04 Maret 2024 | 1 month ago

Membendung Peredaran Rokok Ilegal

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Tak dapat dimungkiri, penaikan tarif cukai hasil tembakau telah mendorong maraknya peredaran rokok ilegal. Aksi pemberantasan peredaran rokok ilegal menjadi opsi yang tak bisa ditawar guna menciptakan level permainan yang setara.

Melambungnya peredaran rokok ilegal tidak bisa dihindari bersamaan dengan menurunnya produksi rokok legal lantaran mahalnya harga jual eceran (HJE) yang dipicu tingginya tarif cukai hasil tembakau (CHT).

Akan tetapi, operasi penindakan dipandang belum mampu menyasar ke akarnya, di sisi produksi. Penindakan baru pada sisi hilir peredaran yang dilakukan secara sporadis.

Ekonom Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Joko Budi Santoso menilai bahwa secara teori perilaku konsumsi masyarakat dapat dikendalikan melalui sistem mekanisme harga, dengan salah satu instrumennya tarif.

“Namun, hal ini tidak terjadi pada konsumsi barang-barang yang bersifat addictive [membuat ketagihan],” katanya, Minggu (3/3).

Artinya, kata Joko, mekanisme harga melalui kenaikan tarif tidak linier dengan penurunan konsumsi atau tidak sertamerta membuat perokok berhenti konsumsi rokok. Akan tetapi, imbuhnya, di kalangan menengah bawah bakal tetap mengonsumsi rokok dengan harga yang lebih terjangkau.

Dia memandang bahwa kondisi itu membuka ceruk pasar yang lebih luas untuk rokok dengan harga terjangkau, di mana sebagian besar ceruk pasar itu dimasuki oleh rokok ilegal.

Oleh karena itu, imbuhnya, jika tujuannya adalah membatasi konsumsi dan mengendalikan dampak eksternalitas negatif, maka perlu upaya lain di luar instrumen tarif.

Dalam konteks ini, dia menegaskan bahwa instrumen tarif cukai tidak linier dengan penurunan konsumsi rokok. Rokok ilegal, imbuhnya, naik lantaran ceruk pasar yang makin luas yang disebabkan oleh gap harga rokok legal dan ilegal yang kian melebar, sehingga pilihan rasional konsumen adalah memilih rokok yang lebih terjangkau sesuai dengan daya belinya, termasuk rokok ilegal.

Joko yang juga Peneliti Senior Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya menegaskan bahwa berdasarkan riset PPKE dan analisis Bea Cukai dengan pendekatan kurva laffer menunjukkan harga rokok saat ini telah melewati titik maksimum.

Artinya, imbuhnya, ketika tarif cukai terus dinaikkan, maka terjadi diminishing penerimaan CHT. “Kenaikan tarif cukai berdampak kepada kenaikan harga rokok, namun di satu sisi tidak diimbangi dengan kenaikan daya beli masyarakat, sehingga affordability [keterjangkauan] terhadap rokok legal menurun.

”Menurutnya, hal tersebut berdampak kepada penurunan volume produksi pabrikan rokok. Dampak akhirnya adalah permintaan pita cukai dari produsen rokok juga menurun, sehingga penerimaan CHT merosot.

Berdasarkan fakta tersebut, ia menilai bahwa kenaikan CHT idealnya tidak lagi eksesif naik di 2 digit setiap tahunnya. Hal ini bertujuan untuk menjaga penerimaan negara dari CHT tetap tumbuh tanpa mendegradasi fungsi cukai dalam membatasi konsumsi dan dampak eksternalitas negatif dari konsumsi produk industri hasil tembakau (IHT).

Dia menjelaskan bahwa struktur tarif yang berlapis lantaran karakteristik dan jenis produk IHT beragam, ada sigaret putih mesin (SPM), sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), dan lainnya.

Selain itu, Joko mengatakan bahwa hal ini juga terkait dengan penyerapan tenaga kerja di sektor produksi jenis produk IHT, sehingga mekanisme struktur tarif diberlakukan berbeda.

Dengan 10 layer yang ada saat ini, imbuhnya, dirasa cukup ideal untuk tetap menjaga keseimbangan penerimaan negara dan keberlangsungan IHT yang notabene merupakan industry heritage dengan local content tinggi.

“Tentunya dalam penentuan tarif cukai juga harus melihat capaian indikator makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, daya beli masyarakat, dan tingkat penyerapan tenaga kerja, serta linkage IHT dengan sektor lainnya.

”Oleh karena itu, dia menegaskan bahwa pertimbangan kenaikan cukai satu digit atau dua digit perlu menyeimbangkan kepentingan dan keberlangsungan dari berbagai sisi, tidak hanya dari satu sisi, misalnya tidak terlalu condong ke kesehatan saja sebagai dasar kenaikan tarif cukai.

Ke depan, dia mengusulkan, pemerintah harus memberikan kepastian terkait keberlangsungan IHT dengan salah satu langkah utama adalah menyelesaikan roadmap pengembangan IHT ke depan dengan mempertimbangkan dari berbagai kepentingan.

Menurutnya, komunikasi dan koordinasi yang efektif dan intensif dengan berbagai pemangku kepentingan akan menjadi kunci keberhasilan kebijakan di bidang cukai yang memberikan rasa keadilan dan menjamin keberlanjutan IHT, ketenagakerjaan, pertanian tembakau, penerimaan negara, serta keberhasilan kebijakan cukai dari sisi regulasi dalam mengendalikan konsumsi dan dampak eksternalitas negatifnya.

PEMBERANTASAN

Sementara itu, dia memandang bahwa Ditjen Bea Cukai sebenarnya relatif intensif melakukan operasi penindakan guna memberantas peredaran rokok ilegal. Namun, imbuhnya, operasi tersebut masih menyangkut sisi peredaran, belum ke jantungnya di sisi produksi.

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa capaian penerimaan cukai di Jawa Timur terkontraksi sebesar 15% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Penyebab utama, imbuhnya, kenaikan tarif CHT yang membuat produksi rokok sampai dengan November 2023 menurun 3,7% YoY.

Dia menilai bahwa sebenarnya hal ini merupakan sinyal positif lantaran tujuan negara menerapkan cukai telah tercapai, yaitu untuk mengendalikan konsumsi rokok yang berdampak pada peningkatan kesehatan masyarakat.

Adapun, dari data yang dimiliki Bisnis, produksi rokok Januari 2024 tumbuh 2,1 miliar batang atau setara 21,7% dibandingkan dengan Januari 2023.

Pertumbuhan produksi ini baru dapat dirasakan dampaknya dari sisi penerimaan CHT pada Maret 2024, dampak dari pemberian fasilitas penundaan pembayaran CHT 60 hari.

Ketua Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto membenarkan sinyalemen tersebut.

Intinya, kinerja IHT memang tidak baik-baik saja dengan tingginya tarif CHT yang dampaknya produk tidak terserap di pasar karena HJE tinggi.

Penurunan produksi rokok, bahkan produsen golongan I, dia memperkirakan, sudah sekitar 40%—50%. Ceruk yang kosong ini diperkirakan diisi rokok ilegal karena harganya terjangkau.

Penindakan terhadap rokok ilegal juga perlu lebih tegas, seperti yang disampaikan pengamat, yakni bagaimana menyasar sisi produksi.

“Jadi bagaimana arah kebijakan IHT, terserah pemerintah. Kalau pemerintah melindungi industri ini karena merupakan warisan budaya leluhur dan menyerap tenaga kerja yang banyak, tentu ada kebijakan yang tidak membiarkan industri makin terpuruk,” jelasnya.

Dia memandang bahwa naiknya produksi rokok pada Januari 2024 tidak mencerminkan kondisi riil IHT yang mengalami recovery.

Kenaikan produksi itu karena PR memborong cukai untuk memperoleh cukai dengan tarif lama. “Jadi setelah berlaku tarif cukai baru, maka permintaan cukai otomatis akan turun bersamaan dengan turunnya produksi rokok,” katanya.

Pada kesempatan terpisah, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Jatim II Agus Sudarmadi tidak membantah terkait dengan masalah tarif cukai yang tinggi jadi pemicu penurunan produksi rokok yang otomatis menurunnya penerimaan cukai.

Namun, terkait penilaian terhadap Operasi Gempur Rokok Ilegal, dia menilai bahwa kondisi tersebut sifatnya debatable.

“Karena definisi gempur rokok ilegal memang menyentuh banyak aspek. Ada sektor yang sudah dilakukan dan membuahkan hasil. Ada yang masih on progress karena IHT di Jatim menyangkut lingkup socio-cultural, soko guru ekonomi, enabler, dan bahkan driver perekonomian di Jatim. To some extent dampak excessive kenaikan tarif memang menimbulkan potensi peningkatan rokok ilegal. Akan tetapi, kalau dibilang operasi gempur rokok ilegal belum mampu dan lain-lain, memang masih debatable,” ucapnya.