18 Januari 2024 | 3 months ago

Peredam Kejutan Pajak Hiburan

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bak jatuh tertimpa tangga, para pebisnis hiburan di berbagai daerah menghadapi tantangan baru saat menapaki awal tahun ini.

Kala industri pariwisata masih dalam tren pemulihan, daya beli masyarakat masih tertahan, dan upah minimum regional meningkat, para pebisnis harus merancang strategi anyar lantaran pemberlakuan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) di sejumlah daerah berisiko menekan laju pemulihan usaha mereka.

Persoalan tersebut santer menyebar beberapa waktu terakhir, lantaran gaung penolakan yang disuarakan sejumlah pengusaha.

Namun demikian, ada kabar baik berembus ke arah dunia usaha. Pemerintah pusat memutuskan untuk menunda penerapan PBJT lewat evaluasi UU No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), sembari menunggu hasil judicial review yang diajukan sejumlah asosiasi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Bahkan, ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengumpulkan instansi terkait, termasuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali guna membahas penetapan pajak hiburan itu.

“Jadi kita mau tunda dulu saja pelaksanaannya itu. Karena itu dari Komisi XI DPR RI kan itu sebenarnya. Jadi bukan dari pemerintah ujug-ujug terus jadi gitu,” tulis Luhut melalui akun Instagram resminya, Rabu (17/1).

Bahkan, Luhut mengungkapkan bahwa belum ada alasan kuat untuk menaikkan pajak hiburan saat ini. “Saya pikir itu harus kita pertimbangkan karena keberpihakan pemerintah kepada rakyat kecil sangat tinggi.”

Sejatinya, sejumlah daerah sudah menyiapkan antisipasi manakala aturan anyar tersebut diberlakukan. Pemerintah Provinsi Bali misalnya, membuka peluang bagi pelaku usaha, terutama pengusaha wellness spa, untuk mengajukan insentif fiskal kepada pemerintah daerah sebagai solusi sementara.

Penjabat (Pj.) Gubernur Bali Sang Made Mahendra Jaya mengungkapkan bahwa pihaknya memahami keresahan para pengusaha hiburan dan spa atas berlakunya PBJT 40% yang dinilai memberatkan para pelaku usaha, khususnya spa yang banyak dijadikan usaha atau profesi oleh warga Bali.

Oleh sebab itu, ia menawarkan opsi kepada para pebisnis untuk mengajukan insentif fiskal kepada Pemprov Bali maupun pemerintah kabupaten/kota. 

Mahendra menilai bahwa pemerintah daerah bisa memberikan kebijakan insentif fiskal kepada usaha yang banyak menyerap tenaga kerja dan meningkatkan investasi di Pulau Dewata.

Bahkan, imbuhnya, insentif fiskal itu sudah diatur pada pasal 101 UU No. 1/2022 yang menyebutkan bahwa gubernur/bupati/wali kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi.

Judicial review jalan, pengajuan insentif fiskal ini juga perlu ditempuh. Nanti saya akan mendorong pemerintah kabupaten/kota yang memiliki kewenangan untuk itu,” katanya.

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Provinsi Bali dan pelaku usaha spa di Pulau Dewata memang telah menempuh upaya judicial review atas beleid itu. “Judicial review telah kami ajukan 5 Januari dan tercatat telah terdaftar 22 pemohon, termasuk pengusaha dari luar Bali,” kata Ketua PHRI Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, alias Cok Ace.

Hari ini, Kamis (18/1), Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung juga bakal menggelar pertemuan dengan para pebisnis hiburan dan spa di wilayahnya. Dalam pertemuan itu, Plt. Kepala Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Badung Ni Putu Sukarini akan mendengarkan aspirasi dari pengusaha sekaligus menyosialisasikan kembali terkait aturan PBJT.

Pemkab Badung memang telah merilis Peraturan Daerah Kabupaten Badung No.7/2023 yang mulai berlaku pada 1 Januari 2024. Pada beleid ini, khusus jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, dikenakan tarif PBJT 40%.

“Kami akan bertemu dengan pengusaha hiburan, termasuk di dalamnya Kadin, PHRI dan yang lainnya,” katanya kepada Bisnis.

Terpisah, Ketua PHRI Kabupaten Badung I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya memandang bahwa PBJT merupakan langkah kontraproduktif dari pemerintah lantaran berpotensi membuat wisatawan asing sekaligus investor hiburan kabur.

Dia menilai bahwa pengenaan pajak tersebut akan menyulitkan Bali bersaing dengan negara-negara lain seperti Thailand dan Uni Emirat Arab yang justru menurunkan pajak hiburan.

Tidak hanya itu, wisatawan nusantara pun berpotensi hengkang dari Bali dan memilih berwisata ke Thailand yang biaya perjalanannya lebih murah. Kondisi ini berisiko membuat Bali sepi lantaran industri hiburan dan spa menjadi daya tarik utama bagi wisatawan untuk datang ke destinasi superprioritas ini.

“Kami dengan tegas menolak dan menunggu judicial review di MK. PBJT 40% ini tidak masuk akal. Pembahasannya kami tidak pernah dilibatkan,” katanya.

Tak hanya Pemkab Badung, Pemerintah Kota (Pemkot) Palembang juga telah mematok tarif pajak hiburan sebesar 40% melalui Peraturan Daerah Kota Palembang No.3/2023.

Tak ayal, langkah itu pun juga memperoleh respons keras dari para pebisnis hiburan di wilayah ini.

Ketua PHRI Provinsi Sumatra Selatan Kurmin Halim mengungkapkan bahwa penolakan juga telah disampaikan oleh para pelaku usaha hampir di seluruh daerah lantaran dianggap dapat mematikan bisnis mereka.

“Sama ini [penetapan] seperti di Palembang terkait Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2023. Saat itu disusun juga tidak melibatkan stakeholder sehingga keluarlah angka sampai 40% untuk tempat hiburan, diskotik dan sejenisnya,” jelasnya.

Imbasnya, kata dia, perkembangan dunia hiburan di Kota Pempek ini menjadi stagnan.

TIDAK TEPAT

Sementara itu, Ketua PHRI Jawa Timur (Jatim) Dwi Cahyono memandang bahwa momentum kenaikan tarif pajak hiburan tidak tepat. Pasalnya, tahun ini sebenarnya masih tahap pemulihan bagi pelaku industri.

Dia menjelaskan bahwa bisnis memang sudah berjalan, tetapi hasil dari pengelolaan usaha lebih banyak diperuntukkan membayar utang sebagai dampak dari Covid-19. Oleh karena itu, imbuhnya, jika tarif pajak hiburan naik menjadi di rentang 40%70%, maka pebisnis tidak mampu lantaran tingkat kemampuan konsumen tidak tinggi.

Dwi menceritakan pengalaman di Mojokerto yang pajak hiburan ditetapkan 35%. Tempat hiburan di lokasi ini sepi sehingga Pemkab Mojokerto justru menurunkan lagi tarif pajak hiburannya.

Namun, pemerintah malahan kembali menaikkan menjadi 45%. Bahkan, di Kabupaten Malang dan Kota Malang tarif pajak hiburan dibanderol 50%. Dengan tarif pajak sebesar itu, imbuhnya, tempat hiburan bakal sepi lantaran daya beli masyarakat belum kuat benar.

PHRI Jatim meminta pemerintah tidak menaikkan pajak hiburan, setidaknya pada tahun ini. Jika pemerintah bersikukuh menaikkan tarif pajak hiburan, maka harus dilakukan sosialisasi dahulu sehingga perusahaan dapat mempersiapkan diri dengan baik. “Selain itu, kenaikannya dilakukan secara bertahap di-range yang masuk akal, yakni di kisaran 30%-35%. [Tarif] Ini juga hasil Rakerda [Rapat kerja daerah] PHRI di Malang, Rabu (17/1).”

Perihal polemik pajak hiburan, ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Joko Budi Santoso memandang bahwa beberapa basis pajak hiburan yang tarifnya pada rentang 40%75% tentunya harus disikapi dengan bijak.

Menurutnya, musyawarah antara pemerintah daerah dan para pelaku usaha, harus dilakukan untuk dapat menentukan tarif yang tidak destruktif terhadap iklim usaha yang kondusif. “Di satu sisi pemberlakuan pajak hiburan tersebut dapat menaikkan pendapatan daerah, namun dampak lanjutannya dapat mematikan bidang usaha tersebut,” katanya. (Ni Luh Anggela/Harian Noris Saputra/k64/k24)