05 Maret 2024 | 1 month ago

35 Negara Adopsi Pajak Minimum

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Sebanyak 35 yurisdiksi telah menerapkan ketentuan mengenai pajak minimum global alias global minimum tax. Sepintas, jumlah tersebut terkesan cukup banyak. Akan tetapi, dibandingkan dengan yurisdiksi yang menyepakati konsensus, angka itu masih sangat terbatas.

Situasi ini menandai lambannya respons banyak negara untuk menerapkan skema yang masuk ke dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (Globe) yang diperjuangkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sejak bertahun-tahun silam.

Jika dibandingkan dengan jumlah negara yang telah menyepakati konsensus tersebut yang sebanyak 140 yurisdiksi, pemerintahan yang telah menerapkan pajak minimum global hanya setara dengan 25%.

Faktanya, tenggat waktu penerapan skema pajak tersebut adalah pada 1 Januari 2024. Itu pun setelah mengalami pengunduran yang cukup berlarut sejak tahun lalu.

Hal ini menandakan bahwa meski banyak negara telah mendukung, faktanya eksekusi pun tak kunjung dilaksanakan dengan berbagai pertimbangan subjektif.

Dalam pertemuan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral G20 di Sao Paulo, Brasil, akhir pekan lalu, seluruh anggota juga sepakat untuk mempercepat pelaksanaan skema pajak tersebut.

Selain mengamankan penerimaan negara, pajak minimum global juga bisa mereduksi praktik penghindaran pajak secara agresif yang merugikan banyak negara.

Persoalannya, belum seluruh negara menyesuaikan skema atau mekanisme serta regulasi domestik dengan konsep yang terkandung dalam OECD G20 Base Erosion and Profit Shifting Project (BEPS).

Mengacu pada laporan terkini OECD mengenai BEPS yang disampaikan dalam forum G20 di Brasil pekan lalu, tercatat hanya 100 yurisdiksi yang telah sejalan dengan konsep BEPS. Adapun, sisanya masih dalam peninjauan.

Dalam konteks ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, saat bertemu dengan Sekretaris Jenderal OECD Mathias Cormann, menyinggung soal perkembangan implementasi dari solusi pajak global tersebut.

“Indonesia memberikan dukungan terhadap inclusive framework on BEPS dalam rangka mereformasi kerangka pajak internasional,” katanya, Senin (4/3).

Meski Bendahara Negara telah melakukan komunikasi langsung dengan petinggi OECD, faktanya Indonesia masuk ke dalam salah satu yurisdiksi yang kurang gesit dalam mengimplementasikan pajak minimum global.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Bisnis, otoritas fiskal baru akan mengimplementasikan skema pajak Pilar 2 tersebut pada paruh kedua tahun ini atau pada tahun depan.

Ada beberapa faktor yang memaksa pemangku kebijakan belum menerapkan hail konsensus global tersebut pada 1 Januari 2024. Utamanya, masih belum komplitnya regulasi yang memayungi mekanisme pemajakan tersebut.

Memang, pemerintah memiliki UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan PP No. 55/2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang mengakomodasi substansi soal solusi dua pilar pemajakan internasional.

Akan tetapi, hingga detik ini Kementerian Keuangan masih dalam tahap penyusunan aturan teknis yang mengacu pada UU HPP dan Pilar 2 tersebut.

“[Yang jelas implementasinya] tidak pada semester I/2024,” kata sumber Bisnis yang dekat dengan otoritas fiskal.

Diskusi soal regulasi teknis dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) mengenai pajak minimum global memang cukup pelik, karena memiliki efek yang besar pada prospek penerimaan nasional.

Terlebih, pemerintah memastikan pada tahun ini diskon pajak dalam bentuk tax holiday tetap berlanjut untuk sektor-sektor proritas yang sangat jelas kontraproduktif dengan esensi Pilar 2.

Sebab dengan diberikannya diskon, pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak berpotensi di bawah 15%, tarif yang menjadi batas dari pajak minimum global. Dalam situasi demikian, pemerintah bakal kehilangan hak pemajakan.

Adapun, jika ditemukan selisih antara tarif pajak minimum global dengan tarif pajak efektif yang berlaku di perusahaan multinasional investasi, maka negara domisili atau yurisdiksi asal bisa menerapkan income inclusion rule (IIR) yang menjadi bagian dari under taxed payments rule (UTPR).

Alhasil, negara asal perusahaan multinasional yang berinvestasi di Indonesia itu berwenang mengenakan topup tax. Dengan demikian, pajak yang dibayarkan perusahaan tersebut akan mengalir ke negara asal, bukan Indonesia.

Inilah yang menjadi dilema di kalangan pemangku kebijakan sehingga perumusan regulasi tak kunjung tuntas.

Dalam rencana yang saat ini disusun, pemerintah akan mengimplementasikan IRR sekaligus UTPR, serta qualified domestic minimum topup tax (QDMTT). Melalui IRR, pemerintah bisa mewajibkan setiap perusahaan mengukur bagian proporsional atas penghasilam yang diterima apabila tidak dikenai pajak pada tingkat minimum.

Adapun QDMTT adalah skema pajak minimum domestik yang berfungsi memitigasi risiko hilangnya hak pemajakan.

Sementara itu, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Ernst & Young (EY) pada Desember 2023, hanya ada enam yurisdiksi yang telah mencapai tahap legislasi final mengenai Pilar 2.

Keenamnya adalah Uni Eropa dengan regulasi soal QDMTT, IIR, UTPR; Hongaria (QDMTT, IIR, UTPR); Jepang (IIR), Mauritius (QDMTT), Korea Selatan (IIR, UTPR), serta Inggris (DQMTT, IIR).

Di luar itu, 29 negara masih dalam tahap rumusan legislasi, serta sisanya termasuk Indonesia hanya sebatas rencana alias belum ada aksi konkret dalam bentuk produk hukum teknis.

TINJAU ULANG

Di sisi lain, aksi kompak ditunjukkan oleh negaranegara Asean, yang segendang sepenarian menolak penerapan global minimum tax, meski telah disetujui oleh 140 negara di dunia.

Persoalannya, Indonesia selaku pemegang keketuaan Asean pada tahun lalu menggalang dukungan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk meninjau ulang skema Pilar 2.

Bukannya tanpa alasan komunitas regional ini menolak pajak minimum global. Musababnya, penerapan skema itu akan menghambat investasi asing ke negara berkembang, sementara potensi penerimaan yang bisa dikantongi negara pun tak bisa dibilang tinggi.

Pasalnya, tarif pajak minimum dunia sebesar 15% itu hanya bisa dikenakan atas perusahaan multinasional dengan threshold peredaran bruto di atas 750 juta euro per tahun. Artinya, tidak semua korporasi bisa tercakup dalam skema tersebut.

Sementara itu, mayoritas negara Asean masih mengandalkan insentif Pajak Penghasilan (PPh) korporasi untuk menarik minat investor.

Persoalannya, apabila negara menebar insentif sehingga tarif efektif pajak korporasi di bawah batas global minimum tax sebesar 15%, maka pemerintah akan kehilangan hak pemajakan.

Sebab, Pilar 2 yang memberikan kewenangan kepada negara asal korporasi untuk memungut pajak jika negara pasar menetapkan tarif di bawah 15%.

Asumsi soal terbatasnya keuntungan yang diterima negara berkembang dari skema pajak minimum global bukan omong kosong belaka. Sejumlah lembaga internasional pun telah menyoroti hal ini, dan menyarankan negara berkembang untuk melakukan mitigasi risiko.

The South Centre, dalam laporan mengenai implikasi solusi pajak global untuk negara berkembang yang diterbitkan beberapa waktu lalu, menuliskan bahwa hampir tidak ada solusi yang adil bagi negara berkembang soal konsensus ini.

South Centre pun memandang ketentuan QDMT tidak memberikan efek signifikan ke penerimaan negara berkembang. Musababnya, basis dari pajak minimum itu adalah laba.

Sialnya, laba bisa dialihkan menggunakan praktik penghindaran pajak secara agresif. Misalnya dengan pembayaran bunga atau royalti dengan nilai yang signifikan. “Jika demikian tidak ada pajak yang dapat dikumpulkan melalui QDMT meski tarif minimal 15%,” tulis laporan South Centre.