26 Februari 2024 | 2 months ago

Opsi Baru Kejar Target Emisi

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Geliat penjualan kendaraan berbasis bahan bakar fosil dan baterai atau hybrid menggulirkan wacana pemberian insentif untuk jenis kendaraan tersebut. Rencana tersebut juga menjadi satu solusi untuk memenuhi target pengurangan emisi karbon.

Tiga hari jelang pembukaan pameran Indonesia International Motor Show (IIMS) 2024, Kementerian Keuangan merilis dua Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait dengan kendaraan listrik.

Beleid itu berupa PMK No. 8 Tahun 2024 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Roda Empat Tertentu dan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis baterai Bus Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2024.

Selanjutnya, PMK No. 9 Tahun 2024 tentang Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor Listrik berbasis Baterai Roda Empat Tertentu yang Ditanggung Pemerintah Tahun Anggaran 2024.

Insentif yang diberikan dalam bentuk Pajak Pertambahan Nilai yang Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Insentif itu berlaku hingga Desember 2024 dan masih menyasar segmen kendaraan listrik. Padahal, segmen tersebut angka penjualannya di Tanah Air masih tergolong rendah.

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) sampai dengan akhir 2023, jumlah penjualan kendaraan listrik sebanyak 17.062 unit atau 1,7% dari total penjualan oleh produsen ke distributor (wholesales) mobil nasional yang mencapai 1,05 juta unit.

Jumlah mobil listrik yang laku di pasaran itu masih di bawah angka penjualan mobil dengan bahan bakar kombinasi fosil dan baterai (hybrid) yang mencapai 52.504 atau 5,22% dari total penjualan mobil nasional.

Padahal, sejak kebijakan pengembangan kendaraan listrik diambil, insentif untuk mobil listrik maupun kendaraan roda dua berbasis listrik, rajin ditebar oleh pemerintah.

Secercah harapan bagi pelaku industri otomotif muncul ketika Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjanjikan insentif serupa untuk kendaraan hybrid.

Maklum saja, seruan agar kendaraan berbasis hybrid memperoleh insentif yang setara dengan kendaraan full battery, sudah digaungkan oleh para produsen sejak beberapa waktu lalu.

Para produsen berdalih penggunaan kombinasi bahan bakar berbasis fosil dan baterai, merupakan bagian dari kontribusi pabrikan untuk menurunkan emisi karbon.

Selain itu, infrastruktur kendaraan pendukung untuk kendaraan listrik di Tanah Air yang masih terbatas, membuat masyarakat berpikir ulang untuk membeli mobil listrik.

Berkaca dari data dan fakta lapangan, pemerintah seperti ingin menempuh jalan tengah agar kepentingan di industri otomotif dapat terwadahi. Apalagi, pemerintah juga memiliki kepentingan lebih besar untuk mencapai pemenuhan target net zero emission (NZE) sebagai komitmen memenuhi Perjanjian Paris.

Ditemui dikantornya pada Senin (19/2), Airlangga mengatakan bahwa insentif untuk kendaraan hybrid nantinya berupa PPN DTP. Mengenai besaran PPN DTP untuk mobil hybrid, nantinya akan sama dengan insentif yang diberikan untuk mobil listrik.

“Kami akan bahas dengan kementerian teknis, sekarang sedang kami kaji. Sama dengan PPN DTP, kalau sekarang 1%, nanti akan kami exercise,” kata Airlangga saat ditemui di kantornya.

Hanya saja, Airlangga belum merinci secara detail kapan aturan teknis pemberian insentif PPN DTP untuk mobil hybrid akan rampung.

Sejauh ini, kata Airlangga, pemerintah telah memiliki hitunghitungan dari pemberian insentif terhadap harga penjualan mobil hybrid.

PENJUALAN NAIK

Sekretaris Umum Gaikindo Kukuh Kumara menyatakan jumlah mobil hybrid yang terjual pada 2023 menyentuh kisaran 50.000 unit. Jumlah itu naik hampir lima kali lipat dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebanyak 10.344 unit.

Hybrid lebih diminati karena menjawab kegelisahan konsumen yang ingin berkontribusi terhadap pengurangan emisi, menghemat bahan bakar, dan memiliki harga yang lebih terjangkau,” kata Kukuh kepada Bisnis, pekan lalu.

Produksi mobil hybrid juga sejalan dengan program penghiliran yang digaungkan pemerintah, mengingat penggunaan komponen baterai seperti halnya produk kendaraan listrik.

Sementara itu, bisnis mobil listrik di Indonesia disebut masih terbentur berbagai masalah, mulai dari harga yang kurang bersaing hingga infrastruktur pendukung yang belum mumpuni. Ditambah lagi, konsumen mobil listrik umumnya bukan first time buyer yang jumlahnya tidak signifikan.

Kondisi tersebut dikhawatirkan menjadi penghambat bagi industri otomotif di Tanah Air yang sedang bersaing ketat dengan negara tetangga seperti Thailand dalam kompetisi menjadi basis industri mobil hybrid.

“Jadi, insentif diperlukan agar kita bisa menjadi basis industri mobil hybrid. Bukan negara lain. Ini harus segera dikerjakan,” kata Kukuh.

Apabila insentif pajak untuk mobil hybrid terealisasi, Indonesia berpeluang menyalip Thailand yang sudah mengalami kejenuhan di pasar domestik.

Sejatinya, ketentuan mengenai insentif terhadap kendaraan roda empat hybrid, sudah tertuang di dalam Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

“Hybrid sudah diperhitungkan di PP itu. Nah, kalau mau dijalankan silakan. Kalau sekarang mau ditambah insentifnya ya monggo. Dasar pemikirannya sudah ada,” katanya.

Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam menyatakan pentingnya insentif untuk semua teknologi yang berkontribusi pada pengurangan emisi untuk mendorong terbentuknya ekosistem kendaraan elektrik yang berkelanjutan dan tidak fokus pada satu solusi tunggal.

Menurutnya, kebijakan fiskal maupun nonfiskal yang mendukung berbagai jenis kendaraan elektrifikasi diharapkan merangsang penjualan kendaraan elektrifikasi di Tanah Air, sambil membuka peluang pasar baru yang bukan sekadar menggantikan pasar kendaraan dengan mesin pembakaran dalam atau Internal Combustion Engine (ICE).

Menurutnya pengembangan pasar yang dinamis penting, mengingat kondisi industri otomotif Indonesia cenderung stagnan dengan penjualan tahunan berkisar 1 juta unit selama satu dekade terakhir.

Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Riyanto Umar menjelaskan insentif untuk mobil hybrid cukup penting karena menjadi satu pilihan masyarakat.

“Mobil listrik saat ini masih mahal dan ekosistemnya belum mendukung, sehingga pasarnya kecil. Konsumen saat ini mengarah ke tipe hybrid karena jadi pilihan rasional buat konsumen,” katanya kepada Bisnis.

Selain itu, nantinya pertumbuhan pasar mobil hybrid secara bertahap akan mampu mengerek ekosistem mobil listrik, karena komponen battery electric vehicle (BEV) yang terdapat di dalam mobil hybrid akan tumbuh secara bertahap.

“Kalau masyarakat mulai percaya dengan komponen baterai yang ada di HEV [hybrid electric vehicle], nantinya juga percaya dengan BEV. Jadi hemat saya rencana tersebut tidak akan mengganggu upaya pemerintah mendorong ekosistem BEV, tetapi justru mendorong secara bertahap.

”Sementara itu, pengamat otomotif Bebin Djuana menilai kebijakan insentif terkesan hanya untuk sementara waktu.

Apabila pemerintah punya strategi lebih luas, katanya, mesti diimbangi dengan membangun industri yang membuka lapangan kerja dengan memotong pajak untuk produsen kendaraan ramah lingkungan yang melakukan produksi di dalam negeri. (Anitana W. Puspa/Stefanus Arief Setiaji)