25 Januari 2024 | 3 months ago

Adopsi Pajak Minimum Mundur Setahun

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Dentang lonceng implementasi global minimum tax telah berbunyi. Indonesia, lantaran belum memiliki beleid konkret soal solusi perpajakan internasional itu akhirnya memutuskan untuk menunda pelaksanaan pajak minimum global, setidaknya hingga warsa mendatang.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, otoritas fiskal baru akan mengimplementasikan skema pajak yang terkandung dalam Pilar 2: Global antiBase Erosion Rules (GloBE) dan Subject to Tax Rule (STTR) tersebut pada paruh kedua tahun ini atau pada tahun depan.

Ada beberapa faktor yang memaksa pemangku kebijakan belum menerapkan hail konsensus global tersebut pada 1 Januari 2024. Pertama, masih adanya regulasi yang memayungi mekanisme pemajakan tersebut.

Memang, pemerintah memiliki UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan PP No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang mengakomodasi substansi soal solusi dua pilar pemajakan internasional.

Akan tetapi, hingga detik ini Kementerian Keuangan masih dalam tahap penyusunan aturan teknis yang mengacu pada UU HPP dan Pilar 2 tersebut.

Kedua, belum tuntasnya kalkulasi risiko dari implementasi global minimum tax yang memiliki implikasi besar dalam kaitan pemberian insentif Pajak Penghasilan (PPh) Badan alias pajak korporasi.

“[Yang jelas implementasinya] tidak pada semester I/2024,” kata sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas fiskal, Rabu (24/1).

Diskusi soal regulasi teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai pajak minimum global memang cukup pelik, karena memiliki efek yang besar pada prospek penerimaan nasional.

Utamanya soal pemberian insentif. Terlebih, pemerintah memastikan pada tahun ini diskon pajak dalam bentuk tax holiday tetap berlanjut untuk sektor-sektor proritas yang sangat jelas kontraproduktif dengan esensi Pilar 2.

Sebab dengan diberikannya diskon, pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak berpotensi di bawah 15%, tarif yang menjadi batas dari pajak minimum global. Dalam situasi demikian, pemerintah bakal kehilangan hak pemajakan.

Adapun, jika ditemukan selisih antara tarif pajak minimum global dengan tarif pajak efektif yang berlaku di perusahaan multinasional investasi, maka negara domisili atau yurisdiksi asal bisa menerapkan income inclusion rule atau undertax payment rule.

Alhasil, negara asal perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia itu berwenang mengenakan topup tax. Dengan demikian, pajak yang dibayarkan perusahaan tersebut akan mengalir ke negara asal, bukan Indonesia.

Inilah yang menjadi dilema di kalangan pemangku kebijakan sehingga perumusan regulasi tak kunjung tuntas.

Kementerian Keuangan dan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pun terlibat perang argumentasi soal skema insentif yang ideal.

Otoritas fiskal memandang tax holiday perlu dievaluasi dengan alasan mengamankan hak pemajakan, sedangkan otoritas penanaman modal meminta insentif dilanjutkan dalam rangka menarik minat investor.

Meskipun pada akhirnya tax holiday diputuskan berlanjut pada tahun ini, faktanya diskusi soal skema ideal insentif yang akan diterapkan pemerintah saat mengimplementasikan pajak minimum global masih berlangsung.

“Saya agar berbeda dengan Menteri Keuangan [Sri Mulyani Indrawati] dalam konteks ini,” kata Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia.

Sekadar mengingatkan, pajak minimum global bertarif 15% dan dikenakan kepada perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto di atas 750 juta euro per tahun.

Skema ini disusun dengan tujuan menciptakan keadilan sekaligus mengikis prakik penghindaran pajak oleh korporasi multinasional dengan memanfaatkan tarif PPh Badan rendah di negara pusat investasi.

Sementara itu, Bahlil pun terus melakukan negosiasi ke Bendahara Negara untuk menciptakan keseimbangan antara mengamankan penerimaan negara sekaligus memancing minat investor.

DUA OPSI

Sejatinya, ada dua opsi penting yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah sehingga pajak minimum global bisa diimplementasikan tanpa menghapus insentif untuk menarik investasi.

Pertama, memanfaatkan fasilitas carve out, instrumen untuk negara yang masih membutuhkan insentif untuk menarik investasi. Indonesia pun bisa mengakses fasilitas ini sehingga tetap memberikan keringanan bagi perusahaan multinasional.

Akan tetapi, ada batasan sektor dalam fasilitas ini. Carve out hanya bisa digunakan untuk segelintir lini bisnis, di antaranya pertambangan, sumber daya alam (SDA), serta sektor keuangan, dan itupun harus memiliki investasi fisik seperti pabrik.

Kedua, meracik ulang skema insentif sehingga tetap mengganggu substansi dari pajak minimum global. Misalnya dengan mengalihkan diskon pajak dari sebelumnya ke PPh Badan menjadi pajak atas karyawan atau lainnya.

Dari kedua opsi tersebut, jelas yang kedua menjadi paling ideal untuk ditempuh oleh pemerintah. Sebab utak-atik insentif merupakan sepenuhnya kewenangan pemangku kebijakan.

Sebaliknya, carve out adalah bagian dari konsensus sehingga penentuan sektor yang mendapat pengecualian pun disepakati dalam forum internasional.

Selain merumuskan regulasi teknis, pemerintah juga perlu segera menyusun dasar dari pajak minimum domestik alias Qualified Domestic Minimum Topup Tax (QDMTT) yangn diaplikasikan bersamaan dengan pajak minimum global.

Artinya, QDMTT dengan Pilar 2 tidak saling menggantikan tetapi saling melengkapi. Tujuannya agar negara berkembang seperti Indonesia dapat mempertahankan basis pajak.

QDMTT mendesak diimplementasikan agar negara asal korporasi multinasional tidak merebut hak pemajakan dari yurisdiksi yang menjadi ladang bisnis perusahaan tersebut.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto, mengatakan pemerintah perlu memitigasi risiko hilangnya hak pemajakan dengan menerapkan kebijakan QDMTT.

Sebab skema merupakan perangkat untuk menjaga hak pemajakan negara apabila tarif PPh Badan di bawah 15%.

“QDMTT menjadi kunci untuk mengamankan pungutan agar tidak lari ke negara lain,” katanya. (Maria Elena/Ni Luh Anggela)