13 Februari 2024 | 2 months ago

Akibat Gerak Lamban Pemangku Kebijakan

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Lambannya gerak pemerintah dalam mengeksekusi kebijakan dan menambah jumlah perusahaan penyedia perdagangan melalui sistem elektronik sebagai pemungut pajak atas transaksi digital membatasi optimalisasi penerimaan negara. Alhasil, performa pemajakan atas transaksi digital Indonesia pun makin tertinggal.

Bahkan, Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Pasifik yang mencatatkan realisasi penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) relatif rendah dibandingkan dengan yurisdiksi lain.

Berdasarkan laporan Asian Development Bank (ADB) berjudul A Comparative Analysis of Tax Administration in Asia and the Pacific January 2024, Indonesia tercatat hanya mampu unggul dari Thailand.

Menurut penghitungan ADB, sejak diimplementasikan pada medio 2020 hingga pengujung 2022, realisasi penerimaan PPN PMSE hanya senilai US$337 juta.

Adapun Thailand tercatat hanya US$205 juta. Akan tetapi, capaian pajak transaksi digital di negara tersebut hanya dihitung pada 12 bulan yakni sepanjang 2022.

Dengan kata lain, apabila dihitung dengan asumsi durasi yang sama maka bukan tidak mungkin penerimaan PPN PMSE Thailand lebih tinggi dibandingkan dengan Indonesia.

Sementara itu, yurisdiksi lain yang mencatat penerimaan lebih tinggi di antaranya Australia, Taiwan, serta Selandia Baru. (Lihat infografik).

Sejauh ini, belum semua negara di Asia Pasifik menerapkan PPN atas transaksi digital meski secara hukum masing-masing pemerintah telah memiliki regulasi.

“Ini mempunyai relevansi khusus bagi perekonomian Asia dan Pasifik, mengingat besarnya pertumbuhan perdagangan dan transaksi digital, tulis laporan ADB yang dikutip Bisnis.

Indonesia terbilang sebagai yurisdiksi yang lebih awal menerapkan skema ini.

Namun, mengingat nilai penerimaan yang kurang signifikan tampaknya pemangku kebijakan perlu lebih agresif penambah jumlah perusahaan yang berperan memungut PPN PMSE.

Bisnis mencatat, otoritas pajak telah menunjuk sebanyak 163 pemungut PPN PMSE, jumlah yang tak bisa dibilang kecil untuk mendeteksi transaksi serta mengutip dan menyetorkan pajak ke negara.

Sayangnya, tren penerimaan dari tahun ke tahun cukup mengecewakan yang ditandai dengan terus melandainya pertumbuhan PPN PMSE.

Otoritas pajak pun berkomitmen untuk terus menunjuk para pelaku usaha PMSE yang melakukan penjualan produk maupun pemberian layanan digital dari luar negeri kepada konsumen di Indonesia dalam rangka menciptakan keadilan dan kesetaraan berusaha atau level playing field bagi pelaku usaha konvensional maupun digital.

“Kami juga akan terus melakukan pengawasan kepada pelaku PMSE yang telah ditunjuk agar pemenuhan kewajiban perpajakan dapat terlaksana sesuai dengan peraturan yang berlaku,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Dwi Astuti, kepada Bisnis, Senin (12/2).

Setelah ditunjuk, para pelaku PMSE nantinya akan melakukan pemungutan PPN PMSE dengan nilai transaksi dengan pembeli Indonesia telah melebihi Rp600 juta per tahun atau Rp50 juta per bulan dan/atau jumlah trafik di Indonesia telah melebihi 12.000 per tahun atau 1.000 per bulan.

Jika dipahami dengan saksama, sejatinya penambahan perusahaan PMSE bukan satusatunya opsi untuk mengoptimalisasi penerimaan pajak atas transaksi elektronik.

EKSEKUSI REGULASI

Ada legalitas yang sejauh ini belum dieksekusi oleh otoritas fiskal sehingga potensi PPN PMSE tak tergali maksimal, yakni PP No. 44/2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, beleid turunan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau HPP.

Faktanya, PP No. 44/2022 memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk menunjuk pihak lain sebagai pemungut PPN.

Pihak lain yang dimaksud adalah pihak yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak, termsuk transaksi yang dilakukan secara elektronik.

Ini pun membuka celah yang amat lebar bagi negara dalam menunjuk perusahaan PMSE domestik, yang memang selama ini belum ditugaskan negara untuk memungut PPN.

Sebab, substansi dari regulasi tersebut mencakup barang kena pajak (BKP) berwujud dan jasa kena pajak (JKP) yang dipasarkan oleh PMSE domestik.

Langkah konkret otoritas pajak memang sangat dinanti. Tak hanya demi menambah penerimaan, juga secara perlahan mengikis praktik shadow economy alias aktivitas ekonomi yang tidak tercakup dalam radar negara.

Kalangan pemerhati pajak menyarankan kepada pemerintah untuk segera menunjuk pihak ketiga sebagaimana diamanatkan PP No. 44/2022.

Direktur Eksekutif MUC Tax Research Wahyu Nuryanto, ada beberapa faktor yang membatasi akselerasi penerimaan PPN PMSE.

Pertama, konteks pemungutan PPN hanyalah terbatas pada pemanfaatan barang tidak berwujud maupun jasa dari luar Indonesia di dalam Indonesia melalui PMSE.

Kedua, pemungutan PPN PMSE hanya menyasar PMSE yang memenuhi kriteria, sehingga tidak semua perusahaan mendapat penugasan tersebut.

“Untuk mendorong optimalisasi potensi pajak dari transaksi digital, pemerintah segera merealisasikan menunjuk penyedia marketplace untuk memungut pajak dari pedagang e-commerce,” jelasnya.

Tak bisa dimungkiri, transaksi digital terus menanjak seiring dengan perkembangan teknologi serta minat konsumsi yang makin tinggi.

Akan tetapi, fakta itu bisa saja beralih dari potensi menjadi shadow economy apabila pemerintah tidak tanggap dan segera memperluas perusahaan pemungut termasuk menugaskan perusahaan PMSE domestik.

Jika hal ini terjadi maka bukan hanya potensi pajak yang hilang, aspek keadilan berusaha antara pebisnis konvensional dan digital pun bakal tenggelam.