13 Februari 2024 | 2 months ago

Membidik Pajak Crazy Rich

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Otoritas pajak punya peluang untuk memperluas potensi penerimaan negara, salah satunya dari masyarakat kelas atas alias high net worth inpiduals (HNWI) yang sejauh ini relatif minim sentuhan fiskus.

Apalagi, nilai aset atau penghasilan dari kalangan tajir ini sangat besar dan tersimpan di banyak tempat, baik di dalam maupun luar negeri. Celakanya, nilai tersebut justru mengalami peningkatan ketika ekonomi tertekan oleh pandemi Covid-19 pada 2020.

Data terbaru yang dirilis Asian Development Bank (ADB) dalam A Comparative Analysis of Tax Administration in Asia and the Pacific ADB January 2024, pun mengonfirmasi hal itu.

Hasil pengolahan data ADB dan Credit Suisse mencatat, jumlah inpidu Indonesia yang memiliki nilai aset sekitar US$5 juta—US$10 juta per 2021 mencapai 14.000 orang, sementara jumlah inpidu yang menyimpan aset di atas US$10 juta mencapai 10.000 orang.

Tentu angka tersebut tak bisa dibilang kecil. Demikian pula dengan potensi pajak yang bisa digali oleh pemerintah.

Bisnis menghitung, dengan asumsi nilai harta itu belum terendus fiskus, dan tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 35% yang merupakan tarif tertinggi, serta nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) Rp15.000, maka potensi pajak yang bisa digali mencapai Rp892,5 triliun.

Angka potensi itu menggunakan asumsi sebanyak 14.000 inpidu masing-masing mengungkap asetnya senilai US$5 juta, dan 10.000 lainnya melaporkan aset senilai US$10 juta. Dengan kata lain, penghitungan menggunakan basis aset terendah.

Sepintas, nilai tersebut memang tampak mustahil karena saking besarnya harta yang diduga belum dipajaki. Akan tetapi apabila menengok data historis, data tersebut cukup masuk akal.

Pada 2016 misalnya, tatkala pemerintah menggulirkan Tax Amnesty, Presiden Joko Widodo kala itu menyebut total dana wajib pajak yang di simpan di luar negeri mencapai Rp11.000 triliun.

Pemerintah pun menargetkan repatriasi harta dari program pengampunan itu senilai Rp1.000 triliun. Sayangnya, realisasi yang tercatat negara masih jauh panggang dari api.

Adanya program pengampunan, baik Tax Amnesty 2016 maupun Program Pengungkapan Sukarela (PPS) 2022, merupakan bukti dari pemerintah yang menyadari betul besarnya aset yang belum masuk radar pajak.

Setiap tahun, otoritas pajak juga terus meningkatkan pengawasan terhadap HNWI. Sayangnya, kepatuhan masyarakat yang termasuk nonkaryawan ini justru makin turun, setidaknya hingga 2021. (Lihat infografik).

Otoritas pajak menyadari betul adanya pekerjaan rumah yang cukup pelik tersebut, termasuk besarnya potensi penerimaan yang bisa dipungut.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti, mengatakan otoritas pajak terus melakukan pengawasan wajib pajak berdasarkan tingkat risiko ketidakpatuhan menggunakan Compliance Risk Management (CRM)

Dia menjelaskan, terdapat tiga kategori risiko ketidakpatuhan pada CRM yakni risiko tinggi, risiko sedang, dan risiko rendah. Adapun, setiap wajib pajak akan ditangani mengacu pada masingmasing tingkat risiko ketidakpatuhan tersebut.

"Demikian halnya dengan wajib pajak HWI [high wealth inpiduals] akan dilakukan penanganan sesuai dengan tingkat risiko ketidakpatuhannya," katanya kepada Bisnis, Senin (12/2).

Sementara itu, kalangan pakar pajak meminta kepada pemerintah untuk menindaklanjuti data tersebut sehingga mampu menghadirkan penerimaan tambahan bagi negara.

Apalagi, pemerintah juga telah terlibat dalam pertukaran data otomatis atau The Automatic Exchange of Information (AEOI) dengan banyak negara sehingga memudahkan pengujian data.

TINDAK LANJUT

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto, mengatakan otoritas pajak wajib melakukan penelitian yakni dengan membandingkan laporan ADB tersebut dengan data dan informasi pada sistem Ditjen Pajak, salah satunya Surat Pemberitahuan atau SPT Tahunan.

"Jika ternyata nilai hartanya tidak sesuai dengan profil yang ada, bisa ditindaklanjuti dengan SP2DK [Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan] atau pemeriksaan," jelasnya.

Menurutnya, selain untuk kepentingan optimalisasi penerimaan, penelitian tersebut juga diperlukan dalam rangka membuktikan keseriusan pemerintah dalam aspek penegakan hukum.

Terlebih, saat ini pemerintah memiliki instrumen lengkap untuk menjerat wajib pajak nakal yakni PP No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan, yang mengakomodasi skema pajak atas kenikmatan atau natura.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono, menambahkan ada beberapa jenis pajak yang bisa diterapkan dalam kepemilikan aset HNWI tersebut.

Pertama, optimalisasi PPh Pasal 21 atas imbalan tunai dan nontunai alias natura. Kedua, pengenaan tarif PPh 21 sebesar 35% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp5 miliar.

"Pajak dikenakan jika ada subjek dan objeknya. Meskipun ada di luar negeri, subjeknya berupa orang pribadi masih tetap harus membayar pajak," katanya.

Pengamat Perpajakan Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar, tak memungkiri tantangan pemerintah dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak cukup besar.

Hal itu tecermin dari banyaknya data yang belum diungkap atau dilaporkan meski pemangku kebijakan telah menggulirkan dua program pengampunan dalam lima tahun terakhir.

Merespons data HNWI termutakhir, menurutnya langkah utama yang wajib dilakukan adalah memadankan data untuk mengetahui jumlah aset yang telah dan belum dilaporkan.

"Aset baik yang berada di luar negeri dapat menjadi potensi penerimaan pajak kalau selama ini belum dilaporkan. Tetapi kalau sudah dilaporkan berarti sudah patuh," katanya. (Annasa R. Kamalina)