26 Februari 2024 | 2 months ago

‘Perang Bubat’ Indonesia Di WTO

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Kans Indonesia memenangkan pertarungan soal bea masuk transaksi elektronik makin mengecil. Meski mendapat dukungan dari yurisdiksi berkembang, dunia usaha melawan dan meminta pelanggengan moratorium yang berumur 25 tahun itu.

Pemerintah belakangan terus menggalang dukungan kepada negara berkembang untuk menangkal upaya World Trade Organization (WTO) memermanenkan moratorium bea masuk perdagangan elektronik.

Setelah berhasil mencapai suara bulat dengan India, Afrika Selatan, serta Pakistan, dalam perkembangan terbaru suara Indonesia seirama dengan Argentina dan Brasil.

“Ada beberapa negara berkembang posisinya sama dengan Indonesia. Kami menolak dilakukannya moratorium permanen,” kata Dirjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani, akhir pekan lalu.

Dukungan tersebut tentu ini menjadi modal kuat bagi pemangku kebijakan untuk menyampaikan suara penolakan moratorium yang rencananya disampaikan dalam pertemuan 13 Maret 2024.

Sayangnya, upaya untuk membumihanguskan moratorium itu mendapat penolakan. Tak hanya dari dunia usaha, bahkan WTO juga memberikan sinyal serupa.

Alhasil, pertempuran Indonesia di WTO bak ‘Perang Bubat’, perang yang sangat tidak seimbang dan hampir pasti tumbang.

Penolakan disampaikan pelaku usaha yang tergabung dalam International Chamber of Commerce (ICC). Dalam sebuah pernyataan resmi yang dipublikasikan bulan ini, ICC menuliskan bahwa berakhirnya moratorium merupakan kemunduran bagi WTO.

ICC sepakat perlunya WTO melakukan pembaruan soal moratorium bea masuk transaksi elektronik. Akan tetapi, pembaruan yang dimaksud perlu mencakup instrumen yang mendukung berlanjutnya moratorium.

Dunia usaha pun mulai cemas dengan munculnya sinyal dari beberapa negara berkembang yang akan menerapkan aksi unilateral, yakni aksi sepihak untuk mengenakan tarif bea masuk.

“Ini akan mengganggu ekonomi digital dan menciptakan malapetaka bagi dunia usaha yang bergantung pada moratorium untuk tumbuh,” tulis pernyataan resmi ICC.

Menurut organisasi itu, membiarkan moratorium berakhir akan menjadi kemunduran bersejarah bagi WTO. Apalagi, kelanjutan moratorium sangat penting untuk mendukung pemulihan pascapandemi Covid-19 yang sedang berlangsung serta ketahanan rantai pasok.

Hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan ICC bahwa hilangnya pendapatan akibat moratorium pengenaan bea masuk transaksi elektronik tidak sebanding dengan besarnya manfaat dari sisi sosial, pembangunan, dan fiskal yang timbul dari pertumbuhan layanan digital.

Peluang Indonesia dan negara senasib untuk menang kian menyempit, lantaran WTO yang menjadi fasilitator negosiasi itu justru memberikan sinyal untuk menerapkan moratorium secara permanen, atau setidaknya melakukan perpanjangan.

DAMPAK TERBATAS

Terlebih, Chief Economist WTO Ralph Ossa, menjelaskan bahwa dampak moratorium terhadap aspek penerimaan negara sangat terbatas. Menurutnya, dari kebijakan pembebasan bea masuk transaksi digital hanya mereduksi penerimaan secara rata-rata 0,33% dari total penerimaan yang berhasil dikantongi masing-masing negara.

Dia tidak menampik adanya perdebatan soal perpanjangan atau penghentian moratorium tersebut. Apalagi negara berkembang juga memandang adanya kerugian yang mungkin timbul akibat moratorium.

Kerugian itu mencakup potensi hilangnya pendapatan dari bea cukai dan keinginan masing-masing negara untuk mempertahankan ruang kebijakan di tengah perubahan teknologi yang pesat.

Sebagai solusi, dia menyarankan agar pemerintah melakukan improvisasi melalui pengoptimalan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

“PPN merupakan cara yang tidak terlalu mendistorsi untuk mengumpulkan pendapatan dari perdagangan digital dibandingkan dengan tarif bea masuk,” katanya.

Ossa menambahkan, jika pemerintah melakukan perbaikan administrasi perpajakan, PPN dari pajak transaksi digital akan menghasilkan penerimaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengenaan bea masuk. Sebaliknya, pengenaan bea masuk justru akan mengurangi perdagangan digital.

Sejak 1998 WTO menerapkan moratorium bea masuk produk digital. Meski selalu dibahas ulang secara periodik, faktanya moratorium terus diperpanjang.

Dalam kesepakatan terakhir, moratorium itu akan berakhir pada Maret 2024. Artinya, Indonesia dan negara lain berpeluang melakukan negosiasi agar moratorium sepenuhnya dihapus.

Di dalam negeri, pelaksanaan moratorium WTO itu diejawantahkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17/PMK.010/2018 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No. 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

PMK No. 17/PMK.010/2018 pada intinya mengatur tentang tarif bea masuk bagi barang virtual, yakni sebesar 0%. Kendati bertarif 0%, sejauh ini banyak perusahaan yang secara sukarela menginformasikan importasi barang digital kepada Pemerintah Indonesia.

Langkah itu merupakan strategi otoritas fiskal dalam rangka mengidentifikasi para pelaku transaksi barang virtual agar memiliki bekal untuk memungut pajak pada kemudian hari.