29 Februari 2024 | 1 month ago

Tinjau Ulang Pajak Kripto

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengusulkan agar Kementerian Keuangan mengevaluasi penerapan pajak kripto seiring dengan perlakuan token digital itu sebagai instrumen keuangan pada masa depan ketimbang komoditas.

Kepala Biro Pembinaan dan Pengembangan Pasar Bappebti Tirta Karma Senjaya mengatakan penerapan pajak kripto semula adalah konsekuensi dari status token digital itu yang dianggap sebagai komoditas atau aset.

Oleh karena itu, seiring dengan rencana pengalihan pengawasan dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Keuangan yang merumuskan kebijakan pajak diharapkan mengevaluasi implementasi pajak kripto.

“Karena nanti kripto menjadi sektor keuangan, kami harapkan komitmen dari Ditjen Pajak untuk evaluasi pajak ini. Evaluasinya karena [peraturan] ini sudah lebih dari satu tahun. Tentu saja biasanya pajak itu ada evaluasi tiap tahun,” ujarnya dalam acara 10 Tahun Indodax, Selasa (27/2).

Pemerintah sejak Mei 2022 mengutip pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 0,11% untuk setiap transaksi kripto di Indonesia oleh bursa-bursa (exchanges) yang terdaftar di Bappebti. Pungutan ini juga ditambah pajak penghasilan (PPh) dengan tarif sebesar 0,1%.

Dalam perkembangan, pemerintah menerbitkan UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) yang berlaku mulai Januari 2023. Beleid ini memberi amanat kepada OJK untuk mengatur dan mengawasi kegiatan di sektor aset kripto paling lambat mulai awal 2025. Perdagangan kripto saat ini masih diawasi oleh Bappebti Kementerian Perdagangan.

Menurut Tirta, industri kripto beserta regulasinya baru ‘seumur jagung’. Dia menilai sudah sepatutnya industri ini diberikan ruang untuk bertumbuh sehingga akhirnya mampu berkontribusi pada penerimaan negara melalui pungutan pajak.

Pada 2022, negara mengantongi penerimaan Rp246,45 miliar dari pajak kripto. Jumlahnya meningkat menjadi Rp647,52 miliar pada 2023.

Pada Januari 2024, Ditjen Pajak menghimpun Rp39,13 miliar dari pemungutan pajak kripto. Dirjen Pajak Kemenkeu Suryo Utomo memerinci penerimaan pajak kripto bulan lalu berasal dari penerimaan PPh Pasal 22 senilai Rp18,25 miliar dan PPN atas transaksi kripto Rp20,88 miliar.

Sementara itu, Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (Aspakrindo) berharap pemerintah Indonesia tidak tertinggal dari negara lain dalam menerapkan regulasi yang mendukung pertumbuhan ekosistem kripto.

Aspakrindo merujuk pada Thailand yang telah mengambil langkah progresif dalam regulasi pajak tentang aset digital dengan menghapuskan PPN 7% untuk transaksi perdagangan kripto. Keputusan ini dirancang untuk mendukung dan memfasilitasi pertumbuhan industri aset digital di Negeri Gajah Putih.

Mengutip Tokocrypto News, pembebasan PPN ini ditujukan bagi bursa kripto, pialang, serta platform kripto yang beroperasi di bawah pengawasan ketat Komisi Sekuritas dan Bursa Thailand.

“Dengan berlakunya kebijakan ini efektif per 1 Januari 2024, Thailand menunjukkan komitmen kuatnya untuk mengembangkan ekonomi digitalnya,” ujar Wakil Ketua Umum Aspakrindo Yudhono Rawis.

Langkah itu bukanlah yang pertama, mengingat pada Mei 2023, Bangkok telah membebaskan transfer aset kripto dari kewajiban PPN. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong lebih banyak aktivitas di pasar aset digital Thailand dan memperkuat posisi negara itu sebagai pusat inovasi dan perdagangan aset digital di kawasan.

Menurut Yudhono, kebijakan Thailand dalam menghapus PPN transaksi kripto memberikan gambaran tentang bagaimana regulasi yang ramah dapat membantu negaranegara menjalani transisi menuju ekonomi digital yang lebih inklusif dan inovatif.

Sementara itu, di Indonesia, pemerintah masih menerapkan PPN sebesar 0,11% dan PPh sebesar 0,1% untuk transaksi yang dilakukan melalui exchange atau pedagang aset kripto terdaftar.

Menurut Yudhono yang juga CEO Tokocrypto, kondisi ini memunculkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri kripto Indonesia. Dia mengusulkan beberapa perubahan penting dalam kebijakan pajak kripto di Indonesia.

Dia berharap Indonesia dapat mengikuti kebijakan pajak kripto di Thailand untuk menciptakan regulasi kripto yang lebih ramah dan kompetitif. Indonesia dengan potensi ekonomi digital yang besar dapat mengambil inspirasi dari tetangganya di Asean itu untuk menciptakan lingkungan yang lebih mendukung bagi pertumbuhan ekonomi digital, termasuk di sektor aset digital.

“Ini diharapkan dapat mendorong inovasi dan pertumbuhan industri kripto di dalam negeri, sekaligus memberikan kejelasan hukum yang dapat meningkatkan kepercayaan investor dan pengguna,” ujar Yudhono.

SKEMA KEUNTUNGAN

Dia mengusulkan agar Indonesia kembali hanya mengenakan pajak atas keuntungan modal (capital gain) dan merevisi aturan PPN, mengingat aset kripto, menurut UU PPSK, cenderung diklasifikasikan sebagai aset keuangan atau sekuritas daripada komoditas.

“Skema capital gain hanya mengenakan pajak pada keuntungan yang diperoleh dari penjualan aset kripto, dan bukan pada setiap transaksi,” jelasnya.

Menurutnya, pendekatan ini dianggap lebih adil dan efi sien karena investor hanya dikenai pajak ketika mereka benarbenar menerima keuntungan ekonomi. Hal ini dapat mendorong lebih banyak orang untuk berinvestasi dalam aset kripto tanpa khawatir tentang beban pajak yang berat untuk setiap transaksi yang dilakukan.

Selain itu, skema tersebut dapat memudahkan pelaporan pajak bagi investor karena mereka hanya perlu melaporkan transaksi yang menghasilkan keuntungan. Penerapan skema pajak seperti ini akan mampu meningkatkan transparansi dan kepatuhan pajak di sektor kripto.

Yudhono juga mengusulkan penurunan tarif pajak yang saat ini berlaku agar lebih kompetitif dan tidak menghambat perkembangan industri kripto di Indonesia.

“Dengan langkah-langkah regulasi yang tepat, kripto dapat menjadi salah satu pendorong utama ekonomi digital Indonesia, membuka peluang baru, dan meningkatkan inklusi finansial di seluruh wilayah,” kata Yudhono.

Ketua Asosiasi Blockchain & Pedagang Aset Kripto Indonesia (A-B-I & Aspakrindo) Robby sebelumnya menyampaikan tarif pajak yang tinggi menjadi salah satu penyebab penurunan transaksi aset kripto di Indonesia, selain karena pengaruh kejatuhan bursa kripto di Amerika Serikat.

Dilansir Antara baru-baru ini, dia menjelaskan, dibandingkan dengan biaya transaksi aset kripto pada bursa yang telah terdaftar dan tidak terdaftar di Bappebti, terdapat perbedaan signifikan total biaya yang ditanggung investor. Biaya transaksi Bitcoin pada exchanges yang terdaftar cenderung lebih tinggi.