04 Maret 2024 | 1 month ago

Moratorium Berlanjut Dua Tahun

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Setelah melalui diskusi alot hingga berujung ke perpanjangan satu hari, World Trade Organization akhirnya memutuskan perpanjangan moratorium bea masuk transaksi digital dalam 13th Ministerial Conference di Abu Dhabi yang berakhir 1 Maret 2024.

Dalam pernyataan bersama yang dipublikasikan, delegasi sepakat bahwa moratorium pengenaan bea masuk atas barang digiral akan diperpanjang hingga World Trade Organization (WTO) 14th Ministerial Conference (MC) atau 31 Maret 2026.

“Kami juga menginstruksikan Dewan Umum WTO untuk mengadakan tinjauan berkala terhadap Program Kerja E-commerce dengan tujuan untuk menyampaikan rekomendasi tindakan pada Konferensi Tingkat Menteri,” tulis Deklarasi Bersama, akhir pekan lalu.

Tak hanya itu, para menteri juga mengadopsi keputusan bersama untuk memperpanjang moratorium larangan pelanggaran dan pengaduan situasi mengenai Perjanjian Aspek Terkait Perdagangan Hak Kekayaan Intelektual atau the Agreement on Traderelated Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) hingga MC14.

Keputusan ini sekaligus memutus asa negara berkembang seperti Indonesia, India, hingga Afrika Selatan yang sedari awal meminta adanya pencabutan moratorium.

Tujuannya adalah agar yurisdiksi setempat bisa memperoleh penerimaan negara dari pungutan bea masuk terkait dengan transaksi barang tidak berwujud secara digital atau perdagangan elektronik (dagang-el).

Direktur Jenderal WTO Ngozi OkonjoIweala, meminta kepada seluruh anggota untuk melakukan upaya ekstra agak seluruh negosiasi ke depan bisa berjalan dengan lancar.

Tidak terkecuali perihal bea masuk transaksi digital yang memunculkan friksi antarnegara di organisasi perdagangan dunia tersebut.

“Anggota perlu melakukan upaya ekstra untuk menemukan konvergensi dalam berbagai negosiasi pada pertemuan tingkat menteri,” katanya.

WTO pun menyadari betul beratnya tantangan dalam konteks perdagangan digital ini. Terlebih, 25% dari transaksi perdagangan dunia saat ini dilakukan secara digital dan diproyeksi terus berkembang dengan pesat.

Dilansir Bloomberg, Menteri Perdagangan India Piyush Goyal, mengatakan negara tersebut akan memprioritaskan diaktifkannya kembali badan banding WTO yang dinonaktifkan oleh Amerika Serikat (AS) pada akhir 2019.

Menurutnya, keputusan WTO ini terkesan tidak adil dan hanya memprioritaskan kepentingan perusahaan-perusahaan besar yang mayoritas bermarkas di negara maju, bukan yurisdiksi berkembang.

“Kami merasa sedih bahwa beberapa negara masih menghambat hasil-hasil signifikan yang seharusnya dapat membantu negara-negara berkembang mendapatkan kepercayaan terhadap kerja WTO,” katanya.

Adapun dari Tanah Air, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto, meminta dilakukan diskusi secara intensif soal tinjauan berkala atas cakupan, definisi, dan dampak dari moratorium tersebut.

“Diskusi tersebut perlu dilakukan di dalam WTO Work Program on E-Commerce dan sejalan dengan dimensi pembangunan yang terdapat di dalamnya,” katanya kepada Bisnis.

Dirjen Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Djatmiko Bris Witjaksono, meminta kepada WTO untuk fokus melanjutkan pembahasan program kerja dagangel untuk memperjelas moratorium bea masuk transaksi elektronik atau customs duties on electronic transmission (CDET).

Termasuk di dalamnya adalah mengatasi kesenjangan tingkat kemajuan digital negaranegara Anggota WTO, khususnya negara berkembang.

“Kami mendorong WTO melanjutkan pembahasan mengenai program kerja niaga elektronik yang diluncurkan sejak 1998 agar mendapat kejelasan definisi dan ruang lingkup CDET,” jelasnya.

Sekadar informasi, sejak 1998 WTO menerapkan moratorium bea masuk produk digital. Meski selalu dibahas ulang secara periodik, faktanya moratorium terus diperpanjang.

Di dalam negeri, pelaksanaan moratorium WTO itu dilaksanakan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 17/PMK.010/2018 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No. 6/PMK.010/2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor.

Beleid mengatur tentang tarif bea masuk bagi barang virtual, yakni sebesar 0%. Kendati bertarif 0%, sejauh ini banyak perusahaan yang secara sukarela menginformasikan importasi barang digital kepada Pemerintah Indonesia.

Untuk diketahui, penetapan tarif 0% merupakan salah satu strategi otoritas fiskal untuk mengidentifikasi para pelaku transaksi barang virtual. Sementara itu, terkait dengan perlakuan perpajakannya akan diterapkan pada kemudian hari.

Kebijakan untuk tidak mengenakan tarif barang digital memang sengaja ditempuh untuk memetakan sekaligus menghitung potensi transaksi barang tersebut.

Berdasarkan data pemerintah yang diperoleh Bisnis, nilai devisa importasi untuk produk tidak berwujud secara elektronik selama Maret 2018—Juli 2020 mencapai US$12,5 juta.