28 Februari 2024 | 1 month ago

Menentang Jalan Perpanjangan

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Tiga negara berkembang, termasuk Indonesia, memberikan sinyal untuk menolak perpanjangan moratorium bea transaksi digital lintas negara di World Trade Organization (WTO). Dalihnya, manfaat dari transaksi digital tidak hanya dinikmati negaranegara besar produsen konten digital.

Sejak 1998, para petinggi di WTO memperbarui moratorium bea cukai digital setiap beberapa tahun, sehingga streaming Netflix, panggilan Zoom, hingga unggahan buku digital lintas negara bisa bebas tarif.

Moratorium terakhir akan selesai pada Maret 2024 dan pembahasannya akan kembali bergulir dalam pertemuan WTO pekan depan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Moratorium ditetapkan berdasarkan konsensus, sehingga keputusan ada di tangan banyak negara.

Menjelang pembahasan itu, tiga negara berkembang memberikan isyarat menentang perpanjangan kembali konsensus bea transaksi digital.

Hal ini bukan pertama kalinya desakan penghentian moratorium muncul, karena moratorium itu dinilai menguntungkan negara-negara produsen layanan digital tetapi tidak memberikan manfaat maksimal bagi negara berkembang. Indonesia menjadi salah satu yang menentang perpanjangan moratorium.

Dilansir dari Bloomberg, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askoani menilai bahwa pemerintah harus bebas mengenakan tarif sebagai respons atas perubahan cepat di dunia digital. India juga mengisyaratkan sikap serupa.

Adapun, juru bicara Kementerian Perdagangan Afrika Selatan menolak berkomentar, meskipun negara itu menunjukkan sikap yang sama. Negara berkembang memang tidak akan menerima uang dalam jumlah besar ketika memberlakukan bea maupun pajak digital dari transaksi lintas negara.

Studi Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menunjukkan bahwa pengenaan pajak digital itu hanya menambah sekitar 0,1% pendapatan negara berkembang.

Di Indonesia, pajak pertambahan nilai perdagangan melalui sistem elektronik (PPN PMSE) yang terkumpul sejak 2020 hingga saat ini mencapai Rp17,46 triliun.

Porsinya memang kecil dibandingkan total perolehan pajak setiap tahunnya, tetapi membawa prinsip keadilan bagi Indonesia sebagai pasar produk/layanan digital.

Pembebasan tarif transaksi lintas negara, berkat moratorium itu mendorong segmen perdagangan global tumbuh sangat pesat, yakni produk dan jasa digital. Perusahaan-perusahaan teknologi seperti Amazon dan Netflix, juga perusahaan-perusahaan skala menengah dan kecil, merasakan peluang bisnis ke luar negeri.

Meskipun begitu, terdapat kekhawatiran soal pengumpulan data oleh perusahaan-perusahaan dari luar negeri berkat transaksi lintas yurisdiksi itu.

Isu privasi dan perlindungan data, juga hilangnya pendapatan bea menjadi sorotan dari tumbuhnya ekonomi digital.

Sekretaris Jenderal International Chamber of Commerce (ICC) John Denton menilai bahwa meskipun terdapat negara-negara yang menolak moratorium, bukan berarti keputusannya sudah akan terlihat. Namun, dia melihat bahwa Indonesia sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, juga India dan Afrika Selatan akan menentang perpanjangan moratorium.

“Saya rasa [keputusan] ini belum akan tercapai sampai menitmenit terakhir pertemuan,” ujar Denton, dilansir dari Bloomberg.

Salah satu tantangan dalam penentuan kebijakan itu adalah kurangnya kerangka hukum internasional atau definisi standar untuk perdagangan digital. Artinya, belum jelas bagaimana pemerintah setiap negara menerapkan tarif bagi transaksi digital lintas negara; apakah per byte data, atau per produk digital seperti lagu misalnya.

GELOMBANG KEJUT

Juru Bicara WTO Keith Rockwell menilai bahwa jika dalam pertemuan pekan depan muncul keputusan berakhirnya moratorium, akan muncul kejutan besar bagi WTO.

“Untuk pertama kalinya sejak berdirinya WTO, para anggota akan membuka pintu untuk menetapkan tarif baru,” ujar Rockwell yang juga peneliti senior Hinrich Foundation yang berbasis di Jenewa, Swiss, dilandir dari Bloomberg.

Lebih dari 180 kelompok bisnis di dunia, termasuk US Chamber of Commerce (Kadin AS), menulis surat terbuka untuk mendukung status quomoratorium. Mereka menilai bahwa pengenaan tarif bea transaksi digital akan merugikan negara-negara berkembang itu sendiri dalam jangka panjang, karena menjadi sinyal negatif bagi iklim bisnis dan keterbukaan terhadap investasi.

US Trade Representative Katherine Tai melihat perdebatan yang meningkat di WTO soal moratorium itu, dan berharap para anggota WTO dapat bekerja sama untuk mencari solusinya. Negeri Paman Sam tentu ingin tarif bea tetap dibebaskan dan moratorium diperpanjang, karena mereka merupakan salah satu produsen digital terbesar di dunia.

Salah satu lembaga yang juga mendorong pembaruan moratorium adalah United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD). Lembaga itu menilai bahwa kesenjangan digital semakin melebar selama pandemi Covid-19.

“Menjadi semakin penting bagi negara dan dunia usaha untuk dapat beradaptasi dengan perdagangan digital. Sayangnya, pesatnya kecepatan digitalisasi cenderung melampaui kemampuan banyak negara untuk melakukannya,” ujar kepala bagian e-commerce lembaga tersebut, Torbjörn Fredriksson.

Meskipun demikian, makin terfragmentasinya perdagangan global di tengah persaingan model proteksionis nasional China dan sistem terbuka Amerika, membuat upaya pencapaian kesepakatan dalam pertemuan WTO pekan depan soal transaksi digital yang bebas tarif tidaklah mudah.

“Ini saat yang buruk bagi multilateralisme. Ini bukanlah momen di mana negara-negara bersedia menciptakan konsensus global baru dalam hampir semua hal,” ujar peneliti European University Institute Martina Ferracane.