22 Januari 2024 | 3 months ago

Dilema Diskon Pajak Pariwisata

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Insentif pajak korporasi yang dijanjikan pemerintah untuk sektor pariwisata meninggalkan pekerjaan rumah yang berat. Dalam konteks pemerintah pusat, hal ini bakal menggelembungkan belanja perpajakan, sedangkan dari sisi pemerintah daerah bakal merapuhkan kapasitas fiskal.

Sejak riuh pajak hiburan yang menjadi amanat UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah atau HKPD, pemerintah terus memutar otak untuk meredam gejolak tersebut.

Puncaknya pada pengujung pekan lalu, ketika Presiden Joko Widodo, menginstruksikan adanya diskon Pajak Penghasilan (PPh) Badan kepada pengusaha jasa hiburan sebesar 10%.

Dengan demikian, wajib pajak badan di sektor usaha itu hanya membayar tarif PPh Badan 12%. Adapun, diskon tersebut diberikan melalui mekanisme Ditanggung Pemerintah alias DTP.

“Pemerintah memberikan insentif fiskal berupa pengurangan PPh Badan berupa fasilitas pajak DTP,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, akhir pekan lalu.

Sepintas, insentif ini bak solusi bagi dunia usaha yang kadung kelimpungan dengan lesatan tarif pajak hiburan. Diskon pajak korporasi pun akan direspons positif lantaran meringankan beban pelaku usaha.

Akan tetapi, sejauh ini masih belum ada kepastian mengenai alokasi insentif yang akan ditanggung atau disediakan pemerintah. Hal yang pasti, keputusan ini juga akan mengatrol tax expenditure alias belanja perpajakan.

Bahkan, apabila ketentuan ini berlaku pada tahun ini, maka estimasi belanja perpajakan dari PPh yang pada 2024 ditetapkan Rp127,9 triliun bakal meleset.

Hal ini tentu makin membebani fiskal negara yang juga masih harus menggelontorkan insentif atau belanja perpajakan untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Sementara itu, pemerintah pusat juga menginstruksikan kepada pemerintah daerah (pemda) untuk turut menyediakan insentif kepada pelaku usaha agar beban dari tarif pajak hiburan bisa terkompensasi.

Insentif pemda pun memang telah diatur dalam UU HKPD secara amat leluasa. Artinya, daerah berhak mengobral insentif yang tujuannya untuk mendukung kemudahan berusaha.

Persoalannya, kapasitas fiskal daerah berbeda. Ada kawasan yang memiliki penerimaan asli daerah (PAD) tinggi, ada pula yang rendah.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, pemerintah pusat perlu memberikan instruksi kepada pemda untuk membatasi durasi pemberian insentif.

Sehingga, ketika perekonomian sudah pulih, insentif pajak dan retribusi dicabut, pemerintah mendapatkan tampahan penerimaan.

“Konsekuensi logisnya adalah PAD meningkat dan pemerintah mampu mewujudkan kemandirian fiskal,” katanya, kepada Bisnis.

Sementara itu, Mengacu UU HKPD, pemerintah mengatur pajak hiburan sebagai yang merupakan kewenangan pemerintah daerah.

Dari 12 kelompok jasa kesenian dan hiburan, 11 di antaranya dikenakan pajak hiburan 10%. Hanya kelompok diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dengan tarif pajak minimal 40% dan maksimal 75%.

Perlu diingat, sebelumnya pemerintah tidak menetapkan batas bawah tarif pajak tersebut, dan hanya menetapkan tarif maksimal sebesar 75%.

Selanjutnya, tarif pajak masing-masing wilayah diatur melalui peraturan daerah atau perda dengan membertimbangkan ekonomi daerah tersebut.

DISPARITAS

Dosen Ilmu Hukum Pajak Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Adrianto Dwi Nugroho menyampaikan, tarif pajak hiburan yang bervariasi berpotensi menciptakan disparitas antarwilayah.

“Nantinya dapat terjadi disparitas tarif antara satu kabupaten/kota dan kabupaten/kota lainnya, sehingga dapat memengaruhi lokasi investasi di mana pengusaha bidang jasa hiburan menempatkan usahanya,” ungkapnya.

Secara umum Adrianto memandang positif adanya kenaikan ini dalam rangka mendukung kemandirian keuangan daerah.

Menurutnya, banyak kewenangan pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah yang dibatasi oleh pemerintah pusat.

Dengan demikian, pengenaan tarif batas bawah untuk PBJT atas jasa hiburan merupakan kompensasi agar PAD dapat terjaga.

Meski nantinya disparitas yang terjadi menjadikan investor lebih selektif memilih lokasi investasi, perlu diingat bahwa pemerintah juga memberikan kelonggaran dengan adanya insentif.

“Dalam kerangka UU HKPD, pemerintah pusat dapat sewaktu-waktu membekukan pemungutan [pajak] retribusi dalam rangka mendukung kemudahan berinvestasi,” ujarnya.