22 Februari 2024 | 2 months ago

Dag-Dig-Dug Moratorium Bea Masuk E-Commerce

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Indonesia bersama sejumlah negara berkembang tengah berusaha untuk memutus upaya Organisasi Perdagangan Dunia yang berhasrat melanggengkan moratorium bea masuk produk digital, dalam pertemuan yang digelar bulan depan. Maklum, keputusan itu hanya menguntungkan yurisdiksi kaya.

Sekadar informasi, sejak 1998 Organisasi Perdagangan Dunia alias World Trade Organization (WTO) menerapkan moratorium bea masuk produk digital. Meski selalu dibahas ulang secara periodik, faktanya moratorium terus diperpanjang.

Dalam kesepakatan terakhir, moratorium itu akan berakhir pada Maret 2024 alias bulan depan. Artinya, Indonesia dan negara lain berpeluang melakukan negosiasi agar moratorium sepenuhnya dihapus.

Akan tetapi, langkah itu sepertinya tidaklah mudah. Musababnya, WTO yang mendapat dukungan dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS), berupaya untuk mempermanenkan moratorium tersebut.

Inilah yang kemudian ditentang oleh banyak yurisdiksi termasuk Indonesia. Selain Indonesia, negara lain yang juga bersikap selaras adalah India, Afrika Selatan, dan Pakistan.

“Sikap Indonesia menolak dilakukannya permanen moratorium customs duties on electronic transmission,” kata Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, kepada Bisnis, Rabu (21/2).

Merujuk pada keputusan Konferensi Tingkat Menteri WTO ke 12 Tahun 2022 pada Work Program on e-Commerce, dia menambahkan harus diintensifkan diskusi terkait dengan moratorium tersebut.

Tidak hanya itu, perlu juga dilakukan kajian atau evaluasi secara periodik dalam rangka mengetahui efektivitas serta dampak yang ditimbulkan dari implementasi konsensus tersebut.

“Perlu dilakukan tinjauan berkala atas cakupan, definisi, dan dampak dari moratorium customs duties on electronic transmission,” jelas Nirwala.

Di dalam negeri, pelaksanaan moratorium WTO itu diejawantahkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17/PMK.010/2018 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No. 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

Penegasan klasfikasi barang dan pembebasan tarif barang digital itu terdapat dalam Pasal I Huruf b ketentuan tersebut yang memasukan harmonized system code atau kode HS nomor 99.

Dengan masukanya barang digital dalam klasifikasi barang kepabeanan, maka pemerintah melalui ketentuan tersebut, memutuskan untuk membebaskan tarif bagi impor barang tak berwujud

PMK No. 17/PMK.010/2018 pada intinya mengatur tentang tarif bea masuk bagi barang virtual, yakni sebesar 0%. Kendati bertarif 0%, sejauh ini banyak perusahaan yang secara sukarela menginformasikan importasi barang digital kepada Pemerintah Indonesia.

Untuk diketahui, penetapan tarif 0% merupakan salah satu strategi otoritas fiskal untuk mengidentifikasi para pelaku transaksi barang virtual.

Sementara itu, terkait dengan perlakuan perpajakannya akan diterapkan pada kemudian hari.

Kebijakan untuk tidak mengenakan tarif barang digital memang sengaja ditempuh untuk memetakan sekaligus menghitung potensi transaksi barang tersebut.

Apalagi, sebelum kebijakan ini terbit, tidak ada klasifikasi barang dan tarif bea masuk bagi barang digital.

Otoritas fiskal berpandangan dengan identifikasi potensi perdagangan daring termasuk kompleksitas transaksi di dalamnya, jumlah transaksi dari barang digital akan mudah dipetakan.

Dengan demikian, langkah ini akan memudahkan pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal yang lebih komprehensif.

Tak bisa dibantah, Indonesia cukup dirugikan dengan adanya moratorium tersebut. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir transaksi perdagangan elektronik terus masif.

Konsensus WTO itu bisa dibilang merupakan kunci keberhasilan dari sejumlah korporasi global mendapatkan cuan dari banyak negara, seperti Amazon.com Inc., hingga Netflix Inc.

Negara-negara berkembang termasuk Indonesia pun kelabakan melawan dominasi perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat (AS) tersebut, serta kekhawatiran lainnya termasuk hilangnya potensi pendapatan pabean.

NILAI DEVISA

Berdasarkan dokumen pemerintah yang diperoleh Bisnis, nilai devisa importasi untuk produk secara elektronik tidak bisa dibilang kecil. Selama Maret 2018—Juli 2020, nilai perdagangan elektronik yang tercatat pemerintah mencapai US$12,5 juta.

Dari jumlah tersebut, nilai Pajak Penghasilan (PPh) lebih dari Rp3,7 miliar dan nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih dari Rp18,8 miliar.

Barang-barang tersebut ber asal dari banyak negara, di antaranya China, Swedia, Inggris, Singapura, dan Irlandia.

Akan tetapi, tampaknya langkah Indonesia untuk memutus rantai pelanggengan moratorium itu tidaklah mudah. AS selaku negara yang paling diuntungkan tentu bakal melakukan perlawanan.

Apalagi, Indonesia dan Negeri Paman Sam pernah terlibat perseteruan serupa pada 2021 silam dalam kasus yang sama, yakni PMK No. 17/PMK.010/2018.

Negara adikuasa itu tak berkenan apabila pemerintah menerapkan impor software atau perangkat lunak dikenai pajak dalam rangka impor (PDRI).

Persoalannya, negara lain tidak ada yang menyampaikan keluhan soal kebijakan yang diterapkan pemerintah itu.

Dengan kata lain, sikap keberatan dari AS itu merupakan langkah antisipatif jika ke depan Indonesia menerapkan perlakuan perpajakan terhadap transaksi barang secara virtual.

Apalagi, lebih dari 180 kelompok bisnis di seluruh dunia, termasuk Kamar Dagang AS, menulis surat terbuka yang mendukung status quo.

Kalangan pro moratorium itu memandang kelompok yang berupaya mengenakan tarif akan merugikan pemerintah setempat dalam jangka panjang, serta mengirimkan sinyal negatif mengenai iklim bisnis dan keterbukaan terhadap investasi.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan dalam keterangan setelah Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-12 WTO, menuliskan Indonesia mendapatkan kesempatan untuk mempersiapkan implementasi pemungutan bea masuk.

“Hal tersebut mengingat bea cukai merupakan instrumen yang paling efektif dan tepat yang dikenakan tanggung jawab atas barang dalam perdagangan di perbatasan guna melindungi perekonomian suatu negara,” tulis otoritas perdagangan.

Di sisi lain, pemerintah juga menghadapi tantangan dalam kaitan pengenaan bea masuk produk elektronik tersebut, lantaran banyaknya jenis barang atau jasa yang telah ditransaksikan lintas negara.

Pemangku kebijakan pun belum menentukan dasar dari pengenaan tarif tersebut, apakah per transaksi, per produk digital, atau per bita.

Adapun, Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pernah melakukan penelitian pada akhir tahun lalu soal potensi penerimaan yang bisa dipungut pemerintah dalam pengenaan bea masuk produk digital.

Sayangnya, menurut lembaga tersebut, potensi yang bisa dikutip tidaklah besar, yakni hanya menambah kantong negara sebesar 0,1%.

Dilansir Bloomberg, juru bicara WTO Keith Rockwell mengatakan meski potensi penambahan penerimaan amat terbatas, adanya penolakan oleh beberapa negara itu akan memberikan hentakan pada konstelasi perdagangan dunia.

“Untuk pertama kalinya sejak berdirinya WTO, para anggota akan membuka pintu untuk menerapkan tarif baru,” katanya.