa parkir. Kelima, jasa kesenian dan hiburan.

Adapun tarif PBJT ditetapkan maksimal 10%. Namun, khusus jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap ditetapkan minimal 40% dan maksimal 75%. (Lihat infografik).

Harus diakui, pengenaan pajak yang tidak tercakup dalam UU HKPD akan menambah penerimaan asli daerah (PAD), yang pada gilirannya juga menguatkan kemandirian fiskal daerah.

Akan tetapi di sisi lain, kebijakan tersebut menimbulkan pertanyaan yang besar lantaran pemda melakukan aksi yang tidak atau sejauh ini belum memiliki regulasi.

Artinya, jika memang kemudian disahkan, ketentuan ini akan kembali memicu polemik soal perpajakan.

Penguasa di daerah pun terbilang cerdik, yakni dengan menggunakan instrumen perkada, bukan perda untuk melegalisasi pajak baru itu.

Musababnya, perkada terbilang jauh lebih simpel karena disusun dan bisa direvisi maupun dianulir alias ditangguhkan dengan kewenangan yang dimiliki oleh kepala daerah.

Sebaliknya, perda jauh lebih rumit karena dalam penyusunan dan pembahasannya melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, mengonfirmasi bahwa ada banyak regulasi soal PDRD yang kontraproduktif.

Hal itu diketahui KPPOD berdasarkan laporan dari kalangan pelaku usaha di daerah, baik soal Perda PDRD baru yang wajib mengacu pada UU HKPD, maupun aturan pajak lainnya di luar HKPD.

“Kami sedang melakukan pengkajian karena ada protes dari pelaku usaha. Ada juga beberapa kasus khusus yang sedang kami dalami,” katanya.

Menurutnya, UU HKPD dan beleid turunannya yakni PP No. 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, tidak secara signifikan mengerek penerimaan daerah.

Musababnya, mayoritas substansi skema serta tarif soal pajak dan retribusi tak berubah dibandingkan dengan beleid sebelumnya, yakni UU No. 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Tercatat hanya ada dua poin yang sepenuhnya baru, yakni opsen pajak dan pajak alat berat PAB.“Persoalan terbesar sekarang adalah kemandirian fiskal dan memang PAD dari pajak di daerah masih kecil,” ujarnya.

Secara konseptual, Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, menjelaskan bahwa sistem pajak di manapun masih mengacu pada aturan yang pasti memiliki celah atau tax loopholes.

Munculnya tax loopholes itu disebabkan oleh mekanisme perumusan kebijakan yang sarat dengan kompromi. Rancangan peraturan pajak yang tadinya ideal harus dibahas dengan banyak pihak, termasuk kelompok masyarakat.

Dalam pembahasan tersebut kemudian muncul pro dan kontra yang pada akhirnya dituntaskan dengan cara kompromi.

“Hasil kompromi tersebut memunculkan celah yang akhirnya dapat dieksploitasi,” katanya.

RESTITUSI

Opsen pajak dan PAB memang menjadi sumber baru yang termakhtub dalam UU HKPD. Akan tetapi, kedua jenis pajak itu memiliki kans untuk dilakukan restitusi alias pengembalian.

Potensi membanjirnya restitusi opsen pun terbuka amat lebar, khususnya untuk opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) yang pungutannya bergantung pada durasi kepemilikan kendaraan bermotor.

Sebab, opsen PKB yang karena keadaan kahar atau force majeure sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 bulan, dapat dilakukan pengembalian pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.

Sama dengan opsen PKB, restitusi PAB pun terbuka apabila karena keadaan kahar sehingga menyebabkan kepemilikan atau penguasaan tidak sampai 12 bulan utuk jangka waktu yang belum dilalui.

Inilah yang kemudian menjadi salah satu alasan pemda cukup agresif menyisir sumber pajak baru meski tak tertuang dalam UU HKPD.

Sementara itu, meski tak secara langsung menyinggung pengenaan pajak daerah di luar UU HKPD, Sekjen Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro, menekankan bahwa kebijakan di daerah harus linier dengan kebijakan pemerintah pusat.

Hal itu diperlukan dalam rangka menyinergikan seluruh program dan arah pembangunan nasional. “Semua rencana daerah akan kita linierkan dengan nasional,” katanya.

Dalam konteks ini, celah muncul dari UU HKPD yang kemudian dimanfaatkan oleh kepala daerah untuk bermanuver dengan menentukan jenis pungutan baru.

Esensi UU HKPD yakni untuk penguatan kapasitas fiskal daerah pun dieksploitasi oleh ‘raja lokal’ sehingga mendapatkan sumber PAD baru dengan alasan memangkas ketergantungan pada transfer langsung dari pemerintah pusat.

Tak ayal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pun bakal lebih proporsional karena makin banyaknya sumber penerimaan baru.

Akan tetapi, aksi kepala daerah ini perlu mendapat perhatian agar kebijakan yang ditelurkan tidak memicu gejolak serta kepastian berusaha pada masa-masa mendatang.