01 Maret 2024 | 1 month ago

Jalan Buntu Bea Masuk Digital

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Penggalian potensi penerimaan dari masifnya transaksi perdagangan digital kembali terhalang. Pasalnya, WTO's 13th Ministerial Conference (MC) yang digelar 26—29 Februari 2024 di Abu Dhabi memberikan sinyal perpanjangan atau diberlakukannya moratorium bea masuk perdagangan barang digital secara permanen.

Padahal, pencabutan moratorium sangat krusial untuk mengamankan hak pemajakan nasional. Apalagi, instrumen pemungut transaksi digital baru terbatas pada Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kendati demikian, Pemerintah Indonesia juga menghadapi dilema jika menerapkan aksi unilateral pengenaan bea masuk secara sepihak, lantaran berisiko menimbulkan gejolak di kancah perdagangan global. Pemerintah pun didorong untuk menyiapkan antisipasi manakala moratorium dipermanenkan.

Rencananya, keputusan soal moratorium disampaikan dalam forum tersebut pada hari ini, Jumat (1/3), dini hari waktu Indonesia. Namun, sinyal perpanjangan atau dipermanenkannya moratorium sejatinya terlihat jelas.

Direktur Jenderal WTO Ngozi OkonjoIweala, menyadari betul kuatnya pertentangan soal moratorium ini, terlebih bagi negara berkembang.

Dalam pernyataan resminya, Iweala memang tidak mengarahkan keputusan pada salah satu pihak. Namun, penjelasan yang disampaikan mengarah ke perpanjangan atau permanenan.

Menurutnya, moratorium memang hal yang krusial, terlebih apabila dikaitkan pada arah kemitraan dagang ke depan, apakah menerapkan ekonomi terbuka, terintegrasi, dan terprediksi, atau menuju negara yang terfragmentasi.

"Saya tahu ada hal-hal spesifik yang diinginkan, seperti perpanjangan moratorium perdagangan elektronik," katanya, Kamis (29/2).

Pernyataan itu sangat jelas mengarah ke perpanjangan. Apalagi, WTO juga mendapat tekanan tak hanya dari negara maju juga pelaku usaha.

Sejauh ini, ada beberapa rumusan proposal dan komunike yang telah diajukan ke WTO. Di antaranya, dari negara maju beserta kroninya diwakili Kanada dan Swiss yang meminta perpanjangan sampai MC14 pada 2026.

Kemudian, proposal Kelompok Afrika, Karibia, dan Pasifik diwakili Samoa yang juga meminta perpanjangan moratorium. Adapun, Afrika Selatan, Indonesia, dan India meminta pencabutan moratorium.

Dus, konstelasi dalam forum itu pun memanas. India, yang pada Januari 2024 mengajukan proposal dengan tidak menyinggung soal moratorium, beberapa waktu lalu menolak moratorium.

Sayangnya, Indonesia pun tak bisa berbuat banyak selain mengikuti apapun hasil dari pertemuan WTO tersebut.

Menurut Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, Indonesia akan terus menolak moratorium permanen.

Sejalan dengan itu, pemerintah meminta dilakukan diskusi intensif soal tinjauan berkala atas cakupan, definisi, dan dampak moratorium. "Diskusi perlu dilakukan dalam WTO Work Program on e-Commerce," katanya.

Senada, Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, meminta WTO untuk fokus melanjutkan pembahasan program kerja dagangel untuk memperjelas moratorium bea masuk transaksi elektronik (Customs Duties on Electronic Transmission/CDET).

Termasuk di dalamnya mengatasi kesenjangan digital. "Kami mendorong WTO melanjutkan pembahasan program kerja niaga elektronik yang diluncurkan sejak 1998 agar mendapat kejelasan definisi dan ruang lingkup," jelasnya.

Dari kalangan dunia usaha dalam negeri, Plh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Yukki Nugrahawan Hanafi, menyatakan dapat memahami upaya pemerintah dalam memperjuangkan hak pemajakan di WTO.

Dia menambahkan, pemerintah juga perlu mempertimbangkan sisi positif dari dilanjutkannya moratorium terutama dari sisi daya beli masyarakat.

"Potensi berkurangnya daya beli akan terpengaruh jika dikenakan bea masuk. Potensi penurunan daya beli juga ikut berpengaruh pada dunia usaha," ujarnya.

Meski demikian, Yukki memandang pemerintah wajib menentang apabila ada upaya dari komunitas global atau WTO untuk memberlakukan moratorium secara permanen, karena akan memutus rantai penerimaan negara.

Sejak 1998 WTO menerapkan moratorium bea masuk produk digital. Meski selalu dibahas ulang, faktanya moratorium terus diperpanjang.

Di dalam negeri, pelaksanaan moratorium WTO itu diejawantahkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17/PMK.010/2018 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. Beleid itu mengatur tentang tarif bea masuk bagi barang virtual sebesar 0% dan ketentuan pelaporan importasi untuk mengidentifikasi para pelaku transaksi.

Direktur Ekonomi Digital dan Ekonom Center of Economics and Law Studies Nailul Huda, mengatakan pemerintah wajib menyiapkan perangkat pungutan bea masuk apabila pada kemudian hari moratorium dicabut, serta mengoptimalisasi pungutan PPN perdagangan sistem elektronik. (Maria Elena/Dwi Rachmawati)