19 Februari 2024 | 2 months ago

Daya Pungut Pajak Tak Beranjak

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Di tengah kinerja pajak yang ciamik sepanjang tahun lalu, ada sedikit noda yang patut segera dibersihkan oleh pemangku kebijakan, yakni terjadinya stagnasi daya pungut fiskus atas aktivitas konsumsi masyarakat.

Berdasarkan penghitungan yang dilakukan Bisnis, realisasi daya pungut terhadap Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang tecermin dalam value added tax (VAT) gross collection ratio pada tahun lalu hanya 62,54%.

Angka tersebut diperoleh dengan realisasi konsumsi rumah tangga yang mencapai Rp11.109,6 triliun dan realisasi penerimaan PPN senilai Rp764,34 triliun, serta tarif yang berlaku sebesar 11%.

Dengan kata lain, pemerintah sepanjang tahun lalu hanya berhasil memungut sebesar 62,54% dari total potensi penerimaan PPN dari konsumsi masyarakat.

Angka ini relatif tak beranjak dibandingkan dengan tahun lalu yang tercatat sebesar 61,51%. Artinya, perlu ada terobosan yang konkret dari pemerintah untuk bisa mengoptimalisasi seluruh penerimaan PPN.

Terlebih, sebelumnya fiskus sempat mencatatkan VAT gross collection ratio lebih tinggi, yakni di angka 64,97% pada 2018 silam.

Sekadar mengingatkan, realisasi VAT gross collection ratio di Tanah Air mustahil mencapai 100% lantaran masih banyaknya fasilitas pembebasan atau pengecualian.

Dengan kata lain, sepanjang otoritas fiskal masih memberikan keringanan baik berupa pembebasan maupun PPN Ditanggung Pemerintah (DTP), maka potensi pajak tak akan terpungut maksimal.

Tak bisa dimungkiri, pemerintah memang berada dalam dilema soal upaya memacu daya pungut pajak atas konsumsi masyarakat.

Pasalnya, Undang Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP masih memberikan perlakuan khusus untuk beberapa barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP).

Akan tetapi, pemerintah bukannya mati langkah. Sejatinya, ada beberapa siasat yang bisa ditempuh untuk berkelit dari stagnasi ini.

Utamanya adalah dengan menurunkan besaran pengusaha kena pajak (PKP) sehingga makin banyak akivitas ekonomi yang masuk ke dalam sistem PPN, dan otomatis VAT gross collection ratio dapat merangkak.

Saat ini, batas PKP yang diterapkan oleh pemerintah masih cukup tinggi, yakni Rp4,8 miliar per tahun, sehingga membatasi gerak otoritas pajak dalam menarik pungutan.

Adapun, cara yang lebih ekstrem adalah dengan menghapus secara bertahap fasilitas pembebasan atau pengecualian dalam BKP dan JKP.

Cara ini akan efektif memacu daya pungut. Namun, tampaknya tak akan dieksekusi oleh pemerintah lantaran melahirkan risiko politik yang amat tinggi.

Terlepas adanya problematika itu, kalangan pemerhati pajak menyarankan pemerintah untuk cermat dalam menetapkan kebijakan pajak agar selaras dengan pertumbuhan konsumsi, termasuk pada tahun ini.

PROSPEK 2024

Plh. Kepala Pusat Analisis Anggaran dan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ari Mulianta Ginting, mengatakan rangkaian Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 yang berlangsung sejak 2023 secara otomatis memacu konsumsi masyarakat.

Namun, pada tahun ini, tantangan ekonomi makin berat yang bersumber dari tekanan daya beli dan kegaduhan politik yang memengaruhi pola konsumsi serta keberhasilan fiskus dalam memungut pajak.

“Ketidakpastian politik 2024 berpotensi memengaruhi kepatuhan wajib pajak maupun kepercayaan investor sehingga dapat berdampak pada capaian penerimaan perpajakan,” jelasnya, belum lama ini.

Dia menambahkan, gangguan ekonomi baik yang bersumber dari dalam maupun luar negeri akan memengaruhi aktivitas ekonomi nasional, sehingga berpengaruh pula terhadap penerimaan PPN.

Apalagi, pada saat bersamaan normalisasi inflasi masih dibayangi oleh krisis energi dan pangan menyusul belum meredanya ketegangan geopolitik di Timur Tengah dan Eropa Timur.

Tatkala inflasi kembali menanjak, daya beli masyarakat pun tertekan sehingga penerimaan PPN cekak, serta VAT gross collection ratio makin sulit beranjak.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institue Prianto Budi Saptono mengatakan adanya fasilitas pembebasan tidak hanya membatasi potensi penerimaan, juga daya pungut negara atas pajak konsumsi.

Hal inilah yang kemudian memunculkan ketidaklinieran antara tingkat konsumsi rumah tangga dengan penerimaan negara.

Adapun, dalam rangka menjaga laju VAT gross collection ratio tetap solid, perlu ada dua upaya taktis yang wajib dipertimbangkan oleh pemangku kebijakan.

Pertama, menjaga daya beli masyarakat di tengah tingginya ancaman lesatan inflasi sehingga transaksi perdagangan barang atau jasa sebagai output yang menjadi objek PPN tetap tinggi.

Kedua, mengoptimalisasi perluasan objek PPN sebagaimana tertuang dalam UU HPP. “Ini yang belum optimal karena sebagian objek PPN tersebut mendapatkan fasilitas PPN dibebaskan sejak PP No. 49/2022 terbit,” katanya.