27 Februari 2024 | 2 months ago

Ancang-Ancang Pungutan Bea Masuk Barang Digital

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Peluang pemerintah untuk memenangkan 'perang' soal moratorium bea masuk barang digital di World Trade Organization (WTO) memang terbilang sangat kecil.

Akan tetapi, kuda-kuda patut disiapkan dalam rangka menunjukkan kepada komunitas dunia tentang keseriusan Indonesia untuk mengamankan hak dan kedaulatan perpajakan.

Sekadar mengingatkan, pada 13 Maret 2024 WTO akan menggelar pertemuan yang membahas tentang masa depan moratorium bea masuk produk digital, terutama untuk barang dan jasa tidak berwujud.

Artinya dalam hitungan hari, akan diputuskan apakah moratorium yang berlaku sejak 1998 itu dihentikan, diperpanjang, atau bahkan dipermanenkan.

Berdasarkan informasi yang berkembang, WTO atas desakan yurisdiksi maju akan memermanenkan kebijakan tersebut. Namun, di lain sisi negara berkembang melakukan penolakan dan menuntut pencabutan moratorium.

Sejauh ini, India menjadi yurisdiksi yang paling agresif dengan berencana menerapkan tarif tertentu atau unilateralisme untuk bea masuk barang atau jasa tidak berwujud lintas negara.

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah sejatinya memiliki regulasi yang kuat untuk melakukan hal serupa. Sejauh ini, beleid yang dimiliki pemerintah adalah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17/PMK.010/2018 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No. 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

Dengan masuknya barang digital dalam klasifikasi barang kepabeanan, maka pemerintah melalui ketentuan tersebut, memutuskan untuk membebaskan tarif bagi impor barang tak berwujud alias bertarif 0%.

Mengingat detailnya regulasi domestik itu, pemerintah bisa dengan mudah melakukan penyesuaian tarif sehingga ketika WTO memutuskan menghentikan moratorium pungutan bisa langsung dieksekusi.

Terlebih, otoritas kepabeanan dan cukai juga telah mengidentifikasi negara asal dari transaksi tersebut menyusul adanya ketentuan soal pelaporan importir.

Pemerintah pun memandang ada beberapa isu yang perlu dituntaskan sebelum menindaklanjuti sikap untuk menolak moratorium. Di antaranya adalah definisi dari barang tidak berwujud yang dimaksud, serta penentuan tarif yang akan diberlakukan.

Dalam kaitan ini, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, Indonesia masih menanti tinjauan berkala atas cakupan, defi nisi, dan dampak dari moratorium tersebut.

Adapun, mengenai penyesuaian tarif, sejauh ini pemerintah masih belum bersedia memberikan penjelasan secara terinci.

“Pada intinya kami menolak dilakukannya permanen moratorium customs duties on electronic transmission,” katanya kepada Bisnis, Senin (26/2).

Di sisi lain, pemerintah terus menggalang dukungan dari negara berkembang untuk menyatukan kekuatan dalam peperangan di forum WTO tersebut.

Setelah berhasil mencapai suara seirama dengan India, Afrika Selatan, serta Pakistan, dalam perkembangan terbaru Indonesia mencapai kesepahaman dengan Argentina dan Brasil.

Dukungan tersebut tentu menjadi modal kuat bagi pemangku kebijakan untuk menyampaikan suara penolakan moratorium yang rencananya disampaikan dalam pertemuan bulan depan.

Meski mendapatkan banyak dukungan, kalangan ekonom memandang pemerintah juga perlu menyiapkan berbagai kemungkinan yang bisa terjadi dalam pertemuan tersebut.

Salah satunya dengan menyiapkan aksi unilateral atau menerapkan skema tarif bea masuk secara sepihak guna mengamankan penerimaan negara, dan menjaga kedaulatan perpajakan.

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono mengatakan, berpijak pada PMK No. 17/PMK.010/2018, produk digital merupakan bagian dari barang, sehingga apapun bentuknya selama masuk ke Indonesia harus dikenai bea masuk.

Adapun, klasifikasi produk digital dalam beleid itu antara lain operating system software, application software, multimedia (audio, video, audio visual), supporting/driverdata, dan other sofrware & digital product.

“Dari sisi Indonesia, produk digital itu bagian dari barang, sehingga apapun barang yang masuk ke Indonesia sudah harus kena bea masuk,” katanya.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menyarankan pemerintah untuk menerapkan unilateral secara bertahap.

Konkretnya, otoritas fiskal harus menentukan sektor-sektor atau barang tidak berwujud yang akan dikenai bea masuk. Artinya, sembari menunggu pencabutan moratorium secara resmi, maka tidak semua barang dikenai tarif.

“Misalnya barang yang jika diimpor memengaruhi industri domestik, itu bisa kena. Sebaliknya, barang untuk transfer ilmu masih bisa dibebaskan,” jelasnya.

Untuk diketahui, penetapan tarif 0% merupakan salah satu strategi otoritas fiskal untuk mengidentifikasi para pelaku transaksi barang virtual. Sementara itu, terkait dengan perlakuan perpajakannya akan diterapkan pada kemudian hari.

Kebijakan untuk tidak mengenakan tarif barang digital memang sengaja ditempuh untuk memetakan, sekaligus menghitung potensi transaksi barang tersebut. Apalagi, sebelum kebijakan ini terbit, tidak ada klasifikasi barang dan tarif bea masuk bagi barang digital.

Otoritas fiskal berpandangan, dengan identifi kasi potensi perdagangan daring termasuk kompleksitas transaksi di dalamnya, jumlah transaksi dari barang digital akan mudah dipetakan. Dengan demikian, langkah ini akan memudahkan pemerintah dalam menyusun kebijakan fiskal yang lebih komprehensif.

Tak bisa dimungkiri, Indonesia cukup dirugikan dengan adanya moratorium tersebut. Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir transaksi perdagangan elektronik terus masif.

Konsensus WTO itu bisa dibilang merupakan kunci keberhasilan dari sejumlah korporasi global mendapatkan cuan dari banyak negara, seperti Amazon.com Inc., hingga Netflix Inc.

Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia pun kelabakan melawan dominasi perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat (AS) tersebut, serta kekhawatiran lainnya, termasuk hilangnya potensi pendapatan pabean.

Berdasarkan dokumen pemerintah yang diperoleh Bisnis, nilai devisa importasi untuk produk secara elektronik tak bisa dibilang kecil. Selama Maret 2018—Juli 2020 nilai perdagangan elektronik yang tercatat pemerintah mencapai US$12,5 juta.

Dari jumlah tersebut, nilai Pajak Penghasilan (PPh) lebih dari Rp3,7 miliar, dan nilai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) lebih dari Rp18,8 miliar.

Barang-barang tersebut berasal dari banyak negara, di antaranya AS, China, Swedia, Inggris, Singapura, dan Irlandia.